HomeNalar PolitikSusi vs Luhut, Siapa Bertahan?

Susi vs Luhut, Siapa Bertahan?

Jelang waktu pelantikannya, Presiden Jokowi sedang dihadapkan pada pilihan-pilihan sulit untuk menentukan calon menteri di kabinet kerja periode keduanya. Nama Susi Pudjiastuti, Luhut Pandjaitan, Sri Mulyani, Rini Soemarno, dan beberapa menteri lainnya yang kini masih menjabat menjadi bagian dari perdebatan, akankah mereka dipilih lagi atau tidak. Nyatanya, mempertahankan orang yang tepat di posisi yang tepat dapat membantu Jokowi untuk menjaga kekuatan politiknya – hal yang sudah digariskan sejak era Kekaisaran Romawi.


PinterPolitik.com

“Democracy cannot succeed unless those who express their choice are prepared to choose wisely”.

:: Franklin D. Roosevelt (1882-1945), Presiden ke-32 Amerika Serikat ::

Memastikan orang-orang yang tepat tetap dipertahankan adalah salah satu strategi maintaining power atau mempertahankan kekuasaan. Hal ini telah digariskan oleh tokoh-tokoh besar macam Niccolo Machiavelli hingga Napoleon Bonaparte.

Bahkan sejak era Romawi, hal ini telah menjadi faktor yang menentukan kepemimpinan seorang kaisar bisa mencapai kejayaan atau tidak, katakanlah seperti yang terjadi ketika Caesar Augustus menjadi kaisar pertama Romawi.

Augustus yang dikenal dengan nama Octavian itu setidaknya punya dua orang penting yang menjadi pembantu sekaligus penentu kekuatan politiknya. Adalah Marcus Vipsanius Agrippa dan Gaius Maecenas yang dianggap sebagai lingkaran dalam kekuasaan sang agung Augustus.

Dua tokoh ini dianggap berjasa besar dalam membantu Augustus memperkuat status politiknya di awal-awal transisi Romawi dari sebuah republik menjadi imperium. Apa yang dilakukan oleh Augustus dengan memilih dan mempertahankan orang-orang yang tepat ini pun diterapkan oleh pemimpin-pemimpin besar di era-era selanjutnya.

Lalu bagaimana dengan Presiden Jokowi?

Presiden Joko Widodo (Jokowi) memang sedang berkutat untuk menentukan menteri mana yang layak dipertahankan dan menteri mana yang layak dicopot.

Pasalnya, dalam konteks kekuatan politiknya, mempertahankan orang-orang yang tepat bisa menjadi salah satu cara bagi Jokowi untuk menjaga posisi kekuasaannya tetap kokoh.

Jika demikian, menteri mana saja yang layak dicopot dan mana yang layak dipertahankan?

Dari Pratikno Hingga Susi

Menteri-menteri Jokowi memang dipersepsikan secara beragam di masyarakat. Ada yang kinerjanya sangat dipuji, namun tidak sedikit pula yang kerap dikritik. Dari yang program-programnya dianggap melindungi kepentingan rakyat, hingga yang kebijakannya justru dianggap hanya melindungi kepentingan kelompok tertentu.

Walaupun demikian, tidak sedikit dari nama-nama yang ada dalam kabinet Jokowi menduduki posisi-posisi yang saat ini ditempati karena dianggap mampu menunjang kekuasaan sang petahana secara politik.

Nama pertama yang perlu disorot adalah Menteri Sektretariat Negara (Mensesneg) Pratikno. Jarang mendapatkan lampu sorot kamera, Pratikno justru sering kali dianggap sebagai tangan kanan Jokowi yang sesungguhnya.

Mantan Rektor Universitas Gadjah Mada (UGM) ini selalu menjadi perpanjangan tangan sang presiden dalam berbagai persoalan, mulai dari tetek bengek urusan Istana, hingga penjaringan cawapres jelang Pilpres 2019 lalu.

Publik tentu ingat bagaimana Pratikno muncul ketika isu tim internal penjaringan cawapres Jokowi mencuat, pun dalam konteks menjalin komunikasi yang intens dengan Mahfud MD yang disebut sebagai cawapres pilihan Jokowi.

