HomeRuang PublikMengapa Jokowi-Luhut Ngotot Gandeng Elon Musk?

Mengapa Jokowi-Luhut Ngotot Gandeng Elon Musk?

Oleh Yukaristia

Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan kerap jadi dua pejabat yang selalu ngotot untuk menggandeng Tesla yang dipimpin oleh Elon Musk untuk hilirisasi nikel.


PinterPolitik.com

Elon Musk, pendiri, sekaligus CEO Tesla, mendapat kunjungan istimewa dari para pejabat Indonesia. Adalah Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves), Luhut Binsar Pandjaitan, beserta rombongannya yang pertama kali datang ke kantor bos Tesla di Texas, Amerika Serikat beberapa waktu yang lalu.

Luhut disambut langsung oleh bos Tesla dengan kaos sederhana yang tampak cukup tanpa persiapan. Kedatangan Luhut ke kantor Elon tentu bukan tanpa maksud dan tujuan. Luhut datang dengan maksud dan tujuan yang jelas, yaitu “memamerkan” kekayaan sumber daya alam Indonesia, utamanya nikel, kepada Elon.

Bukan rahasia lagi bahwa rumor investasi Tesla untuk membuat industry manufaktur guna memproduksi baterai listrik yang bahan baku utamanya adalah nikel telah mencuat sejak awal tahun 2021 silam. Tampaknya, Luhut ingin benar-benar mengubah rumor tersebut menjadi kenyataan.

Setelah menemui Elon, Luhut menyatakan bahwa bos Tesla tersebut merasa senang mendapat kunjungan dari perwakilan Indonesia. Luhut mengklaim bahwa Elon sejatinya juga punya ketertarikan yang besar terhadap cadangan nikel yang ada di Indonesia. Kerja sama saling menguntungkan antara Tesla dan Indonesia dalam memproduksi baterai listrik hingga kendaraan listrik memiliki potensi besar untuk tercapai di masa depan.

Meskipun belum ada kesepakatan resmi antara Elon Musk dengan Indonesia, nampaknya Indonesia sangat getol untuk terus melakukan pendekatan bisnis kepada Elon. Beberapa minggu paska kunjungan Luhut, Elon Musk kembali mendapat kunjungan dari orang nomor satu Indonesia, yaitu Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Ringkasan pertemuan mengarah pada kemungkinan bahwa Elon Musk akan datang ke Indonesia pada bulan November 2022. Pernyataan positif tersebut membuka peluang besar bagi Indonesia untuk dapat bekerja sama dengan perusahaan teknologi yang produknya tersohor di segala penjuru dunia.

Dalam kacamata ekonomi, ‘kengototan’ Luhut dan Jokowi untuk menemui Elon Musk menarik untuk dibahas. Saya akan membahasnya menggunakan sebuah teori menarik dari Whittaker dalam bukunya Compressed Development Time and Timing in Economic and Social Development, yakni Compressed Development. Melalui teori ini, kita akan melihat bahwa praktik ‘kengototan’ Luhut dan Jokowi menemui Elon Musk adalah konsekuensi logis dari Compressed Development. Saya akan memulainya dengan logika yang semoga dapat dipahami dengan jelas.

Sejak tahun 1990, dunia memasuki sebuah era globalisasi yang cukup menarik. Era globalisasi tersebut melahirkan sebuah gagasan tentang Global Value Chain (GVC). GVC adalah proses untuk menghasilkan satu barang jadi yang melibatkan beberapa negara, mulai dari proses produksi hingga proses pemasarannya.

GVC juga memungkinkan negara untuk melakukan spesialisasi dengan mengelola sumber daya alamnya, menggunakan teknologi tingkat tinggi, dengan syarat bahwa mereka mau membuka pintu selebar-lebarnya terhadap perusahaan dari negara maju untuk berinvestasi di dalamnya.

GVC yang disebut sebagai thin industrialization atau industrialisasi tipis, karena proses produksi yang terbagi-bagi ke beberapa negaraini, diklaim dapat membuat efisiensi dan produktivitas ekonomi semakin tinggi, baik bagi negara yang menjadi tempat berinvestasi perusahaan multinasional tersebut, maupun bagi perusahaan itu sendiri. GVC menguntungkan kedua belah pihak dalam banyak hal.

Baca juga :  Gibran Game Changer Pilpres 2024? 

Munculnya GVC merupakan konsekuensi logis dari compressed development. Compressed Development adalah sebuah pola pembangunan ekonomi “time compression” yang memampatkan waktu dan tahapan-tahapan pembangunan ekonomi mencapai puncaknya. Walt W. Rostow dalam bukunya The Stage of Economic Growth. The Economic History Review, mengenalkan istilah “stage of economic growth” dalam perekonomian yang dimulai dari tahap tradisional yang didominasi oleh sektor pertanian.

Kemudian, melewati transisi dan tahapan-tahapan perkembangan menuju industrialisasi awal hingga menuju mature economy dan high mass consumption yakni ketika ekonomi berada dalam kondisi sangat produktif berkat teknologi modern serta tenaga kerja terdidik. Selain itu, konsumsi masyarakat yang tinggi juga mendorong pesatnya pertumbuhan ekonomi.

