HomeHeadlinePutin-Zelensky dan Adiksi Ultra-Ekstrem Foreign Fighters

Putin-Zelensky dan Adiksi Ultra-Ekstrem Foreign Fighters

Dengarkan artikel ini:

Audio ini dibuat menggunakan AI.

Fenomena sub-foreign fighters, yakni “tentara turis” mulai menjadi materi analisis menarik karena eksistensinya yang marak dan dilembagakan oleh Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky melalui Ukrainian Foreign Legion atau Legiun Internasional Ukraina. Lalu, mengapa beberapa warga negara asing rela mati demi peperangan dan perebutan kepentingan negara lain? Serta seperti apa masa depan dan implikasinya, termasuk bagi Indonesia?


PinterPolitik.com

Legiun Internasional bentukan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky menarik minat puluhan ribu warga negara asing yang rela mati bertempur melawan angkatan bersenjata Rusia dalam konflik yang telah berlangsung dua tahun.

Hal itu sekaligus mengusik analisis dan interpretasi mengenai motivasi baru pertempuran di level individu yang melampaui frasa “ideologi” maupun “tentara bayaran” di akhir kuartal pertama abad ke-21 ini.

Dalam jurnal berjudul War Tourism: A New Brand of Foreign Fighter, Scott Mowat mendefinisikannya sebagai war tourism.

Publikasi yang diterbitkan pada April 2022 itu mencoba mengurai perbedaan war tourism dan dark tourism, pejuang asing (foreign fighters), serta teroris asing (foreign terrorist fighters).

Tetapi, definisi Mowat mengenai war tourism dan perbedaannya dengan dark tourism sebenarnya sedikit rancu.

Menurut Mowat, dark tourism atau thanatourism merupakan bentuk pariwisata yang berfokus pada kunjungan wisatawan ke situs-situs peristiwa “gelap” atau mengerikan. Mulai dari wisata ke tugu peringatan perang, kuburan massal, hingga penjara. Dalam literatur lain, makna itu sedikit tumpang tindih dengan war tourism.

Yang membedakannya, war tourism tak hanya berarti perjalanan wisata ke tempat yang pernah menjadi lokasi konflik semata, tetapi juga ke sebuah peperangan yang aktif atau sedang berlangsung di suatu wilayah.

Mowat sendiri belum memberikan diferensiasi pemaknaan individu – khususnya warga negara asing – yang melakukan war tourism hanya sekadar untuk menyaksikan konflik dari dekat, dengan mereka yang turut terlibat aktif bertempur dalam peperangan.

Definisi itu menjadi penting untuk dipahami sebagai landasan analisis lebih lanjut mengenai motivasi sesungguhnya para “turis” dari berbagai negara yang turut bertempur dalam sebuah konflik, khususnya perang antarnegara seperti di konflik Rusia vs Ukraina.

Jawaban tentang mengapa para individu itu rela melakukan perjalanan jauh untuk terlibat aktif dalam sebuah perang agaknya menjadi pintu masuk interpretasi yang dapat bermuara pada pendefinisian yang tepat.

Hobi Ekstrem Baru?

Satu hal yang tak menjadi perdebatan dalam diskursus ini adalah predikat bagi pada individu itu, yakni sebagai pejuang asing atau foreign fighters.

Meskipun istilah foreign fighters merupakan penemuan baru dan jarang digunakan sebelum akhir tahun 1980-an, fenomena tersebut memiliki akar sejarah tersendiri. Tentu, setelah bentuk  negara, yurisdiksi, serta istilah kewarganegaraan telah dikenal.

Kebanyakan, istilah foreign fighters mengacu beberapa kriteria. Tetapi, dalam interpretasi ini akan merujuk pada definisi Thomas Hegghammer dalam The Rise of Muslim Foreign Fighters: Islam and the Globalization of Jihad.

Foreign fighters digambarkan sebagai sukarelawan perang yang secara sadar bergabung dalam konflik – baik perang antarnegara maupun antarfaksi di sebuah konflik domestik – tanpa memiliki hubungan dengan entitas yang bertikai berdasarkan kewarganegaraan atau hubungan kekerabatan, serta bukan merupakan bagian dari organisasi militer resmi, dan yang tidak menerima keuntungan seperti tentara bayaran.

Baca juga :  Jokowi Dukung Pramono?

Hal itu juga berbeda dengan foreign terrorist fighter (FTF) dari sudut pandang global mengenai pejuang asing yang bergabung dengan organisasi teroris seperti ISIS maupun Al Qaeda.

Setidaknya, foreign fighters  dapat ditelusuri sejak abad ke-19. Dietrich Jung dalam The Search for Meaning in War: Foreign Fighters in a Comparative Perspective mengutip kisah penyair Inggris Lord Byron yang meninggalkan tanah airnya untuk berpartisipasi dalam Perang Kemerdekaan Yunani (1821-1833).