Jika ada satu menteri yang akan dipertahankan, maka orang itu kemungkinan besar adalah Pratikno – yang berdiri di belakang layar, namun memastikan segala hal yang diinginkan Jokowi bisa terjadi.

Menteri kedua yang perlu disorot adalah Basuki Hadimuljono, sang Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Perawakannya yang sederhana memang membuatnya cukup jauh dari hingar bingar pemberitaan politik.

Namun, hampir semua proyek pembangunan infrastruktur di era Jokowi tak akan terlaksana tanpa andil pria yang dijuluki Bapak Infrastruktur Nasional ini.

Jika pembangunan yang berkelanjutan masih akan terus diupayakan Jokowi, maka Menteri Basuki juga kemungkinan besar menjadi salah satu nama yang akan dipertahankan.

Nama berikutnya yang harus disoroti adalah Rini Soemarno, sang Menteri BUMN. Dianggap sebagai salah satu menteri paling kontroversial di kabinet Jokowi, tak ada yang menyangka Rini bisa lolos dari setiap reshuffle kabinet dan bertahan hingga 5 tahun.

Dengan banyak masalah utang, kinerja BUMN yang tidak memuaskan, ditambah dengan kebijakan-kebijakan pengangkatan direksi yang dituduh tidak transparan, tak heran banyak pihak yang berharap Rini dicopot.

Apalagi, beberapa hari lalu sebagian wilayah Pulau Jawa dilanda mati lampu selama berjam-jam, hal yang lagi-lagi berhubungan dengan kinerja BUMN di bidang listrik, PLN.

Lalu, apakah Jokowi akan mencopot menteri yang memimpin kementerian dengan total aset Rp 8.200 triliun ini? Agaknya, hal tersebut akan jadi pertaruhan yang cukup sulit. Pasalnya, beberapa sumber menyebutkan bahwa Rini adalah bagian dari inner circle kekuasaan Jokowi.

Artinya, posisi Rini sangat mungkin berbanding lurus dengan posisi politik Jokowi sendiri. Mencopot Rini bisa jadi langkah tepat, tapi bisa jadi juga berdampak buruk untuk kekuatan politik Jokowi. Namun, jika risiko adalah taruhannya, maka dampak positif akan lebih terlihat jika Jokowi mencopot Rini.

Berikutnya ada nama Menteri ESDM Ignasius Jonan. Sekalipun dianggap berhasil dalam proses pengambilalihan saham PT Freeport Indonesia, namun nama Jonan bersama Rini sempat disebut secara khusus oleh Jokowi terkait angka impor migas yang terus meningkat.

Selain itu, persoalan mati lampu yang terjadi beberapa waktu lalu yang menimpa PLN juga disebut-sebut bersinggungan dengan kerja supervisi ketenagalistrikan yang menjadi tanggungjawab Kementerian ESDM. Hal ini memang membuat nama Jonan disorot, dan beberapa pihak menyebutnya berpotensi akan diganti oleh Jokowi.

Selanjutnya ada tiga menteri berlatar belakang militer, yaitu Menko Kemaritiman Luhut Pandjaitan, Kepala Staf Presiden Moeldoko dan Menko Polhukam Wiranto.

Luhut adalah menteri yang punya pengaruh besar pada kekuasaan Jokowi. Sering disebut super minister, posisi Luhut sangat menentukan kekuasaan periode pertama Jokowi. Ia bahkan dianggap sebagai kunci kekuatan politik Jokowi di hadapan patron-patron politik nasional.

Namun, dengan berbagai kontroversi yang terjadi dan tudingan benturan kepentingan, beberapa pihak menyebutkan bahwa menjadi pilihan yang cukup logis bagi Jokowi untuk tidak lagi menempatkan Luhut di kementerian dan mungkin dipindahkan ke posisi lain, misalnya ke Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres).

Walaupun demikian, jika persoalan pertautan kepentingan patron politik berpotensi akan kembali mengganggu Jokowi, maka posisi Luhut akan sangat vital untuk periode kedua kekuasaan Jokowi.

