HomeNalar PolitikMenelisik Rizieq Ditarik ke Rekonsiliasi

Menelisik Rizieq Ditarik ke Rekonsiliasi

Isu rekonsiliasi pasca Pilpres 2019 seolah terus dinanti-nanti. Saat ini, wacana ini seperti mendapatkan riak-riak baru seiring dengan wacana pemulangan Rizieq Shihab masuk sebagai salah satu klausul.


Pinterpolitik.com

Rekonsiliasi antar elite politik pasca Pilpres 2019 yang dinanti-nanti hingga kini belum mencapai titik terang. Alih-alih terwujud, terlihat bahwa wacana tersebut kini seperti tertimpa kembali oleh wacana lain. Salah satu wacana baru tersebut muncul dari eks Koordinator Juru Bicara BPN Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, Dahnil Anzar Simanjuntak.

Menurut Dahnil, rekonsiliasi akan sangat baik jika ditambahkan satu klausul baru, yaitu memulangkan Rizieq Shihab dari pelariannya di Arab Saudi. Dahnil berujar bahwa pemulangan pendiri Front Pembela Islam (FPI) ini penting untuk memutus rantai dendam politik yang ada di negeri ini.

Pendapat Dahnil ini menuai respons beragam. Dari kubu Prabowo, mereka merespons positif dan cenderung sepakat dengan gagasan Dahnil. Waketum Partai Gerindra Fadli Zon misalnya, menilai bahwa pemulangan Rizieq adalah hal yang harus dilakukan.

Sementara itu, pihak lain di luar eks BPN Prabowo-Sandi tampak tak terlalu antusias dengan gagasan tersebut. Baik TKN Jokowi-Ma’ruf Amin maupun beberapa pengamat menilai urusan hukum apalagi pribadi seperti kasus Rizieq tak urgen untuk masuk dalam wacana perdamaian pasca Pilpres 2019.

Wacana tentang pemulangan Rizieq ini membuat riak-riak baru dalam isu rekonsiliasi yang diharapkan banyak pihak. Lalu, mengapa wacana seperti ini harus tiba-tiba dimunculkan?

Ditunggu Pulang

Sudah lebih dari dua tahun Imam Besar FPI Rizieq Shihab tak kunjung pulang ke Tanah Air. Selama dua tahun itu pula, kepulangannya ditunggu oleh para penggemar fanatiknya di negeri ini. Berkali-kali sudah ia diwartakan akan kembali ke Indonesia, namun berkali-kali pula informasi itu hanya jadi isapan jempol.

Selama lebih dari dua tahun itu, pengaruh politik Rizieq tampak tak luntur. Ia tak hanya  dirindukan oleh para pecintanya, tetapi juga kerap menjadi salah satu bagian utama dalam kampanye dan janji para politisi. Kecintaan luar biasa para pendukungnya kerap membuat para politisi harus mengucap janji akan memulangkan Rizieq dalam kampanyenya.

Pada Pilpres 2019 lalu misalnya, pasangan Prabowo dan Sandiaga pernah berjanji akan memulangkan Rizieq dari pelariannya di Arab Saudi. Tak tanggung-tanggung Prabowo menyatakan dirinya akan menjemput langsung sang imam besar jika memenangi Pilpres 2019.

Di luar lingkaran Pilpres, para caleg juga seperti menganggap janji memulangkan Rizieq adalah komoditas yang penting untuk dikampanyekan. Caleg seperti Habiburokhman dari Gerindra hingga Kapitra Ampera dari PDIP sama-sama pernah menjanjikan kepulangan sang habib.

Baca juga :  Anies Kalah Karena Tak Lawan Politik Identitas?

Kini, kesempatan untuk memenuhi janji memulangkan Rizieq itu kembali terbuka. Gagasan rekonsiliasi jadi peluang yang bisa dimanfaatkan para politisi yang kerap menjanjikan kepulangan pentolan Gerakan 212 yang menghebohkan negeri itu.

Isu kepulangan Rizieq ini seolah memutar kembali berbagai klausul yang muncul tentang rekonsiliasi atau kohabitasi para pembesar politik negeri ini. Semula, tawaran yang kerap beredar cenderung lebih menguntungkan dari sisi kursi atau jabatan aktor-aktor Pilpres 2019, alih-alih individu seperti Rizieq.

Posisi Tawar

Jika melihat beragam respons kubu TKN Jokowi-Ma’ruf, sulit untuk melihat bahwa klausul pemulangan Rizieq akan menjadi sesuatu yang dapat dengan mudah diterima. Apalagi, jika dibandingkan dengan negosiasi soal kursi, pemulangan Rizieq ini tak selalu memberikan keuntungan langsung kepada pendorongnya.

