HomeNalar PolitikMegawati dan Tumbangnya Trah Soekarno 

Megawati dan Tumbangnya Trah Soekarno 

Kecil Besar

Dengarkan artikel ini

Kekalahan calon presiden (capres) usungan Megawati Soekarnoputri dan PDIP kerap dipersepsikan juga sebagai kekalahan ‘trah Soekarno’ oleh trah Joko Widodo (Jokowi). Padahal, awalnya ada harapan bahwa kedua trah besar ini bisa menyatukan kekuatan mereka di Pemilihan Presiden 2024 (Pilpres 2024). Mengapa hal ini tidak terjadi? 


PinterPolitik.com 

Di balik semua obrolan tentang Pilpres 2024, hal yang paling menarik dan cukup dibicarakan orang-orang adalah peran Presiden Joko Widodo (Jokowi). Meski tidak pernah secara langsung memberikan dukungan kepada paslon 02, sinyal-sinyal keberlanjutan pemerintahan Jokowi di bawah Prabowo-Gibran kerap dinilai berperan besar dalam merangkul orang-orang yang selama ini puas dengan kepemimpinan Jokowi. 

Karena hal ini pula, mulai muncul pelesetan-pelesetan di dunia maya bahwa kemenangan Prabowo-Gibran, dan pengaruh Jokowi di belakangnya, sebetulnya adalah semacam simbol bahwa trah Jokowi saat ini adalah trah Presiden Indonesia yang ‘terkuat’, khususnya dalam ‘melahap’ trah Soekarno. 

Ya, dalam kontestasi Pilpres kali ini, kubu yang terafiliasi dengan trah Soekarno (tentunya termasuk PDIP), untuk pertama kalinya dalam 10 tahun, telah gagal mempertahankan kekuasaan di level eksekutif karena kalah oleh trah Jokowi. 

Ironisnya, Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum (Ketum) PDIP, sekaligus pewaris trah Soekarno, seharusnya bisa mengamankan kekuatan Jokowi, karena bagaimanapun Jokowi adalah politisi yang lahir dari rahim PDIP. Berbeda dengan kubu-kubu lain, PDIP memiliki investasi paling lama kepada Jokowi. Namun, realita politik yang terjadi justru malah sebaliknya. 

Lantas, menarik kemudian untuk kita pertanyakan: mengapa Megawati dan PDIP tampak bersikeras berseberangan dengan Jokowi, padahal Jokowi sebenarnya memiliki pengaruh yang bisa amankan kemenangan PDIP di eksekutif untuk ketiga kalinya? 

image 9

Mengapa Ogah Rangkul Jokowi? 

Ketika kita berbicara tentang hierarki kekuasaan di PDIP, kita tidak mungkin tidak memusatkan perhatian kita kepada peran Megawati. Sebagai ketum partai, dan juga sebagai sosok besar keturunan Soekarno, Megawati memiliki kekuasaan yang paling besar dalam menuntun arah politik partainya. 

Masalahnya, berdasarkan konsep idiosinkrasi dalam dunia politik, pandangan pribadi seorang pemimpin kerap memiliki pengaruh yang paling besar dalam mengatur arah politik sebuah organisasi yang dipimpinnya.  

Baca juga :  Anies and The Democracy's “Devil’s Advocate"

Dan masalahnya lagi, ada dugaan bahwa posisi PDIP yang berseberangan dengan Jokowi besar kemungkinannya bertumpu pada keengganan Megawati untuk melihat peluang ataupun ancaman jika pihaknya berlawanan dengan Jokowi.  

Hal ini bisa sedikit demi sedikit bisa kita temukan indikasinya, salah satunya yang paling menarik mungkin adalah pernyataan dari Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDIP, Hasto Kristiyanto, yang pada November 2023 silam sebut sangat bersedih karena PDIP telah ditinggalkan Jokowi.  

