HomeNalar PolitikWalkout dan Budaya Politik

Walkout dan Budaya Politik

Seberapa besar pengaruh aksi Walk Out terhadap perubahan kebijakan politik?


PinterPolitik.com 

[dropcap]N[/dropcap]ama Anies Baswedan kembali dicatut dan disebut-sebut lagi. Kali ini, seorang komposer berbakat Indonesia, Ananda Sukarlan, mengaku melakukan aksi walk out (WO) saat menghadiri peringatan 90 tahun berdirinya Kolese Kansius di JIExpo Kemayoran, pada Sabtu (11/10) lalu, karena Anies hadir dan memberikan pidato dalam acara tersebut.

Ananda menjelaskan jika aksi WO-nya merupakan bentuk kritik terhadap panitia yang mengundang Gubernur Jakarta. Ia menambahkan, integritas Anies bertentangan dengan apa yang diajarkan oleh Kolese Kanisius, “Pas saat Anies berbicara tentang pembangunan Jakarta. Membangun seperti apa? Itu Tanah Abang jadi kacau. Kalau kacau begitu kan, bukan pembangunan,” ujarnya.

Penjelasan Ananda langsung disambut kekecewaan dari Romo Magnis Suseno. Rohaniawan berusia 80 tahun itu, lebih lanjut mengatakan jika apa yang dilakukan Ananda adalah hal memalukan. Tak hanya Romo Magnis, musikus Eros Djarot turut berkomentar jika ‘protes’ tersebut semakin mempertajam jarak antara kelompok yang ada saat ini. “Sejak pemilihan presiden, bangsa kita ini terbelah dua: Pro-Jokowi dan Pro-Prabowo. Adegan-adegan seperti itu adalah turunannya, Pilkada sudah berlalu, kita harus move on, katanya.

Yang menarik, tak banyak yang tahu jika Anies sebelumnya juga pernah mendapat ‘penolakan’ dari warga negara Indonesia yang merantau di Jepang. Menurut pengakuan seseorang bernama Lutfi Bakhtiyar yang hadir dalam acara bertajuk ‘Pendidikan dan Muka Jakarta ke Depan’ hanyalah segelintir orang saja, bahkan beberapa diantaranya banyak yang sengaja keluar dari ruangan.

Jumatan kali ini cukup special dengan adanya "kunjungan kerja gubernur yang belum dilantik" ke Tokyo. Anies sendiri…

Posted by Lutfi Bakhtiyar on Friday, 28 July 2017

terlepas dari kebenaran dan fakta yang disajikan oleh pemilik status facebook di atas, aksi WO yang dilakukan Anada Sukarlan, memancing pertanyaan lebih jauh. Apa itu WO dan bagaimana pengaruhnya terhadap perubahan kebijakan politik yang ada?

Walk Out dalam Tradisi dan Sejarah

Menurut Collins Dictionary, aksi walk out punya makna sebagai meninggalkan tanpa penjelasan. Sementara dalam The American Heritage Dictionary of Idioms, WO memiliki arti yang berkorelasi sebagai mogok kerja. Namun, dalam tataran sosial dan politik, WO diartikan sebagai aksi meninggalkan forum atau pertemuan, sebagai bentuk protes, kemarahan, dan ketidaksetujuan.

Dalam sejarahnya, WO lekat dengan aksi mogok kerja buruh yang menuntut adanya perubahan kebijakan. Contohnya seperti gerakan buruh di Amerika Serikat dan Meksiko yang melakukan aksi mogok kerja sampai upah mereka dinaikan oleh pemilik perusahaan. Bahkan gerakan WO ini menjadi sebuah trademark di Amerika Serikat di tahun 2006, setelah hampir 40,000 murid SMA keluar gedung sebagai bentuk protes kebijakan rasis terhadap imigran.

Baca juga :  Airdrop Gaza Lewati Israel, Prabowo "Sakti"?

Sementara itu, aksi WO yang dilakukan Ananda Sukarlan cenderung merupakan simbol protes atau kritik tanpa menuntut (sebab memang sudah tidak bisa lagi terjadi) adanya perubahan. Dalam banyak kasus, WO memang dilakukan saat situasi sudah tak bisa lagi diubah. Aksi yang dilakukan Ananda, juga pernah dilakukan oleh warga Waduk Ria-Rio, saat antri ambil undian rusun. Aksi itu terjadi lantaran pihak Kecamatan tak dapat menjelaskan berbagai hal teknis terkait relokasi yang masih dipertanyakan warga.