Saat itu, philhellene atau sentimen romantisme terhadap segala hal terkait Yunani, mendorong individu-individu seperti Byron pergi ke peperangan, dalam hal ini melawan Kekaisaran Ottoman yang dinilai sebagai barbarian.

Para individu yang terlibat kala itu menganggapnya sebagai  perjuangan apokaliptik antara kekuatan baik dan jahat, yang memerlukan keterlibatan aktif mereka.

Alasan ideologis di balik fenomena foreign fighters semacam itu pun terjadi dalam konflik dan peperangan di era berikutnya, seperti Perang Saudara Spanyol (1936—1939), Perang Soviet–Afghanistan (1979-1989), hingga perang berlandaskan jihad di akhir abad ke-20 dan memasuki abad ke-21 di Timur Tengah dan Afrika.

Namun, yang menarik di perang Rusia-Ukraina, alasan ideologis bukan menjadi satu-satunya para foreign fighters, seperti untuk melawan kesewenang-wenangan dan totalitarianisme kubu Presiden Rusia Vladimir Putin atau justifikasi menggerus Neo-Nazi di kubu berbeda.

Terlepas dari kepentingan pragmatis masing-masing entitas yang berperang, hingga probabilitas “konflik yang dipelihara”, sekali lagi, motivasi nonideologis para foreign fighters kiranya cukup penting untuk dipahami.

Mengacu pada beberapa catatan, literatur, dan testimoni foreign fighters dalam perang Rusia-Ukraina, mereka menjadi volunteer atau secara sukarela disebabkan oleh beberapa alasan.

Aspek psikologis menjadi benang merah, selagi para foreign fighters tak hanya sekadar rela mati bertempur demi negara atau entitas lain, namun mendanai perjalanan dan logistik mereka sendiri ke medan perang.

Kendati, dalam beberapa kasus mereka akhirnya diorganisir dan didanai seperti Legiun Internasional Ukraina.

Bagi eks atau tentara aktif maupun nonaktif, beberapa terpantik oleh rasa candu akan desingan peluru dan adrenalin yang terpompa karena kontak senjata dengan musuh. Sementara itu, beberapa lainnya menganggap “kehidupan yang biasa saja” sangat membosankan.

Selain itu, menemukan makna lain dalam hidup juga menjadi variabel psikologis lain. Terakhir, menjadikan keterlibatan di perang sungguhan sebagai “hobi ekstrem” turut melandasi alasan beberapa foreign fighters.

Ya, latar belakang terakhir kiranya menjadi faktor determinan baru saat ini. Hobi dan ketertarikan terhadap hal berbau militer, mengoleksi senapan, hobi menembak atau skenario perang, hingga kombinasinya dengan gaya hidup atau lifestyle tactical yang berkembang pesat agaknya menjadi pendorong lain keterlibatan mereka.

Baca juga :  The Rise of Eko Patrio

Dengan sokongan finansial yang memadai tentunya, mereka tak perlu mengikuti pendidikan atau pelatihan hingga disiplin ketentaraan, untuk menjadi seorang “tentara” atau mengkategorikan diri sebagai pasukan khusus yang terlibat langsung dalam pertempuran sungguhan.

Pada akhirnya, dengan tetap memberikan penghormatan tertinggi pada etika dan para korban, foreign fighters dapat dikatakan menjadi semacam hobi atau adiksi ultra-ekstrem saat ini yang mewarnai sebuah konflik bersenjata.

Mereka kemungkinan menjadikan kematian “hanya” sebagai konsekuensi yang tak berbeda dibandingkan hobi lain seperti parasut yang tak mengembang saat menekuni terjun payung, maupun tali yang putus kala melakukan bungee jumping.

Motivasi mereka mungkin bertambah dengan perkembangan teknologi dan media sosial saat ini, ketika dokumentasi dan kisah perjalanan mereka di medan pertempuran menjadi semacam kepuasan dan kebanggaan tersendiri.

Terlebih, dalam konflik edisi Putin vs Zelensky. Kebanggan mereka yang berada di kubu Ukraina tentu berlipat karena berhadapan dengan Rusia yang dikatakan memiliki militer terkuat kedua di dunia.

Lalu, bagaimana masa depan hobi atau adiksi ini? Terutama, kemungkinan implikasinya bagi warga negara Indonesia yang mungkin memiliki motivasi serupa?

perang ukraina sudah lepas kendali

Wajib Diregulasi

Hingga Februari 2024, Legiun Internasional Ukraina mencakup foreign fighters yang berasal dari 60 negara. Legiun itu sendiri dilaporkan terbagi ke dalam beberapa batalion, resimen, maupun unit-unit lebih kecil lainnya dengan spesialisasi berbeda.

Kendati Legiun Internasional Ukraina memiliki legalitasnya tersendiri dan bahkan sejumlah Duta Besar Ukraina mengajak warga negara di tempat mereka diutus untuk bergabung, beberapa pemerintahan resisten terhadap invitasi itu.