Walau bukan pernyataan langsung, pernyataan Hasto ini seakan menjadi sinyal bahwa dirinya, PDIP, dan Megawati melihat bahwa keretakan PDIP-Jokowi murni adalah kesalahan Jokowi. 

Terkait hal ini, dan berdasarkan variabel-variabel politik yang ada, setidaknya ada dua hal yang mungkin dijadikan alasan kuat mengapa Megawati tidak melunak kepada Jokowi. Pertama, sesuai dengan kultur PDIP yang tegak lurus, Megawati mungkin merasa tidak ingin permintaan untuk berdamai muncul dari dirinya. 

Megawati sering membuat pernyataan yang tegas tentang petugas partai, seperti ketika berbicara tentang Ganjar Pranowo. Walau Megawati sendiri mengaku bagian dari “petugas partai” tersebut, realitanya hierarki Megawati tetap berada di paling atas. Dari hal ini kita bisa berasumsi bahwa Megawati mungkin berharap Jokowi yang berniat mendekati dirinya terlebih dahulu. 

Kedua, ada kemungkinan Megawati pun merasa bahwa keteguhan posisinya adalah bagian dari harga diri ‘trah Soekarno’.  

Seperti yang sering ditunjukkannya ke publik, Megawati adalah sosok yang sangat menghargai keturunan ayahnya. Dan karena hal itu, alih-alih merasa perlu berharmoni, Megawati justru mungkin merasa bahwa perbedaan pandangan dirinya dengan Jokowi sebetulnya justru bisa jadi motivasi kuat  untuk membuktikan bahwa dirinya masih punya pengaruh politik yang lebih besar.  

Bagaimanapun, keluarganya adalah keluarga keturunan Proklamator besar. 

Dari hal-hal ini, kita bisa sedikit menduga alasan mengapa PDIP dan Megawati ‘ogah’ merangkul Jokowi pada Pilpres 2024, meskipun Jokowi sebetulnya bisa menjadi aset yang begitu kuat bagi mereka. 

Baca juga :  Prabowo dan Lahirnya Gerakan Non-Blok 2.0?

Akan tetapi, bagaimanapun juga, pada akhirnya Megawati dan PDIP telah menjadi bagian yang kalah dalam Pilpres 2024. Lantas, apa yang seharusnya jadi pelajaran bagi Megawati dan PDIP dalam dinamika politik ke depannya? 

image 10

Megawati dan Commodus  

Cerita sejarah kerap menyimpan pelajaran politik yang sangat penting. Terkhusus kasus gagalnya PDIP mendapatkan ‘hattrick’ dalam Pilpres 2024, ada baiknya kita mengingat kisah tragis dari Kaisar Romawi yang kerap disebut sebagai kaisar terburuk dalam sejarah, yakni Kaisar Commodus. 

Untuk yang kurang akrab dengan sejarah Commodus, ia adalah kaisar yang tercatat memiliki sifat narsis, sembrono, dan megalomaniak (delusi kekuasaan). Commodus selalu berpandangan bahwa kebijakan-kebijakan yang ia buat tidak akan mendapatkan persekusi dari publik karena ia adalah anak dari Kaisar Romawi yang justru sering disebut sebagai kaisar terbaik, yakni Kaisar Marcus Aurelius. 

Namun, seperti yang diungkap Greg Daugherty dalam tulisannya Was Commodus the Worst Emperor in Ancient Roman History?, Commodus adalah seorang pemimpin yang sangat jauh dari citra ayahnya. Masalahnya, Commodus sendiri sering dinilai para sejarawan tidak mampu menyadari hal itu karena ia selalu merasa kehebatan ayahnya secara alamiah diturunkan juga kepadanya. 

Pada akhirnya, Commodus menjadi salah satu Kaisar Romawi yang nasibnya dibuat tragis oleh masyarakatnya sendiri. Pada 31 Desember tahun 192, Commodus tewas dibunuh oleh penasehatnya sendiri. 