Bukan tanpa alasan, keberadaan Luhut adalah pengimbang yang sepadan bagi Jokowi untuk menghadapi tekanan politik dari elite-elite besar, katakanlah misalnya di hadapan Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri.

Apalagi publik tentu ingat bagaimana pidato permintaan menteri yang disampaikan Megawati beberapa waktu lalu saat Kongres partai tersebut di Bali – hal yang menunjukkan kuatnya pengaruh putri Soekarno itu jika tidak dibendung oleh elite yang sepadan.

Dengan demikian, mempertahankan Luhut adalah pilihan yang rasional, namun bisa mendatangkan guncangan terkait konflik kepentingan.

Adapun Moeldoko kemungkinan besar masih akan dipertahankan Jokowi. Namun, posisinya akan ditentukan oleh hubungan Jokowi dengan militer. Pasalnya, Moeldoko adalah garis yang menghubungkan posisi politik sang presiden di hadapan TNI, hal yang sudah dinikmati sejak periode awal kekuasaan Jokowi.

Bukan rahasia lagi kalau faksi militer masih cenderung bergejolak dalam konteks hubungan dengan Jokowi, tokoh yang tidak punya rekam jejak militer, pun tak punya partai politik. Artinya, Jokowi harus membangun hubungan yang saling menguntungkan dengan pucuk pimpinan militer, dalam hal ini Panglima TNI.

Secara politik antarmatra militer, posisi Panglima TNI Hadi Tjahjanto yang berasal dari Angkatan Udara tentu saja tak cukup kuat, katakanlah di hadapan Angkatan Darat. Jika Hadi digantikan – katakanlah – oleh Andika Perkasa yang saat ini menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD), maka posisi politik Jokowi dengan sendirinya bisa lebih mandiri, dan mungkin tak butuh Moeldoko lagi.

Walaupun demikian, mempertahankan Moeldoko akan mendatangkan lebih banyak manfaat ketimbang menggantikannya.

Kemudian, posisi Wiranto sebagai Menko Polhukam juga cukup penting, terutama jika oposisi Jokowi di periode kedua nanti adalah kelompok Islam politik. Pasalnya, Wiranto adalah simpul kekuatan Jokowi di hadapan kelompok-kelompok ini, berbekal rekam jejak kedekatannya. 

Namun, jika Prabowo pada akhirnya jadi bergabung ke pemerintahan, maka kemungkinan besar Wiranto juga akan ikut tergeser. Apalagi, wapres Jokowi adalah Ma’ruf Amin, sosok yang kuat di hadapan kelompok agama.

Dua menteri terakhir adalah Sri Mulyani dan Susi Pudjiastuti, mungkin menjadi sosok paling populer di jajaran kabinet Jokowi.

Sri Mulyani kerap dikritik, pernah disebut sebagai “Ratu Utang” dan disebut layak untuk dicopot. Namun, kinerja sang Menkeu nyatanya diinginkan lagi oleh investor. Bahkan, ia digadang-gadang untuk naik pangkat menjadi Menko Perekonomian.

Jika investasi adalah tujuan Jokowi, maka mempertahankan Sri yang dipercaya investor boleh jadi akan menjadi pilihan yang masuk akal, sekalipun akan mendapat tentangan dari banyak pihak.

Sementara Menteri Susi juga sangat diapresiasi kinerjanya dan diharapakan untuk tetap bertahan. Walaupun sempat berbenturan dengan PKB dan Ma’ruf Amin sempat menyebut akan mengevaluasi kinerja Susi, besar kemungkinan sang menteri akan tetap dipertahankan.

Yang Lain Akan Diganti?

Lalu, bagaimana dengan menteri-menteri lainnya? Besar kemungkinan pos-pos lain itu akan diisi orang baru. Kalaupun diisi oleh orang-orang lama, maka hal tersebut bisa terjadi karena proses politik yang terjadi jelang hari pelantikan Jokowi.

Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita misalnya, berpotensi akan diganti seiring kinerja sektor ekspor impor yang tidak memuaskan.

Pun halnya dengan posisi Jaksa Agung dan menteri-menteri lainnya yang saat ini diduduki oleh tokoh-tokoh dari partai politik.