Merujuk pada kondisi tersebut, boleh jadi pengusung isu pemulangan Rizieq ini tengah menaikkan posisi tawarnya atau bargaining dalam pembicaraan rekonsiliasi yang disinyalir terus berlangsung. Hal ini kerap terjadi dalam berbagai negosiasi terkait dengan politik.

Bargaining dalam politik ini sendiri pernah dikemukakan oleh Afonso de Albuquerque  dan Bruno P. W. Reis. Mereka menyebutkan secara spesifik bahwa proses negosiasi antara elite dapat menggunakan media sebagai salah satu mediumnya.

Menurut Albuquerque dan Reis, media dapat menjadi salah satu instrumen untuk memperkuat dan melemahkan posisi kelompok politik tertentu. Oleh karena itu, media dapat menjadi salah satu saluran untuk melakukan bargaining antara elite-elite politik yang ada.

Dalam konteks Alburquerque dan Reis, bargaining yang dimaksud boleh jadi terbatas pada media yang sifatnya massal. Meski demikian, dengan perkembangan teknologi, sebenarnya media sosial boleh jadi menjadi salah satu mediator yang bisa dimanfaatkan.

Jika melihat konteks pelemparan wacana pemulangan Rizieq, gaungnya memang pertama kali mengemuka melalui media sosial. Dahnil Anzar mencuitkan pendapatnya bahwa rekonsiliasi akan berjalan baik jika sang habib bisa kembali ke Tanah Air.

Hal ini kemudian berlanjut ke media massa di mana berbagai politisi terutama dari Partai Gerindra sama-sama sepakat dengan wacana Dahnil. Akibatnya, wacana pemulangan Rizieq dalam rekonsiliasi yang semula tak terdengar menjadi sesuatu yang mulai dibicarakan.

Siapa Untung?

Berdasarkan hal tersebut, boleh jadi bahwa pemulangan Rizieq akan menjadi salah satu hal yang paling utama untuk dikejar oleh pihak-pihak yang berada di pembicaraan rekonsiliasi. Apalagi, Rizieq sendiri tak kunjung kembali ke tanah air belum tentu sepenuhnya hanya terkait dengan perkara hukum yang menderanya.

Baca juga :  Iran vs Israel, PD III Sudah Dimulai?

Di satu sisi, boleh jadi benar bahwa upaya rekonsiliasi dapat diwujudkan jika Rizieq tak lagi harus lari dari Tanah Air. Meski demikian, hal ini sebenarnya bisa dari sisi yang lain dari sekadar upaya memulangkan sang habib.

Secara formal, kasus chat bernada seksual yang dialami Rizieq ini sudah dihentikan kepolisian melalui terbitnya Surat Perintah Penghentian Penyelidikan (SP3). Oleh karena itu, secara formal seharusnya ia sudah bisa pulang. Artinya, masih tinggalnya Rizieq di negeri padang pasir boleh jadi tak sepenuhnya terkait kasus hukum.

Boleh jadi, para pengusul pemulangan Rizieq ini terkait dengan kepentingan para pihak yang ada di lingkar negosiasi. Mereka perlu menaikkan posisi tawar agar negosiasi tak hanya bisa berlanjut tetapi juga memberikan keuntungan sebesar-besarnya kepada mereka.

Sebagaimana disebut sebelumnnya, bargaining melalui media dapat memperkuat dan melemahkan kelompok tertentu. Dalam kadar tertentu, pelemparan wacana pemulangan Rizieq di media sosial dan media massa membuat posisi kubu Jokowi tak benar-benar diuntungkan. Pasalnya, mereka belum tentu mau memasukkan klausul ini karena belum jelas keuntungannya bagi mereka.

Masuknya klausul Rizieq dalam wacana rekonsiliasi boleh jadi menguntungkan pihak tertentu Click To Tweet

Dalam posisi tersebut, kubu Jokowi belum tentu mau menyetujui klausul tambahan yang diwacanakan Dahnil dan eks BPN lainnya. Jika itu terjadi, maka diperlukan tawaran lain yang menguntungkan kubu eks BPN agar rekonsiliasi dapat terwujud. Di sinilah mereka berpotensi mendapat untung dalam bentuk yang lain.

Keuntungan pribadi juga bisa diambil karena sosok Rizieq itu sendiri. Seperti diketahui, Rizieq merupakan salah satu ulama politik yang paling didengar petuahnya di negeri ini. Para pengusul dapat mengikuti popularitas Rizieq untuk mengikat kelompok-kelompok yang memiliki kecintaan amat tinggi kepada imam besar FPI tersebut.

