HomeNalar PolitikSay Goodbye to Gatot?

Say Goodbye to Gatot?

Peluang Gatot nyapres tampak mulai sangat tipis seiring hilangnya nama sang jenderal dalam pembicaraan Pilpres 2019.


PinterPolitik.com

[dropcap]A[/dropcap]da yang tahu di mana Gatot Nurmantyo dan kabar pencapresannya? Mantan Panglima TNI ini pernah difavoritkan menjadi salah satu penantang kuat untuk kandidat petahana Joko Widodo dan juga musuh bebuyutannya, Prabowo Subianto. Tidak tanggung-tanggung beberapa relawan bahkan siap mendukung jika Gatot nyapres.

Berbekal portofolio mentereng sebagai pimpinan tertinggi serdadu tanah air, nama Gatot memang pantas difavoritkan. Selain itu, Gatot juga digemari kelompok Islam. Jenderal bintang empat tersebut beberapa kali tampil mesra dengan tokoh-tokoh Islam, terutama para pegiat Aksi 212.

Sayang, meski terlihat cukup seksi untuk dijadikan pengisi Istana Negara, nyatanya belum ada partai yang secara resmi mendukungnya. Padahal, pendaftaran capres sudah tinggal hitungan hari dan belum ada tanda-tanda sang jenderal mendapat dukungan. Alih-alih mendapat tiket capres, namanya seperti tenggelam di antara tokoh-tokoh lain.

Kondisi ini tentu bukan hal menyenangkan bagi jenderal Angkatan Darat (AD) tersebut. Bagaimanapun, ia sudah terlanjur percaya diri akan karir politiknya pasca pensiun sebagai tentara. Lantas, mengapa Gatot bisa tiba-tiba hilang dari berbagai pembicaraan tentang Pilpres 2019? Akankah gagal niat Gatot nyapres?

Gatot Malang Tak Dipinang

Malang benar nasib Gatot Nurmantyo. Manuver politiknya selama ini seperti tidak ada artinya. Sang jenderal sudah sowan ke sana kemari untuk mencari dukungan politik. Akan tetapi, hingga saat ini masih belum ada parpol yang secara resmi mendeklarasikan namanya menjadi capres 2019.

Padahal, ia tergolong cukup moncer di berbagai survei jelang Pilpres. Sempat tidak difavoritkan dan disebut “capres nol koma”, ia berhasil memecahkan telur tersebut dan nyaris selalu tembus lima besar dalam survei elektabilitas capres.

Tengok saja pada survei yang dirilis oleh Indo Barometer beberapa waktu lalu. Nama sang jenderal berada di urutan keempat dengan perolehan 2,7 persen. Ia berhasil mengungguli tokoh-tokoh lain yang kerap dibicarakan sebagai capres, seperti Anies Baswedan dan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).

Tidak hanya memiliki modal secara elektabilitas, Gatot juga tergolong memiliki kekuatan politik yang cukup lengkap dan mewakili kekuatan politik utama negeri ini. Tidak ada yang bisa melepaskan fakta bahwa Gatot adalah seorang mantan Panglima TNI, jabatan tertinggi tentara di negeri ini. Jabatan tersebut menjadi modal utama yang mumpuni untuk mengejar jabatan politik apapun.

Selain itu, Gatot juga dikenal dekat dengan kelompok Islam. Kehadirannya di Aksi 212 menimbulkan citra semacam itu dalam diri mantan Pangkostrad tersebut. Praktis, Gatot sudah mengantongi modal berupa dukungan dari salah satu kelompok utama di negeri ini.

Baca juga :  The Battle of Javanesia 2: Proxy War Jokowi vs Prabowo di Pilkada 2024

Meski begitu, nyatanya nasib jenderal bintang empat tersebut tergolong malang. Langkah Gatot nyapres hingga saat ini masih belum mencapai titik terang. Alih-alih mendapat tiket resmi sebagai capres, namanya justru hilang di balik bayang-bayang figur-figur lain.

Ganjalan utama pria kelahiran Tegal tersebut adalah ia bukan tokoh partai politik. Meski rajin bertemu elite-elite parpol, belum sekalipun sang jenderal menyatakan kesediaan bergabung dengan mereka. Kondisi ini jelas menyulitkan parpol untuk mengusungnya yang kerap berharap bisa mengusung kader asli partai.

Jalur nonpartisan ala Gatot ini memang tidak selalu mudah untuk ditempuh. Dalam beberapa kasus, ada banyak politisi yang gagal melaju ke pemilihan sebenarnya karena tidak mendapatkan tiket pencalonan dari partai. Padahal, dari sisi popularitas kandidat tersebut cukup diperhitungkan.

