HomeNalar PolitikMental Mapping Bayangi Sri Mulyani?

Mental Mapping Bayangi Sri Mulyani?

Seri pemikiran Kishore Mahbubani #14

Wacana pembentukan Dewan Moneter melahirkan perdebatan. Ada yang menyebutkan bahwa Bank Indonesia sudah selayaknya dibiarkan independen dan tidak boleh berada di bawah garis koordinasi pemerintah – dalam hal ini Menteri Keuangan. Namun, berbagai studi lain justru menyebutkan bahwa di tengah krisis ekonomi seperti sekarang ini, koordinasi yang dekat antara pemerintah dan Bank Sentral adalah kunci agar negara bisa keluar dari situasi krisis.


PinterPolitik.com

“A shift of power to Asia [is taking place] and the 21st century will be the Century of Asia. We need to be very clear about that. There is absolutely no doubt”.

::Kishore Mahbubani, akademisi dan mantan diplomat Singapura::

Beberapa waktu terakhir, berbagai media asing menyoroti kebijakan ekonomi yang sedang digarap oleh pemerintah Indonesia, utamanya terkait posisi Bank Indonesia alias BI.

Bloomberg misalnya menurunkan tajuk pembalikan kebijakan ekonomi yang disebut mengulang apa yang telah terjadi pada Indonesia sejak tahun 1953. Mengutip pernyataan dari perusahaan finansial Nomura Holdings Inc, disebutkan bahwa narasi untuk mengubah posisi BI menjadi di bawah koordinasi Menteri keuangan dalam sebuah Dewa Moneter akan mengembalikan Indonesia ke era sebelum krisis 1998.

Disebutkan juga bahwa proposal pembentukan dewan ini berasal dari DPR dan jika diteruskan bisa menimbulkan kekhawatiran investor. Pasalnya jika berada di bawah koordinasi Menteri Keuangan, independensi BI sebagai Bank Sentral dianggap akan terancam.

Dewan Moneter itu sendiri merupakan sebuah dewan yang beranggotakan 5 orang, yakni Gubernur BI, satu orang menteri yang membidangi perekonomian, Deputi Gubernur Senior BI, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan diketuai oleh Menteri Keuangan.

Perubahan ketentuan dan posisi BI ini akan diatur dalam revisi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Disebutkan bahwa pasal 9 di UU tersebut yang berisi aturan bahwa pihak lain tidak bisa ikut campur dalam pelaksanaan tugas BI, sedianya akan dihapuskan. Pasal tersebut akan diganti dengan pasal baru, yakni 9A, 9B dan 9C.

Pasal baru dalam draf RUU ini akan diubah bahwa pemerintah akan ikut dalam pelaksanaan tugas dengan membentuk dewan moneter yang bertugas membantu pemerintah dan BI dalam merencanakan dan menetapkan kebijakan.

Berbagai sorotan lain kemudian muncul – selain dari media-media asing – salah satunya dari ekonom senior Rizal Ramli. Bahkan dengan sangat pedas, ia menyebutkan Dewan Moneter ini adalah “akal-akalan” Menteri Keuangan Sri Mulyani untuk mendapatkan kekuasaan lebih. Power hungry – demikian bahasa yang digunakannya.

Namun, jika tujuan dari kelahiran Dewan Moneter ini adalah untuk meningkatkan jalur koordinasi antara pemerintah dan BI, maka berkaca dari beberapa studi yang dilakukan terhadap banyak Bank Sentral di negara-negara industri maju, hal ini justru bisa menjadi jalan untuk memaksimalkan pelaksanaan kebijakan-kebijakan moneter.

Baca juga :  Anies Kalah Karena Tak Lawan Politik Identitas?

Lalu, seperti apa fenomena ini dilihat dalam kacamata pemikiran akademisi dan mantan diplomat Singapura, Kishore Mahbubani?

Strategi Kontrol Bank Sentral

Dalam salah satu paper yang dibuat oleh Paul Moser-Boehm untuk Bank for International Settlement – sebuah lembaga yang menaungi 62 Bank Sentral di dunia – disebutkan bahwa independensi sebuah Bank Sentral menjadi hal yang sangat penting. Namun, karena fungsinya sebagai institusi publik, Bank Sentral butuh berinteraksi dengan pemerintah.

Walaupun kebijakan yang terbaik bisa diambil dengan mempertahankan independensi Bank Sentral, namun dalam periode atau waktu-waktu tertentu terutama di saat krisis melanda, koordinasi dan sharing informasi yang lancar akan sangat mempengaruhi hasil dari kebijakan yang diputuskan.