Wakil rakyat juga tak ketinggalan pernah melakukan aski WO. Ingat pembahasan RUU Pemilu atau yang akrab dikenal Presidential Threshold 20 persen? Saat rapat pembahasannya, Partai politik seperti PKS, PAN, Gerindra, dan Demokrat disebut keluar meninggalkan forum sebab tak setuju dengan keputusan RUU Pemilu. Hal yang sama juga dilakukan Partai Demokrat di tahun 2014, saat pengesahan RUU Pilkada.

Aksi WO yang dilakukan para wakil rakyat tersebut menyiratkan sebuah sikap ‘tak ikut campur’ atau tak ikut mengambil bagian dalam pengambilan keputusan, selain tentu saja merupakan bentuk protes.

Walk Out Bertentangan dengan Sila Ke-4?

Nurdin Halid dari Golkar pernah berseloroh jika aksi WO, terutama yang dilakukan para wakil rakyat, sama saja tidak menunjukkan demokrasi yang baik kepada rakyat. Ketua Harian Partai Golkar itu menambahkan jika para politisi memutuskan meninggalkan ruangan rapat paripurna menjelang voting, sebab sudah tahu akan kalah jumlah.

Di sisi lain, tak sedikit pula beberapa kelompok masyarakat memandang aksi meninggalkan forum sebagai bentuk anomali dari pengalaman sila keempat yang berbunyi, “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dan permusyawaratan perwakilan”.

WO disebut bertentangan dan menolak melakukan permusyawaratan untuk mencapai sebuah keputusan mufakat. Dengan demikian, tak sedikit pula yang menyebut aksi WO sebagai tindakan non-kooperatif, bahkan ‘membelot’.

Di sisi lain, dalam iklim negara demokratis, aksi WO sebetulnya termasuk sebagai bentuk mengemukakan pendapat. Bahkan itu merupakan ekspresi sehat dalam menyampaikan ketidaksetujuan atau protes. Hal ini mungkin lebih lekat jika dikenai oleh rakyat, terutama bagi mereka yang kepentingannya tak terwakilkan dalam kebijakan formal.

Pemerhati isu kemanusiaan dan penulis, Syahbanu mengungkap, jika ada sesuatu yang perlu dikritisi atau didebatkan dari aksi WO, maka itu adalah argumentasi atau alasan di baliknya, bukan aksinya. Sebab, bagaimana pun, WO adalah bentuk mengungkapkan pendapat yang perlu dijaga keberadaannya.

Baca juga :  Prabowo-Megawati Bersatu, Golkar Tentukan Nasib Jokowi?

Walk Out Mampu Ubah Kebijakan?

Jika diingat-ingat kembali, aksi WO, baik yang dilakukan rakyat maupun wakil rakyat yang duduk di kursi pemerintahan, memang ramai dilakukan di masa reformasi. Namun begitu, aksi walk out sebetulnya pernah terjadi di masa kepemimpinan otoriter Soeharto di tahun 1978.

Aksi yang bisa diartikan sangat radikal di masa Orde Baru itu, terkait isi pasal Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang memuat dua hal ‘kontradiktif’, jika tak bisa disebut ironis. Pasal tersebut berisi pengakuan formal terhadap aliran kepercayaan seperti agama resmi dan melakukan indoktrinasi ideologi negara, Pancasila, sesuai dengan penafsiran Orde Baru secara massal. Dari sana, para anggota NU dan PPP secara demonstratif meninggalkan tempat sidang alias WO.

Kesamaan aksi WO di era Orde Baru dengan saat ini, adalah sama-sama belum mampu mengubah kebijakan yang sudah ada. Apa yang dilakukan Ananda Sukarlan dan NU melalui PPP di masa Orde Baru, dalam konteks waktu keIndonesiaannya masing-masing, adalah bentuk protes dan ketidaksetujuan mereka.

Begitu pula yang terjadi pada para wakil rakyat yang melakukan WO. Alih-alih berhasil merubah kebijakan, tindakan meninggalkan forum memang menunjukan ketidaksetujuan dan protes terhadap sebuah kebijakan atau hasil yang tak bisa diubah lagi.

Tak jauh berbeda, di Amerika Serikat, aksi WO memang tak banyak menyumbang perubahan signifikan bagi kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang sudah disahkan. Namun begitu, ia mampu membawa sebuah kesadaran masif sebuah isu politik. Contohnya adalah isu hak-hak imigran di tahun 1968, yang sampai mampu menggerakan aksi demonstrasi bahkan film berjudul “Walkout” di tahun 2006.