Gatot Nyapres Terhalang Parpol

Secara spesifik, nasib Gatot yang terkatung-katung jelang Pilpres ini berasal dari sifat-sifat parpol di negeri ini. Ada koalisi besar yang tengah mengemuka saat ini dan mereka memiliki karakteristik masing-masing yang menyulitkan langkah Gatot menuju Istana.

Kategorisasi partai memang banyak ragamnya. Dalam konteks ini, kategorisasi yang digunakan adalah presidentialized party (partai terpresidensialisasi) dan juga personalized party (partai terpersonalisasi/personal). Jika diperhatikan, koalisi yang berpotensi terbentuk saat ini digawangi oleh partai-partai dengan dua karakteristik tersebut.

Secara konsep, presidentialized party kerap diartikan sebagai partai yang mengincar kemenangan di tingkat Pilpres. Partai seperti ini umumnya hanya mengejar coattail effects atau efek ekor jas dari presiden yang diusung. Konsep ini diungkapkan misalnya oleh Thomas Poguntke dan Paul Webb.

Gatot nyapres

Terlihat bahwa partai-partai yang ada di dalam koalisi pendukung Jokowi dapat dikategorikan sebagai presidentialized party. Partai-partai ini tampak mencari aman dan ingin mendukung kandidat presiden yang mereka kira pasti menang. Dengan begitu, mereka berharap bisa menumpang popularitas presiden yang diusung.

Sementara itu, personalized atau personalistic party memiliki ciri-ciri yang berbeda. Partai ini amat bertumpu pada patronase yang kuat dengan adanya pemimpin yang kharismatik. Nyaris semua hal berpusat dari sosok pemimpin ini termasuk popularitas partainya. Kategorisasi seperti ini dilakukan misalnya oleh Richard Gunther dan Larry Diamond.

Klasifikasi seperti ini bisa dialamatkan pada partai-partai yang berada di kubu Prabowo, terutama Gerindra sebagai motornya. Partai berlogo Garuda ini tampak begitu bertumpu pada sosok pendirinya, Prabowo Subianto. Dikarenakan peran sentral mantan Danjen Kopassus tersebut, partai ini pun lebih memilih memperjuangkan Prabowo sebagai presiden. Jika pun Prabowo tidak maju, diprediksi semua restu harus berasal dari sang ketua umum itu.

Berdasarkan kedua karakteristik tersebut, kans Gatot yang tak berpartai memang sangat minim. Perahu-perahu partai menuju Istana tampak sudah terisi sesuai dengan kebutuhan karakteristik masing-masing.  maka, wajar saja jika ia tidak banyak dibicarakan di hari-hari jelang pendaftaran capres.

Butuh Keajaiban

Kesulitan Gatot merengkuh kursi RI-1 juga bisa saja bersumber dari kondisi di luar partai politik. Sebagai seorang tokoh militer terkemuka, ia diharapkan bisa mengambil portofolionya yang mentereng ke ranah Pilpres. Perlu diakui, dua presiden di negeri ini pernah diisi oleh tokoh TNI dan secara spesifik Angkatan Darat (AD).

Baca juga :  Operasi Bawah Tanah Singkirkan PDIP dari Ketua DPR?

Meski begitu, pengaruhnya di korps angkatan bersenjata ini perlahan tengah diredam. Hal ini terutama disebabkan oleh munculnya sosok Moeldoko di lingkar satu kekuasaan Jokowi. Pendahulu Gatot sebagai Panglima TNI ini disebut-sebut memang direkrut khusus untuk mengurangi pengaruh Gatot di TNI AD.

Hal ini membuat keunggulan Gatot dari sisi militer justru menjadi tidak terlalu kentara. Kehadiran Moeldoko membuat pengaruh Gatot di TNI AD menjadi ternetralisasi. Dalam kadar tertentu, bisa saja TNI AD kini lebih tunduk kepada Jokowi atas pengaruh Moeldoko.

Ganjalan Gatot juga bisa saja bersumber dari persoalan dana. Tidak dapat dipungkiri bahwa saat ini politik di negeri ini bersifat transaksional. Tidak dapat dibuktikan memang, tetapi kondisi itu sudah menjadi rahasia umum yang lama tercium.

Diberitakan bahwa Gatot cukup dekat dengan sosok pengusaha Tomy Winata. Sang jenderal sendiri mengakui bahwa ia memang dekat dengan Tomy. Banyak orang menduga bahwa Tomy akan menjadi penopang dana utama bagi ambisi Gatot menuju Istana.

Meski begitu, sosok Tomy dikisahkan adalah sosok yang nasionalis. Hal ini dibuktikan misalnya kerelaannya berkoordinasi dengan pemerintahan Jokowi dalam bidang kelautan. Ini terungkap setelah setelah sejumlah bisnisnya di bidang tersebut tersendar karena kebijakan Susi Pudjiastuti di bawah komando Jokowi. Dalam konteks tersebut, sang taipan bahkan mengaku mendukung pemerintahan Jokowi selama mampu menjaga laut Indonesia.