Menariknya, dalam paper tersebut, Moser-Boehm juga menyebutkan bahwa persentase koordinasi antara pemerintah – dalam hal ini Menteri Keuangan – dengan Gubernur Bank Sentral cenderung lebih tinggi terjadi di negara-negara industri maju. Hal ini bisa dihitung salah satunya dari seberapa sering Gubernur Bank Sentral sebuah negara melakukan pertemuan dengan Menteri Keuangan-nya.

Di tulisan yang sama juga disebutkan bahwa di negara-negara berkembang – seperti Indonesia – koordinasi yang dekat antara Bank Sentral dengan Menteri Keuangan menjadi hal yang krusial di masa-masa krisis.

Konteks studi ini tentu saja menarik karena menjadi semacam justifikasi atau pembenaran terhadap kebijakan pembentukan Dewan Moneter di Indonesia. Pasalnya, alasan koordinasi yang lebih lancar di tengah krisis ekonomi akibat Covid-19, bisa dianggap sebagai jawaban manjur untuk pertanyaan-pertanyaan yang timbul.

Namun, ini juga bisa menimbulkan pertanyaan baru terkait apakah memang Indonesia sedang mencoba melaksanakan resep ekonomi yang mirip dengan apa yang dilakukan oleh negara-negara maju seperti yang tergambar dalam tulisan Moser-Boehm tersebut?

Jebakan Mental Mapping

Untuk menjawab pertanyaan terkait kemungkinan Dewan Moneter ini menjadi semacam resep ekonomi ala negara industri maju – atau bisa juga dibilang ala Barat – perlu untuk kembali melihat hakekat benturan peradaban yang terjadi dalam satu dekade terakhir, utamanya antara kekuatan Barat sebagai penguasa lama, dengan kebangkitan negara-negara Asia sebagai kekuatan baru.

Dalam salah satu webinar terbaru bertajuk Symposium on Social Science 2000, Mahbubani menyoroti perubahan yang terjadi secara fundamental di dunia, di mana negara-negara Asia pada akhirnya mulai bangkit dari ketertinggalan. Sebagai catatan, sebelum abad ke-18, menurut Mahbubani, peta politik global sesungguhnya dikuasai oleh Tiongkok dan India. Namun, dalam 200 tahun terakhir, peradaban Barat telah mengambil alih posisi dominan secara global.

Baca juga :  Puan x Prabowo: Operasi Rahasia Singkirkan Pengaruh Jokowi?

Kini, dengan konteks kebangkitan kembali negara-negara Asia, perubahan yang terjadi secara global memang sampai pada satu titik persoalan bagi negara-negara Asia itu sendiri, yakni bagaimana mencari tuntunan atau arah jalan untuk menuju pada kemajuan.

Namun, menurut Mahbubani, permasalahannya masih banyak negara-negara Asia yang terikat pada mental maps atau peta mental yang diberikan dan digariskan oleh ahli-ahli ilmu sosial pada abad ke-19 dan abad ke-20, yang mayoritas di antaranya berasal dari dunia Barat. Menurut Mahbubani, hal ini tidak bisa lagi dipakai sebagai acuan bagi negara-negara Asia untuk bergerak maju di abad ke-21.

Mental maps itu sendiri merupakan konsep geography behavioral yang bisa diartikan sebagai pola perilaku dan pandangan seseorang yang dipengaruhi oleh area interaksi mereka. Intinya mental mapping adalah kajian untuk melihat kaitan antara faktor geografi dan pemaknaan yang diberikan padanya, dengan pola perilaku individu.

Kevin Lynch dengan bukunya The Image of the City, merupakan salah satu pemikir paling prominen terkait gagasan ini. Kajian ini memang sering digunakan untuk menganalisis pola perilaku masyarakat di wilayah kota atau pemukiman tertentu. Namun, pengaplikasiannya bisa juga digunakan dalam konteks sistem geopolitik internasional.

Terkait hal tersebut, menurut Mahbubani, perlu ada perubahan pola perilaku negara-negara di Asia dalam konteks persepsi mereka terhadap dunia Barat. Pola perilaku ini akan sangat bergantung pada mental mapping yang dipakai.

Menurutnya, sudah saatnya negara-negara Asia tidak lagi bergantung besar pada dunia Barat lagi, termasuk dalam konteks bidang keilmuan sosial. Apalagi, makin ke belakang, makin sering peradaban Barat menggunakan standar ganda dalam perilaku negaranya.

Hal ini nyatanya bisa berlaku untuk persoalan politik dan ekonomi. Pola pengambilan kebijakan ekonomi yang kini diambil oleh negara-negara Asia juga cenderung berangkat dari pemikiran-pemikiran Barat.

