HomeNalar PolitikMengapa AS-Tiongkok Masih Terus Berselisih? 

Mengapa AS-Tiongkok Masih Terus Berselisih? 

Sudah lebih dari dua dekade Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok berselisih. Kira-kira apa yang melatarbelakangi tensi yang semakin tidak menentu ini? 


PinterPolitik.com 

Selama ribuan tahun perkembangan peradaban, sejarah kita selalu disertai cerita tentang persaingan antara dua kekuatan besar dunia. Ketika zaman klasik misalnya, ada perseteruan kolosal antara Kartago dengan Republik Romawi. Ketika zaman pertengahan, ada rivalitas tinggi antara kesultanan-kesultanan Muslim dengan kerajaan-kerajaan Katolik. Lalu, ketika era Perang Dingin, ada juga duel antara hegemoni Barat, Amerika Serikat (AS), dengan hegemoni Timur, Uni Soviet. 

Menariknya, kebiasaan peradaban manusia untuk memiliki persaingan antara dua kubu besar yang masih bertahan hingga zaman sekarang. Pada era kontemporer ini, Persaingan antara AS dan Tiongkok telah menjadi salah satu topik paling dominan dalam politik dan ekonomi global pada beberapa tahun terakhir.  

Sebagai dua kekuatan ekonomi terbesar di dunia, persaingan mereka memiliki dampak yang luas dan mendalam pada geopolitik global, keamanan nasional, dan tentunya juga ekonomi global. Namun, apa yang membuat persaingan ini menjadi menarik adalah sifatnya yang tampak tidak ada habisnya. Dengan berbagai isu sensitif seperti sengketa Laut China Selatan (LCS), dan tensi politik di Taiwan, gesekkan antar AS dan Tiongkok seakan terlihat bisa meletus kapan saja. 

Lantas, akankah tensi antara dua raksasa ekonomi dunia tersebut berakhir? Dan bagaimana sebetulnya situasi politik yang saat ini melatarbelakangi perseteruan mereka? 

image 7

AS dan Tiongkok Sama-sama “Terkunci”? 

Dua dekade persaingan antara Negeri Paman Sam dan Negeri Tirai Bambu mulai mampu membawa kita kepada beberapa kemungkinan skenario yang diduga sedang terjadi di balik perselisihan mereka yang tampak tiada akhir. 

Kemungkinan pertama adalah skenario yang terinspirasi dari sebuah teori bernama Kindleberger Trap, yang dicetuskan oleh Charles P. Kindleberger. Kindleberger adalah seorang ekonom AS yang terkenal karena kontribusinya dalam studi sejarah ekonomi dan krisis keuangan. Ia juga dikenal karena menerapkan teorinya terhadap peristiwa-peristiwa sejarah ekonomi global. 

Baca juga :  Puan x Prabowo: Operasi Rahasia Singkirkan Pengaruh Jokowi?

Dalam konteks Kindleberger Trap, teorinya berfokus pada peran negara dominan dalam menjaga stabilitas ekonomi global. Kindleberger mengemukakan bahwa ketika ekonomi negara dominan yang bertindak sebagai “pemimpin” menurun atau gagal dalam mengambil tanggung jawab yang cukup besar dalam menjaga stabilitas ekonomi global, maka krisis ekonomi dan ketidakstabilan dapat muncul di tingkat global.  

Situasi semacam ini semakin parah bila status hegemon diambil oleh negara lain yang tidak mampu atau enggan mengambil alih perannya dengan efektif. Apa yang yang dimaksud Kindleberger dengan peran efektif itu? Well, bermacam-macam. Dari perspektif ekonomi, negara hegemon harus mampu menjamin kapabilitas ekonominya dapat membuat aktivitas perekonomian dunia berjalan dengan aman. Dari perspektif keamanan, negara hegemon tersebut juga harus bisa menjadi “polisi dunia” sehingga tidak ada negara lain yang berani bermacam-macam. 

Masalahnya, secara aktual, Tiongkok saat ini kerap dipandang masih belum bisa mengambil peran-peran tersebut. Dari aspek ekonomi, mata uang dan perekonomian AS secara keseluruhan masih menjadi tulang punggung ekonomi dunia. Sementara, dari aspek keamanan, jujur saja, tidak banyak negara yang ingin menjalin aliansi pertahanan dengan Tiongkok karena mereka merasa negara pimpinan Xi Jinping tersebut kurang sanggup dipercaya mampu menciptakan perdamaian. 

Oleh karena itu, persis seperti kata ilmuwan politik, Joseph Nye, selama Tiongkok belum bisa membuktikan dirinya mampu mengambil peran hegemon, AS mau tidak mau harus menghalanginya. Alih-alih “ter-estafet” secara baik seperti ketika AS mengambil hegemoni dari Inggris ketika zaman Perang Dunia, peralihan kekuasaan di era kontemporer ini akan sangat penuh penjegalan, mungkin untuk waktu yang sangat lama. 

Lalu, bagaimana dengan skenario kedua? 

image 8

Atau Sama-sama Kebingungan? 

Sekarang, spekulasi kedua. Nahal Toosi dan Lara Seligman dalam tulisan The U.S. Overestimated Russia’s Military might. Is it Underestimating China’s?, di laman Politico menilai bahwa saat ini ada dugaan AS justru keliru dalam menakar potensi ancaman Tiongkok. 

Baca juga :  Dirangkul Prabowo, Akhir "Menyedihkan" Megawati?