Konteksnya juga akan semakin kuat seiring potensi masuknya kubu Prabowo Subianto ke pemerintahan. Artinya, akan semakin banyak posisi yang harus dibagi-bagikan untuk partai politik, sekalipun Jokowi telah memberikan jaminan bahwa hanya 45 persen dari kursi di kabinet yang akan diberikan kepada parpol.

Pada akhirnya, mempertahankan orang yang tepat di posisi yang tepat bisa menjadi kekuatan Jokowi melaksanakan program-programnya. Persoalannya tinggal ada atau tidaknya kehendak bebas atau free will dari sang presiden untuk melakukannya. Sebab, seperti kata Franklin D. Roosevelt di awal tulisan, politik adalah tentang menggunakan pilihan. (S13)

Mau tulisanmu terbit di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Baca juga :  Manuver Mardiono, PPP "Degradasi" Selamanya?
spot_imgspot_img

#Trending Article

Strategi Erick Thohir Menangkan Timnas?

Timnas U-23 lolos ke babak semifinal di Piala Asia U-23 2024. Mungkinkah ini semua berkat Ketum PSSI Erick Thohir? Mengapa ini juga bisa politis?

Iran Punya Koda Troya di Bahrain? 

Iran sering dipandang sebagai negara yang memiliki banyak proksi di kawasan Timur Tengah. Mungkinkah Bahrain jadi salah satunya? 

“Sepelekan” Anies, PKS Pura-Pura Kuat?

Telah dua kali menyatakan enggan mengusung Anies Baswedan di Pilkada Jakarta 2024, PKS kiranya sedang mempraktikkan strategi politik tertentu agar daya tawarnya meningkat. Namun di sisi lain, strategi itu juga bisa saja menjadi bumerang. Mengapa demikian?

Gibran, Wapres Paling Meme?

Usai MK bacakan putusan sengketa Pilpres 2024, Gibran Rakabuming Raka, unggah fotonya sendiri dengan sound berjudul “Ahhhhhh”.

The Battle of Javanesia 2: Proxy War Jokowi vs Prabowo di Pilkada 2024

Pilkada serentak 2024 akan jadi panggung pertaruhan partai politik dan elite nasional untuk menentukan siapa yang jejaring kekuasaannya mampu merambah hingga ke level terbawah.

Triad, Grup Mafia Penguasa Asia?

Kelompok mafia tidak hanya ada di negara-negara Barat, di Asia, sebuah kelompok yang disebut Triad kerap disamakan dengan mafia-mafia ala Italia. Bagaimana sejarahnya?

Manuver Mardiono, PPP “Degradasi” Selamanya?

Kendati belakangan berusaha tetap membawa PPP eksis di kancah perpolitikan nasional dengan gestur merapat ke koalisi Prabowo-Gibran, Muhamad Mardiono agaknya tetap akan cukup sulit membawa PPP bangkit jika tak membawa perubahan signifikan. Mengapa demikian?

Simpati, ‘Kartu’ Rahasia Prabowo?

Prabowo meminta relawan dan pendukungnya untuk tidak berdemo agar jaga perdamaian dan tensi politik. Apakah ini politik simpati ala Prabowo?

More Stories

The Battle of Javanesia 2: Proxy War Jokowi vs Prabowo di Pilkada 2024

Pilkada serentak 2024 akan jadi panggung pertaruhan partai politik dan elite nasional untuk menentukan siapa yang jejaring kekuasaannya mampu merambah hingga ke level terbawah.

Siasat Megawati Pengaruhi Para Hakim MK

Megawati mengirimkan pengajuan diri menjadi amicus curiae atau “sahabat pengadilan” yang merupakan pendapat hukumnya kepada para Hakim MK terkait sengketa Pilpres 2024.

Diskualifikasi Gibran: Putusan Terbaik atau Terburuk MK?

Opsi mendiskualifikasi Gibran sebagai cawapres, tetapi tetap mengesahkan kemenangan Prabowo adalah pilihan yang tengah didiskusikan oleh banyak pihak menuju pembacaan putusan MK terkait sengketa Pilpres 2024.