Berdasarkan kondisi tersebut, ada kemungkinan ia akan mendukung kandidat yang ia anggap nasionalis. Jika ada sosok lain yang dianggap nasionalis, bisa saja sokongan dana Tomy tersebut beralih dari Gatot ke kandidat lain.

Berbagai kondisi tersebut membuat Gatot benar-benar membutuhkan keajaiban. Sejauh ini, peluang Gatot nyapres nyaris tertutup. Meski begitu, masih ada secercah harapan meski belum tentu sepenuhnya sesuai dengan keinginannya.

Saat ini tampak bahwa posisi orang nomor dua untuk Prabowo masih terbuka. Gerindra sendiri dikabarkan tertarik memberi peluang kepada Gatot. Apalagi, dalam survei yang dirilis Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) baru-baru ini Gatot dianggap sebagai salah satu sosok yang tepat untuk Prabowo.

Gatot bisa saja mengambil opsi tersebut. Opsi tersebut tergolong lebih realistis ketimbang memaksakan Gatot nyapres. Hal itu pun dengan catatan, koalisi Prabowo tidak mengambil tokoh-tokoh lain seperti Anies atau AHY.

Opsi paling terbuka sejauh ini tampaknya hanya itu. Keajaiban baru akan terbuka jika ada poros ketiga yang bersedia mengusungnya. Jika tidak, bisa jadi kita harus say goodbye to Gatot dan sampai jumpa di 2024. (H33)

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Strategi Erick Thohir Menangkan Timnas?

Timnas U-23 lolos ke babak semifinal di Piala Asia U-23 2024. Mungkinkah ini semua berkat Ketum PSSI Erick Thohir? Mengapa ini juga bisa politis?

Iran Punya Koda Troya di Bahrain? 

Iran sering dipandang sebagai negara yang memiliki banyak proksi di kawasan Timur Tengah. Mungkinkah Bahrain jadi salah satunya? 

“Sepelekan” Anies, PKS Pura-Pura Kuat?

Telah dua kali menyatakan enggan mengusung Anies Baswedan di Pilkada Jakarta 2024, PKS kiranya sedang mempraktikkan strategi politik tertentu agar daya tawarnya meningkat. Namun di sisi lain, strategi itu juga bisa saja menjadi bumerang. Mengapa demikian?

Gibran, Wapres Paling Meme?

Usai MK bacakan putusan sengketa Pilpres 2024, Gibran Rakabuming Raka, unggah fotonya sendiri dengan sound berjudul “Ahhhhhh”.

The Battle of Javanesia 2: Proxy War Jokowi vs Prabowo di Pilkada 2024

Pilkada serentak 2024 akan jadi panggung pertaruhan partai politik dan elite nasional untuk menentukan siapa yang jejaring kekuasaannya mampu merambah hingga ke level terbawah.

Triad, Grup Mafia Penguasa Asia?

Kelompok mafia tidak hanya ada di negara-negara Barat, di Asia, sebuah kelompok yang disebut Triad kerap disamakan dengan mafia-mafia ala Italia. Bagaimana sejarahnya?

Manuver Mardiono, PPP “Degradasi” Selamanya?

Kendati belakangan berusaha tetap membawa PPP eksis di kancah perpolitikan nasional dengan gestur merapat ke koalisi Prabowo-Gibran, Muhamad Mardiono agaknya tetap akan cukup sulit membawa PPP bangkit jika tak membawa perubahan signifikan. Mengapa demikian?

Simpati, ‘Kartu’ Rahasia Prabowo?

Prabowo meminta relawan dan pendukungnya untuk tidak berdemo agar jaga perdamaian dan tensi politik. Apakah ini politik simpati ala Prabowo?

More Stories

Membaca Siapa “Musuh” Jokowi

Dari radikalisme hingga anarko sindikalisme, terlihat bahwa ada banyak paham yang dianggap masyarakat sebagai ancaman bagi pemerintah. Bagi sejumlah pihak, label itu bisa saja...

Untuk Apa Civil Society Watch?

Ade Armando dan kawan-kawan mengumumkan berdirinya kelompok bertajuk Civil Society Watch. Munculnya kelompok ini jadi bahan pembicaraan netizen karena berpotensi jadi ancaman demokrasi. Pinterpolitik Masyarakat sipil...

Tanda Tanya Sikap Gerindra Soal Perkosaan

Kasus perkosaan yang melibatkan anak anggota DPRD Bekasi asal Gerindra membuat geram masyarakat. Gerindra, yang namanya belakangan diseret netizen seharusnya bisa bersikap lebih baik...