Semua tahapan perkembangan dan pembangunan ekonomi tersebut dilalui oleh negara-negara besar seperti Inggris, Amerika Serikat (AS), Jerman, dan lain-lain. Mereka melewati tahapan-tahapan pembangunan mulai dari revolusi industri 1.0 ketika mesin uap pertama kali ditemukan dan dikembangkan, revolusi 2.0 ketika industri manufaktur mulai berkembang pesat, revolusi industri 3.0 ketika komputer dan mesin-mesin otomatis ditemukan dan dikembangkan, hingga revolusi industri 4.0 ketika otomatisasi berupa artificial intelligence mulai memimpin dunia baru.

Pengalaman research and development (RnD) 100-150 tahun tersebut mengantarkan negara-negara besar itu mencapai puncak kejayaannya. Mereka mengalami fase-fase penemuan, pengembangan, kegagalan, percobaan lagi, hingga keberhasilan secara berurutan. Negara-negara yang mengalami fase-fase itu disebut sebagai late developers.

Pengalaman pembangunan late developers tersebut tentu berbeda dengan pola compressed development yang dialami oleh new developers. Ciri-ciri pola compressed development tersebut dapat dipelajari dari salah satu negara besar, yaitu Tiongkok. Tiongkok secara mengejutkan menjadi negara dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan mengesankan. Tidak perlu waktu 100-150 tahun bagi Tiongkok untuk menyalip kejayaan negara-negara late developers tersebut.

Hanya dalam kurun waktu sekitar 30 tahun, Tiongkok berhasil menjadi new developer yang hingga sekarang ini tingkat pertumbuhan ekonominya berada hanya satu peringkat di bawah AS, sekaligus masih unggul dibanding Inggris dan Jerman.

Kembali mengutip Whittaker, ia meyakini bahwa Tiongkok adalah bukti nyata dari munculnya pola compressed development. Tiongkok tidak melalui fase-fase revolusi industri berurutan layakknya negara-negara late developers. Sebaliknya, Tiongkok seolah melakukan time compression dari negara yang awalnya biasa-biasa saja menjadi luar biasa.

Deng Xiaoping adalah salah satu faktor yang mengantarkan Tiongkok mengompresi waktu pembangunan ekonomi menjadi lebih pendek tetapi mencapai keberhasilan yang memuaskan.

Data World Bank yang dilansir oleh BBC News pada tahun 2019 silam dalam artikel berjudul China Anniversary: How the country became the world’s economic miracle memuat bahwa produk domestik bruto (PDB) Tiongkok mengalami pertumbuhan yang pesat sejak 1970-an melalui kebijakan suportif Deng Xiaoping. Dalam data tersebut ditunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi Tiongkok hampir tidak pernah mengalami penurunan.

Lebih lanjut, data ini juga memuat bahwa sejak saat Tiongkok melakukan hilirisasi industri, mulai tahun 1995 hingga 2019, hampir seluruh produk ekspor Tiongkok didominasi consumer goods, textiles, components, intermediate goods, dengan nilai ekspor yang terus menunjukkan tren kenaikan.

Baca juga :  Anomali PSI: Gagal Karena Kuasa Jeffrie Geovanie?

Bahan mentah (raw material) menjadi produk ekspor yang bernilai paling kecil dan hampir tidak menunjukkan tren kenaikan. Artinya, ekonomi Tiongkok bertumbuh sangat pesat dengan tidak menggantungkan diri pada ekspor bahan-bahan mentah tetapi produk bernilai tambah tinggi. Data juga menyebutkan bahwa sejak tahun 2010 hingga 2017 angka kemiskinan di Tiongkok juga terus mengalami penurunan yang signifikan.

Dan Breznits dan Michael Murphree dalam buku Run of the Red Queen menjelaskan rahasia dibalik keberhasilan Tiongkok. Disebutkan bahwa kebijakan perekonomian Tiongkok mendorong perkembangan pesat dalam pengembangan teknologi.

Alih-alih melakukan RnD sendiri yang berbiaya mahal dan membutuhkan waktu yang lama, Tiongkok menggandeng mitra-mitra strategis dari berbagai belahan dunia. Di Shanghai misalnya, perusahaan multinasional yang berasal dari negara maju menjamur, lapangan kerja terbuka lebar, hingga Tiongkok bisa melakukan transfer teknologi secara mudah.

Dengan transfer teknologi saja, Tiongkok dapat mengambil kesempatan besar untuk mengembangkan teknologinya. Alhasil, kita dapat melihat sendiri bagaimana kemudian produk-produk teknologi Tiongkok diekspor ke seluruh dunia dan membanjiri pasar global. Strategi GVC Tiongkok yang dimulai sejak era Deng Xiaoping berbuah manis.

Tiongkok hanya salah satu contoh nyata dari compressed development. Masih ada negara-negara lain yang juga memiliki ciri-ciri yang sama dengan Tiongkok, seperti India dan Vietnam.