Di satu sisi, ketika berbicara tentang penyelesaian persoalan, rumusan ala Barat tersebut bisa saja akan berhasil. Namun, di sisi lain, menemukan formula yang lebih “ketimuran” misalnya, cenderung akan jauh lebih tepat guna.

Dalam konteks kebijakan ekonomi lewat Dewan Moneter, boleh jadi rumusan kebijakannya mengambil instisari pemikiran ekonomi Barat. Ekonomi Indonesia memang belakangan menjadi sangat western sentris. Menkeu Sri Mulyani misalnya, punya latar belakang pendidikan dan profesi yang sangat Barat.

Artinya, bayangan mental mapping seperti yang disebut oleh Mahbubani boleh jadi terjadi juga padanya. Jika mental mapping ini bisa menjadi jawaban agar Indonesia keluar dari ketergantungan terhadap dunia Barat, mungkin kebijakan Dewan Moneter ini perlu untuk dilihat dari sudut pandang yang berbeda.

Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (S13)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Bukan Teruskan Jokowi, Prabowo Perlu Beda?

Presiden terpilih RI, Prabowo Subianto selalu sebut akan lanjutkan program-program Presiden Jokowi, Namun, haruskah demikian? Perlukah beda?

Alasan Ketergantungan Minyak Bumi Sulit Dihilangkan

Bahan bakar minyak (BBM) terus dikritisi keberadaannya karena ciptakan berbagai masalah, seperti polusi udara. Tapi, apakah mungkin dunia melepaskan ketergantungannya pada BBM?

Ada Kongkalikong Antara Iran dan Israel?

Kendati diisukan akan jadi perang besar, konflik antara Iran dan Israel justru semakin mereda. Mengapa hal ini bisa terjadi? 

Sangat Mungkin Jokowi & Anies Mendirikan Parpol?

Opsi mendirikan partai politik (parpol) menjadi relevan dan memiliki signifikansi tersendiri bagi karier politik Anies Baswedan dan Joko Widodo (Jokowi) pasca 2024. Akan tetapi, hal itu agaknya cukup mustahil untuk dilakukan saat berkaca pada kecenderungan situasi sosiopolitik saat ini.

Singapura ‘Ngeri-ngeri Sedap’ ke Prabowo?

Jokowi ajak Prabowo ketika bertemu PM Singapura Lee Hsien Loong dan deputinya, Lawrence Wong. Mungkinkah 'ngeri-ngeri sedap' ke Prabowo?

Anies Menuju Mendikbud Prabowo atau Gubernur Jakarta?

Pasca kalah di Pilpres 2024, banyak pertanyaan muncul terkait jabatan politik apa yang akan diduduki Anies Baswedan.

Anies Kalah Karena Tak Lawan Politik Identitas?

Pasangan Anies-Cak Imin harus mengakui keunggulan Prabowo-Gibran yang keluar sebagai pemenang Pilpres 2024. Di atas kertas, Anies yang secara track record dan citra publik begitu menjanjikan untuk jadi Presiden RI, nyatanya belum mampu meraih peruntungan di Pilpres kali ini. Pertanyaannya adalah mengapa demikian? Benarkah ini karena posisi Anies yang tak tegas melawan fabrikasi isu politik identitas yang kerap diarahkan padanya?

Benua Asia, Propaganda Terbesar Kolonialisme?

Benua Asia adalah benua terbesar dan terkaya di dunia. Namun, sebagai sebuah wilayah yang kerap dipandang homogen, Asia sebetulnya memiliki keberagaman yang begitu tinggi di antara kawasan-kawasannya sendiri. Mungkinkah lantas Benua Asia yang kita kenal bukanlah Benua Asia yang sesungguhnya?

More Stories

Anies Menuju Mendikbud Prabowo atau Gubernur Jakarta?

Pasca kalah di Pilpres 2024, banyak pertanyaan muncul terkait jabatan politik apa yang akan diduduki Anies Baswedan.

Anies Kalah Karena Tak Lawan Politik Identitas?

Pasangan Anies-Cak Imin harus mengakui keunggulan Prabowo-Gibran yang keluar sebagai pemenang Pilpres 2024. Di atas kertas, Anies yang secara track record dan citra publik begitu menjanjikan untuk jadi Presiden RI, nyatanya belum mampu meraih peruntungan di Pilpres kali ini. Pertanyaannya adalah mengapa demikian? Benarkah ini karena posisi Anies yang tak tegas melawan fabrikasi isu politik identitas yang kerap diarahkan padanya?

The Battle of Javanesia 2: Proxy War Jokowi vs Prabowo di Pilkada 2024

Pilkada serentak 2024 akan jadi panggung pertaruhan partai politik dan elite nasional untuk menentukan siapa yang jejaring kekuasaannya mampu merambah hingga ke level terbawah.