Sejumlah negara memang melegalkan warga negaranya untuk terlibat, khusus ke dalam Legiun Internasional Ukraina. Sebut saja Prancis, Jerman, Belgia, Selandia Baru, hingga Portugal.

Bahkan, regulasi di negara tetangga Indonesia, yakni Thailand memperbolehkan foreign fighters di Legiun Internasional Ukraina, meski pemerintah negeri Gajah Putih mengimbau larangan bagi warganya untuk bergabung.

Di beberapa negara lain, regulasi cenderung abu-abu, termasuk di Amerika Serikat yang menyumbang cukup banyak foreign fighters dengan kemampuan mumpuni untuk melawan Rusia.

Sementara itu, Indonesia cukup jelas melarang keterlibatan warga negaranya untuk bergabung sebagai foreign fighters dengan alasan apapun. Secara regulasi, warga negara Indonesia yang terlibat dalam kesatuan militer asing tanpa izin presiden akan kehilangan kewarganegaraannya.

Berdasarkan hal itu, regulasi yang pada akhirnya kembali pada masing-masing negara kiranya akan membuat fenomena foreign fighters dengan motivasi menyalurkan hobi ultra-ekstrem akan menjadi warna baru dalam konflik dan peradaban manusia di waktu mendatang.

Selain regulasi masing-masing negara, masa depan dan dinamika foreign fighters kiranya akan kembali ke level terkecil, yakni individu.

Level penafsiran berbeda terhadap nasionalisme, kepentingan nasional, hingga hakikat peperangan akan saling berkelindan dengan nilai dan kemampuan yang dimiliki oleh individu dalam mengaktualisasikan kebebasan yang dipahami dan dimilikinya. (J61)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Jokowi Tidak Abadi 

Perbedaan sorakan yang diberikan para politisi ketika pelantikan anggota DPR/DPD/MPR 2024-2029, kepada Jokowi dan Prabowo tuai respons beragam dari warganet. Apa yang sebenarnya terjadi? 

Puan Sudah Siap Ketuai PDIP?

Puan Maharani kembali terpilih sebagai Ketua DPR RI untuk periode 2024-2029. Jika mampu menyelesaikan kepemimpinan hingga tahun 2029, maka Puan akan tercatat sebagai anggota DPR dengan masa jabatan terlama dan memimpin dalam 2 periode.

AHY Makes Demokrat Great Again?

Tidak terlalu dini kiranya untuk meneropong kepemimpinan Indonesia di tahun 2029 saat nama Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) muncul sebagai salah satu kandidat menjanjikan. Mengapa demikian?

Kenapa Pendukung Anies Pilih RK?

Para pemilih Anies Baswedan dinilai cenderung memilih pasangan calon Ridwan Kamil (RK)-Suswono di Pilkada Jakarta 2024. Mengapa demikian?

Siasat Prabowo Medical Check-up Gratis

Presiden terpilih RI, Prabowo Subianto, berencana untuk melakukan kebijakan medical check-up gratis. Siasat apa yang mendasari rencana Prabowo?

Amarah Trah Mulyono?

Frasa “Mulyono” justru dimainkan ulang oleh anak dan menantu Joko Widodo (Jokowi). Kaesang Pangarep, Bobby Nasution, dan Kahiyang Ayu secara bergiliran menggunakannya dan seolah menggambarkan gestur politik yang justru dinilai akan menjadi “bom waktu”.

Sisi Kelam Bantuan Australia ke Indonesia?

Australia merupakan salah satu pendonor finansial terbesar secara bilateral bagi Indonesia, namun, skema yang dilakukan Australia kerap dikritik. Mengapa demikian? 

Mungkinkah Jokowi Seperti Lee Kuan Yew?

Prediksi yang menyebut Jokowi akan tetap punya pengaruh dalam kekuasaan Prabowo Subianto – setidaknya dalam jangka waktu 1 tahun pertama – menjadi pergunjingan yang menarik di kalangan para pengamat politik.

More Stories

AHY Makes Demokrat Great Again?

Tidak terlalu dini kiranya untuk meneropong kepemimpinan Indonesia di tahun 2029 saat nama Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) muncul sebagai salah satu kandidat menjanjikan. Mengapa demikian?

Amarah Trah Mulyono?

Frasa “Mulyono” justru dimainkan ulang oleh anak dan menantu Joko Widodo (Jokowi). Kaesang Pangarep, Bobby Nasution, dan Kahiyang Ayu secara bergiliran menggunakannya dan seolah menggambarkan gestur politik yang justru dinilai akan menjadi “bom waktu”.

Jokowi Kembali ke Pelukan PDIP?

Peluang rekonsiliasi Joko Widodo (Jokowi) dan PDIP pasca isu ketegangan sepanjang Pemilu dan Pilpres 2024 terbuka dengan momentum dan dinamika politik jelang pergantian pemerintahan. Namun, apakah daya tawar Jokowi masih relevan bagi PDIP pasca-presidensinya kelak?