Aksi walkout di depan University of Northwesterm, Amerika Serikat (Sumber: BBC)

Di Indonesia, aksi WO memang belum bisa menginspirasi sebuah industri dalam memetik keuntungan dari sebuah gerakan sosial politik, layaknya di Amerika Serikat sana. Namun, aksi yang masih samar-samar dikenal ini, punya potensi menjadi corong lain dalam mengemukakan pendapat secara sehat.

Tentu gerakan ini akan lebih bermakna jika diikuti pula oleh literasi politik yang cukup dari masyarakatnya. Sebab bagi Aldon Morris dari Northwestern University, WO adalah salah satu cara, terutama bagi rakyat marjinal, untuk bersuara, menyatakan ketidaksetujuan, dan kemarahan, dengan meninggalkan forum dan melanjutkannya dengan demonstrasi. (Berbagai Sumber/A27)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Anies Kalah Karena Tak Lawan Politik Identitas?

Pasangan Anies-Cak Imin harus mengakui keunggulan Prabowo-Gibran yang keluar sebagai pemenang Pilpres 2024. Di atas kertas, Anies yang secara track record dan citra publik begitu menjanjikan untuk jadi Presiden RI, nyatanya belum mampu meraih peruntungan di Pilpres kali ini. Pertanyaannya adalah mengapa demikian? Benarkah ini karena posisi Anies yang tak tegas melawan fabrikasi isu politik identitas yang kerap diarahkan padanya?

Benua Asia, Propaganda Terbesar Kolonialisme?

Benua Asia adalah benua terbesar dan terkaya di dunia. Namun, sebagai sebuah wilayah yang kerap dipandang homogen, Asia sebetulnya memiliki keberagaman yang begitu tinggi di antara kawasan-kawasannya sendiri. Mungkinkah lantas Benua Asia yang kita kenal bukanlah Benua Asia yang sesungguhnya?

Selama Masih Megawati, PDIP Pasti Oposisi?

Sinyal kuat bergabungnya Partai NasDem dan PKB, ditambah keinginan PKS untuk pula merapat ke koalisi Prabowo-Gibran, membuat Megawati Soekarnoputri dan PDIP dinilai akan mengambil sikap teguh nan luhur sebagai penyeimbang pemerintah. Namun, pada praktiknya, itu akan berjalan setengah hati. Benarkah demikian?

Strategi Erick Thohir Menangkan Timnas?

Timnas U-23 lolos ke babak semifinal di Piala Asia U-23 2024. Mungkinkah ini semua berkat Ketum PSSI Erick Thohir? Mengapa ini juga bisa politis?

Iran Punya Koda Troya di Bahrain? 

Iran sering dipandang sebagai negara yang memiliki banyak proksi di kawasan Timur Tengah. Mungkinkah Bahrain jadi salah satunya? 

“Sepelekan” Anies, PKS Pura-Pura Kuat?

Telah dua kali menyatakan enggan mengusung Anies Baswedan di Pilkada Jakarta 2024, PKS kiranya sedang mempraktikkan strategi politik tertentu agar daya tawarnya meningkat. Namun di sisi lain, strategi itu juga bisa saja menjadi bumerang. Mengapa demikian?

Gibran, Wapres Paling Meme?

Usai MK bacakan putusan sengketa Pilpres 2024, Gibran Rakabuming Raka, unggah fotonya sendiri dengan sound berjudul “Ahhhhhh”.

The Battle of Javanesia 2: Proxy War Jokowi vs Prabowo di Pilkada 2024

Pilkada serentak 2024 akan jadi panggung pertaruhan partai politik dan elite nasional untuk menentukan siapa yang jejaring kekuasaannya mampu merambah hingga ke level terbawah.

More Stories

Jangan Remehkan Golput

Golput menjadi momok, padahal mampu melahirkan harapan politik baru. PinterPolitik.com Gelaran Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2018 tunai sudah. Kini giliran analisis hingga euforia yang tersisa dan...

Laki-Laki Takut Kuota Gender?

Berbeda dengan anggota DPR perempuan, anggota DPR laki-laki ternyata lebih skeptis terhadap kebijakan kuota gender 30% untuk perempuan. PinterPolitik.com Ella S. Prihatini menemukan sebuah fakta menarik...

Menjadi Pragmatis Bersama Prabowo

Mendorong rakyat menerima sogokan politik di masa Pilkada? Prabowo ajak rakyat menyeleweng? PinterPolitik.com Dalam pidato berdurasi 12 menit lebih beberapa menit, Prabowo sukses memancing berbagai respon....