HomeCelotehMoeldoko, Kejamnya Penjaga Marwah

Moeldoko, Kejamnya Penjaga Marwah

“Bersikap netral karena tak paham, adalah suatu sikap yang terhormat. Bersikap netral karena tak mau tahu, adalah wujud nyata ketidakpedulian.”


PinterPolitik.com

[dropcap]M[/dropcap]ungkin masih terekam dalam ingatan bahwa Panglima TNI sebelumnya, Jenderal Gatot Nurmantyo pernah dikait-kaitkan dengan politik praktis.

Benar atau tidaknya belum terbukti, tapi yang jelas suara sumbang pun datang dari anggota parlemen.

Setidaknya, suara sumbang itu memberikan makna bahwa jangan sampai TNI tak mampu menjaga netralitasnya dalam momentum politik.

Godaan akan kekuasaannya hanya akan terasa beberapa saat, tapi setelah itu? Semua akan kembali ke semula, weleeeeeh weleeeeh. Memang sih, kalau kan menang bisa jadi pejabat, tapi kalau kalah? Hasilnya hanya akan gigit jari saja. Ggggggrrr…

Sedari dulu, militer sebenarnya tak diperkenankan ikut campur dengan urusan politik praktis, haram hukumnya. Bila tergoda dengan rayuannya, mau tak mau harus undur diri dari kesatuan.

Relakah meninggalkan kesatuan demi sebuah rayuan politik sesaat? Ah, syuuuudaaahlah terserah saja, ada yang rela, ada yang terpaksa juga, weleeeeh weleeeh.

Ingin membangkitkan kembali dwifungsi militer?

Mengenai itu, Jenderal (Purn) Moeldoko, mantan Panglima TNI periode 2013-2015, mengatakan kalau dulu ia bersikap keras kepada para prajuritnya. Sikap kerasnya ini untuk menjauhkan mereka dari hasrat bersentuhan dengan ranah politik praktis.

Bahkan, ancaman pun terlontar. “Awas saja ya, kalau ada prajurit mendekati politik praktis, akan saya … aahhh syudahlah, tak sanggup melanjutkan kata-katanya, weleeeh weleeeeh.

Walau sikap Moeldoko pada masa itu terlihat begitu keras, namun di sisi lain, ia ingin menjadi penjaga marwah institusi militer agar tidak campur aduk akibat fenomena politik. Tapi, masa prajurit sendiri mau dig*r*k sih, Pak? Weleeeh weleeeeh. Itu artinya ancaman serius kan? Hmmm.

Nah, apa sekarang emang harus dibeginikan lagi ya? Biar para pimpinan dan prajurit tak sembarangan keluar dari kesatuan, demi memenuhi hasrat politiknya saja.

Hadeuuuhhh, kayanya harus begitu deh. Jangan lupa, kasih pelajaran juga ke partai politik agar tidak “terlalu genit” dan menggoda prajurit agar masuk ranah politik, weleeeeh weleeeeh.

Kalau sekarang, kayaknya terasa lebih terang-terangan ya? Tak ada rasa malunya. Sudah menjadi KSAD misalnya, eh tiba-tiba lebih memilih jadi Cagub, akhirnya mundur dari kesatuan.

Untung saja Indonesia tak sedang memiliki konflik  berkepanjangan, jadi bisa agak santai. Coba kalau Indonesia lagi kacau balau dan sedang berseteru, eh tiba – tiba komandannya mundur untuk nyagub, ah ga habis pikir deh, weleeeeh weleeeeh.

Pilkada 2018 dan Pilpres 2019 menjadi potret yang nyata dari keterlibatan prajurit ke dunia politik praktis. Hadeuuuhhh, pantesan pada mundur teratur dari militer, weleeeeh weeeleeeeh. (Z19)

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

#Trending Article

More Stories

Wali Kota Depok ‘Biduan Lampu Merah’

"Kualitas humor tertinggi itu kalau mampu mengejek diri sendiri. Cocok juga ditonton politisi. Belajar becermin untuk melihat diri sendiri yang asli, " - Butet...

DPR Terpilih ‘Puasa Bicara’

“Uang tidak pernah bisa bicara; tapi uang bisa bersumpah,” – Bob Dylan PinterPolitik.com Wakil rakyat, pemegang amanah rakyat, ehmmm, identitas yang disematkan begitu mulia karena menjadi...

Ridwan Kamil Jiplak Jurus Jokowi

“Untuk melakukan hal yang buruk, Anda harus menjadi politisi yang baik,” – Karl Kraus PinterPolitik.com Pemindahan Ibukota masih tergolong diskursus yang mentah karena masih banyak faktor...