Selama tiga dekade terakhir, kekuatan Tiongkok mampu berkembang dengan sangat pesat. Dari yang tadinya dilanda kemiskinan besar pada era Perang Dingin, kini Tiongkok berhasil menjadi kekuatan ekonomi terbesar kedua, sekaligus kontender kekuatan militer terbesar kedua, menyalip Rusia. Dan yang jadi salah satu analisis menarik tentang alasan di balik hal tersebut adalah bukan karena AS tidak mampu menghalau Tiongkok, tetapi karena mereka tidak pernah mengerti Tiongkok. 

Selain karena upaya spionase yang minim akibat agen-agen CIA yang kabarnya kerap dieliminasi dengan cepat oleh Xi Jinping, relasi AS-Tiongkok, menurut Nahal dan Lara, juga sangat terkendala oleh perbedaan kultur dan linguistik yang sangat berbeda. Variabel kecil tersebut kemudian berakumulasi menjadi permasalahan besar di mana para pengambil kebijakan di AS kesulitan untuk menentukan apa yang sebenarnya diagendakan Tiongkok dalam politik internasional. 

Akibatnya, karena ketidakpastian tersebut, AS terdorong untuk bertindak sangat proteksionis dan preventif terhadap segala aktivitas politik Tiongkok. Kebingungan politik inilah yang kemudian berkembang menjadi ketidakpercayaan yang tiada akhir.  

Bukti nyata dari kebingungan ini bisa kita lihat di kasus Taiwan, di mana AS menempatkan dirinya dalam posisi antara akan membela Taiwan dan tidak. Kebingungan diplomatik ini diduga kuat adalah untuk memberikan pesan bahwa terlepas dari hal apapun yang akan dilakukan Tiongkok, AS tetap akan punya landasan untuk membalas dengan tindakan yang sesuai. 

Itulah dua skenario yang saat ini diduga sedang menjadi latar belakang dari tensi geopolitik antara AS dan Tiongkok yang semakin hari semakin terlihat tidak pasti. Sederhananya, hubungan kedua negara itu sebetulnya sedang dalam posisi yang saling terkunci, dan masing-masing pihak merasa bingung dengan apa yang akan dilakukan lawannya. 

Tentunya, ini hanya menjadi asupan pandangan semata tentang perkembangan dinamika hubungan politik AS dan Tiongkok. Tentunya, menarik untuk terus kita simak bagaimana perkembangan ke depannya. (D74) 

spot_imgspot_img

#Trending Article

Selama Masih Megawati, PDIP Pasti Oposisi?

Sinyal kuat bergabungnya Partai NasDem dan PKB, ditambah keinginan PKS untuk pula merapat ke koalisi Prabowo-Gibran, membuat Megawati Soekarnoputri dan PDIP dinilai akan mengambil sikap teguh nan luhur sebagai penyeimbang pemerintah. Namun, pada praktiknya, itu akan berjalan setengah hati. Benarkah demikian?

Strategi Erick Thohir Menangkan Timnas?

Timnas U-23 lolos ke babak semifinal di Piala Asia U-23 2024. Mungkinkah ini semua berkat Ketum PSSI Erick Thohir? Mengapa ini juga bisa politis?

Iran Punya Koda Troya di Bahrain? 

Iran sering dipandang sebagai negara yang memiliki banyak proksi di kawasan Timur Tengah. Mungkinkah Bahrain jadi salah satunya? 

“Sepelekan” Anies, PKS Pura-Pura Kuat?

Telah dua kali menyatakan enggan mengusung Anies Baswedan di Pilkada Jakarta 2024, PKS kiranya sedang mempraktikkan strategi politik tertentu agar daya tawarnya meningkat. Namun di sisi lain, strategi itu juga bisa saja menjadi bumerang. Mengapa demikian?

Gibran, Wapres Paling Meme?

Usai MK bacakan putusan sengketa Pilpres 2024, Gibran Rakabuming Raka, unggah fotonya sendiri dengan sound berjudul “Ahhhhhh”.

The Battle of Javanesia 2: Proxy War Jokowi vs Prabowo di Pilkada 2024

Pilkada serentak 2024 akan jadi panggung pertaruhan partai politik dan elite nasional untuk menentukan siapa yang jejaring kekuasaannya mampu merambah hingga ke level terbawah.

Triad, Grup Mafia Penguasa Asia?

Kelompok mafia tidak hanya ada di negara-negara Barat, di Asia, sebuah kelompok yang disebut Triad kerap disamakan dengan mafia-mafia ala Italia. Bagaimana sejarahnya?

Manuver Mardiono, PPP “Degradasi” Selamanya?

Kendati belakangan berusaha tetap membawa PPP eksis di kancah perpolitikan nasional dengan gestur merapat ke koalisi Prabowo-Gibran, Muhamad Mardiono agaknya tetap akan cukup sulit membawa PPP bangkit jika tak membawa perubahan signifikan. Mengapa demikian?

More Stories

Iran Punya Koda Troya di Bahrain? 

Iran sering dipandang sebagai negara yang memiliki banyak proksi di kawasan Timur Tengah. Mungkinkah Bahrain jadi salah satunya? 

Triad, Grup Mafia Penguasa Asia?

Kelompok mafia tidak hanya ada di negara-negara Barat, di Asia, sebuah kelompok yang disebut Triad kerap disamakan dengan mafia-mafia ala Italia. Bagaimana sejarahnya?

Sembako Siap Melambung Akibat Iran? 

erang Iran-Israel diprediksi akan berdampak besar pada ekonomi Indonesia. Mengapa demikian?