Jika strateginya tepat, bukan tidak mungkin perekonomian Indonesia juga bisa menjadi seperti Tiongkok. Maka kita perlu memaklumi konsekuensi logis dari compressed development dibalik ‘kengototan’ Luhut dan Jokowi menemui Elon Musk, karena di sana ada mimpi besar pemerintah Indonesia agar negara kaya sumber daya alam ini bisa masuk ke dalam rantai nilai global dan tumbuh besar seperti Tiongkok.

Ada sebuah harapan besar bahwa jangan sampai di masa depan Indonesia hanya menjadi penyuplai bahan baku saja. Hilirisasi industri merupakan kebutuhan mendesak bagi Indonesia jika ingin menjadi negara maju dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Yuval Noah Harari dalam bukunya berjudul Homo Deus juga menyebutkan perjanjian modern umat manusia menyepakati bahwa orientasi ekonomi semenjak lahirnya era modernisasi dan industrialisasi adalah pertumbuhan ekonomi yang setinggi-tingginya.

Demi mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi, dibutuhkan peran teknologi modern untuk mengelola sumber daya alam. Teknologi yang diciptakan akan membantu mengakselerasi produktivitas, mendorong nilai tambah produk, sekaligus mengoptimalkan pertumbuhan ekonomi.

Jika bekerja sama dengan Tesla adalah keniscayaan, Indonesia bisa mendapat banyak keuntungan seperti terbukanya lapangan pekerjaan bagi masyarakat, transfer teknologi, hingga terbukanya peluang yang besar bagi Indonesia untuk ikut andil dalam GVC, terutama dalam ekosistem kendaraan listrik yang bisa mendorong naiknya pendapatan negara berlipat-lipat, sekaligus menjaga marwah Indonesia sebagai negara yang terpandang dan punya daya saing yang besar.


profil ruang publik yukaristia

Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.

spot_imgspot_img

#Trending Article

Anomali PSI: Gagal Karena Kuasa Jeffrie Geovanie?

Kegagalan PSI untuk lolos ke parlemen pusat dalam dua gelaran Pemilu berturut-turut memang menimbulkan pertanyaan besar.

Puan-Mega, Ada ‘Perang Sipil’ PDIP? 

Berbeda dari Megawati Soekarnoputri, Puan Maharani belakangan tunjukkan gestur yang lebih lembut kepada pemerintah dan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Mengapa demikian?

Ketua DPR, Golkar Lebih Pantas? 

Persaingan dua partai politik (parpol) legendaris di antara Partai Golkar dan PDIP dalam memperebutkan kursi Ketua DPR RI mulai “memanas”. Meskipun secara aturan PDIP paling berhak, tapi beberapa pihak menilai Partai Golkar lebih pantas untuk posisi itu. Mengapa demikian?

The Tale of Two Sons

Jokowi dan SBY bisa dibilang jadi presiden-presiden yang berhasil melakukan regenerasi politik dan sukses mendorong anak-anak mereka untuk terlibat di dunia politik.

Lolos “Seleksi Alam”, PKS-PKB Seteru Abadi?

Berkaca pada hasil Pileg 2024, PKB dan PKS agaknya akan menjadi dua entitas politik yang akan terlibat dalam persaingan ceruk suara pemilih Islam ke depan. Terlebih di saat PAN seakan telah melepaskan diri dari karakter Islam dan PPP harus “terdegradasi” dari kancah legislatif nasional.

Jokowi Makin Tak Terbendung?

Presiden Joko Widodo (Jokowi) dirumorkan meminta jatah menteri dari pemerintahan Prabowo Subianto. Apakah Jokowi makin tak terbendung?

Elon Musk dan Dimulainya Era Feudalisme Teknologi 

Perusahaan teknologi raksasa seperti Apple dan Starlink semakin memiliki keterikatan dengan dinamika politik. Jika pola ini terjaga, akan seperti apa pengaruhnya terhadap dunia politik di masa depan? 

Prabowonomics: Jurus ‘Lompatan Katak’?

Program makan siang dan susu gratis ala Prabowo merupakan jenis school feeding program. Mungkinkah ini jadi kunci penting Prabowonomics?

More Stories

Partai vs Kandidat, Mana Terpenting Dalam Pilpres 2024?

Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) tampak cukup bersaing dengan tiga purnawirawan jenderal sebagai kandidat penerus Prabowo Subianto sebagai Menteri Pertahanan (Menhan). Namun, di balik ingar bingar prediksi iitu, analisis proyeksi jabatan strategis seperti siapa Menhan RI berikutnya kiranya “sia-sia” belaka. Mengapa demikian?

Mencari Rente Melalui Parte: Kepentingan “Strongmen” dalam Politik

Oleh: Noki Dwi Nugroho PinterPolitik.com Berbicara mengenai "preman", yang terbersit di benark sebagian besar orang mungkin adalah seseorang dengan badan besar yang erat dengan dunia kriminalitas....

Adu Wacana Digital di Pilpres 2024: Kemana Hak-Hak Digital?

Oleh: M. Hafizh Nabiyyin PinterPolitik.com Hilirisasi digital. Ramai-ramai orang mengetikkan istilah tersebut di mesin pencari pasca debat calon wakil presiden (cawapres) yang dihelat 22 Desember 2023...