Sebagai seseorang yang juga merupakan keturunan langsung dari salah satu pemimpin terbaik Indonesia, mungkin ada baiknya trah Soekarno masa kini pun belajar dari kesalahan yang pernah dilakukan Commodus. Karena bagaimanapun juga, kepemimpinan dan kemenangan bukanlah sesuatu yang didapatkan secara genetik, melainkan didapatkan dan dipertahankan dengan kegigihan masing-masing. 

Kendati demikian, mengingat masa berkuasa Megawati yang mungkin sudah cukup lama di PDIP, mungkin sudah saatnya anaknya, yakni Puan Maharani, belajar dari kesalahan-kesalahan yang pernah terjadi.  

Hingga kini, tidak kita pungkiri PDIP tetap menjadi partai politik terbesar di Indonesia. Tentu menarik untuk kita simak perkembangan mereka dari Pemilu ke Pemilu. (D74) 

spot_imgspot_img

#Trending Article

GOAT! Verrell Titisan Messi di Politik?

Intrik anggota DPR Verrell Bramasta dalam kebijakan mengirim anak nakal ke barak memantik interpretasi yang cenderung positif terhadap kiprah politiknya kelak. Bahkan, bukan tidak mungkin menapaki karier tertinggi jika Verrell mampu konsisten dan kian elegan berpolitik. Mengapa demikian?

Politik “Siuman” Megawati?

Megawati Soekarnoputri mengakui PDIP “babak belur” dalam rangkaian Pemilu 2024 lalu. Mengapa akhirnya Megawati mengakuinya sekarang?

MBG = “Mangsa” Bill Gates?

Bill Gates kunjungi Indonesia dan tinjau program MBG bersama Presiden Prabowo Subianto. Mengapa ini tunjukkan bahwa MBG berperan penting?

AHY Indonesia’s Next Chapter?

Nama AHY kini jadi salah satu komoditas politik yang diperhitungkan serius. Bukan tanpa alasan, dengan jabatannya sebagai Menteri Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan serta sebagai Ketua Partai Demokrat, posisi AHY jadi salah satu kandidat kuat untuk jadi cawapres Prabowo di Pilpres 2029.

Negara Ini Korban Sesungguhnya Konflik India-Pakistan?

Tensi antara India dan Pakistan semakin memanas. Namun, mungkinkah korban sesungguhnya dari konflik kedua negara itu adalah negara lain?

Window Dressing Maruarar Sirait?

Maruarar Sirait dapat target berat wujudkan mimpi 3 juta rumah baru untuk rakyat. Namun, dengan berbagai tantangan dan kondisi yang ada, program-programnya terlihat jalan di tempat.

Teuku Umar, Surakarta, dan The Four Empire?

Kendati aktor politik prominen yang silih berganti adalah sebuah keniscayaan, terdapat empat poros kekuatan yang kiranya akan terus lestari di era kontemporer. Bagaimana itu bisa terjadi?

Prabowo’s Destroy “Vampire Castle” Mission?

Dengarkan artikel ini: Audio ini dibuat menggunakan AI. Direspons kritik hingga skeptis, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 Tentang BUMN yang telah disahkan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto...

More Stories

Negara Ini Korban Sesungguhnya Konflik India-Pakistan?

Tensi antara India dan Pakistan semakin memanas. Namun, mungkinkah korban sesungguhnya dari konflik kedua negara itu adalah negara lain?

Logam Tanah Jarang, “Adamantium”-nya AS-Tiongkok?

Logam Tanah Jarang (LTJ) diprediksi akan semakin diperebutkan para negara besar. Mungkinkah ini awal dari persaingan sengit terbaru dalam menguasai sumber daya vital dunia?

Ini Kunci Rahasia Menjadi Adidaya?

Tidak ada negara adidaya tanpa armada laut yang tangguh—dari Romawi hingga Amerika, lautan selalu jadi panggung kekuasaan dunia. Mengapa laut begitu menentukan?