Mereka dapat mempertegas diri kepada pecinta Rizieq bahwa mereka berkomitmen tinggi pada junjungan kaum 212 tersebut. Efeknya bisa terjadi dalam jangka panjang. Untuk partai seperti Gerindra misalnya, memelihara dukungan pecinta Rizieq bisa bermanfaat karena pemilihan mulai dari Pilkada hingga Pilpres akan selalu ada. Sementara itu, bagi Dahnil ia bisa saja meraup untung karena tengah dirumorkan akan berlaga dalam Pilwalkot Medan.

Pada akhirnya, saga rekonsiliasi atau kohabitasi tetap merupakan hal yang dinanti-nanti untuk terkuak. Perkara Rizieq akhirnya masuk klausul atau tidak, boleh jadi hanya para elite yang tahu. Yang jelas, wacana pemulangan Rizieq membuat isu rekonsiliasi kembali menjadi perdebatan. (H33)

 

spot_imgspot_img

#Trending Article

Rahasia Besar Presidential Club Prabowo?

Presiden ke-8 RI Prabowo Subianto disebut menggagas wadah komunikasi presiden terdahulu dengan tajuk “Presidential Club”. Kendati menuai kontra karena dianggap elitis dan hanya gimik semata, wadah itu disebut sebagai aktualisasi simbol persatuan dan keberlanjutan. Saat ditelaah, kiranya memang terdapat skenario tertentu yang eksis di balik kemunculan wacana tersebut.

Apa Siasat Luhut di Kewarganegaran Ganda?

Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan mengusulkan agar kewarganegaraan ganda untuk diaspora Indonesia diperbolehkan. Apa rugi dan untungnya?

Budi Gunawan Menuju Menteri Prabowo?

Dengarkan artikel ini: Nama Kepala BIN Budi Gunawan disebut-sebut sebagai salah satu kandidat calon menteri yang “dititipkan” Presiden Jokowi kepada Presiden Terpilih Prabowo Subianto. Hal...

Bukan Teruskan Jokowi, Prabowo Perlu Beda?

Presiden terpilih RI, Prabowo Subianto selalu sebut akan lanjutkan program-program Presiden Jokowi, Namun, haruskah demikian? Perlukah beda?

Mungkinkah Prabowo Tanpa Oposisi?

Peluang tak adanya oposisi dalam pemerintahan Prabowo-Gibran sangat terbuka.Ini karena beberapa partai yang awalnya menjadi lawan Prabowo-Gibran, kini sudah mulai terang-terangan menyatakan siap menjadi bagian dari pemerintahan.

Alasan Ketergantungan Minyak Bumi Sulit Dihilangkan

Bahan bakar minyak (BBM) terus dikritisi keberadaannya karena ciptakan berbagai masalah, seperti polusi udara. Tapi, apakah mungkin dunia melepaskan ketergantungannya pada BBM?

Ada Kongkalikong Antara Iran dan Israel?

Kendati diisukan akan jadi perang besar, konflik antara Iran dan Israel justru semakin mereda. Mengapa hal ini bisa terjadi? 

Sangat Mungkin Jokowi & Anies Mendirikan Parpol?

Opsi mendirikan partai politik (parpol) menjadi relevan dan memiliki signifikansi tersendiri bagi karier politik Anies Baswedan dan Joko Widodo (Jokowi) pasca 2024. Akan tetapi, hal itu agaknya cukup mustahil untuk dilakukan saat berkaca pada kecenderungan situasi sosiopolitik saat ini.

More Stories

Membaca Siapa “Musuh” Jokowi

Dari radikalisme hingga anarko sindikalisme, terlihat bahwa ada banyak paham yang dianggap masyarakat sebagai ancaman bagi pemerintah. Bagi sejumlah pihak, label itu bisa saja...

Untuk Apa Civil Society Watch?

Ade Armando dan kawan-kawan mengumumkan berdirinya kelompok bertajuk Civil Society Watch. Munculnya kelompok ini jadi bahan pembicaraan netizen karena berpotensi jadi ancaman demokrasi. Pinterpolitik Masyarakat sipil...

Tanda Tanya Sikap Gerindra Soal Perkosaan

Kasus perkosaan yang melibatkan anak anggota DPRD Bekasi asal Gerindra membuat geram masyarakat. Gerindra, yang namanya belakangan diseret netizen seharusnya bisa bersikap lebih baik...