HomeHeadlineKok Bisa Masyarakat Puas?

Kok Bisa Masyarakat Puas?

Belum lama ini Litbang Kompas merilis survei tingkat kepuasan terhadap kinerja pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin. Dalam rilisnya, kepuasan masyarakat mencapai 73,9 persen, di mana ini adalah tingkat kepuasan tertinggi sejak 2015. Pertanyaannya, di tengah berbagai persoalan seperti kelangkaan minyak goreng, kenapa tingkat kepuasan bisa setinggi itu? 


PinterPolitik.com

Dulunya, sebelum demokrasi diterima sebagai norma politik universal, para penguasa merasa tidak perlu mengetahui persepsi publik. Entah apa pun yang terjadi di bawah sana, berlangsung tidaknya kekuasaan mereka ditentukan oleh kedekatan darah keluarga. 

Namun, setelah revolusi Prancis dan Amerika semuanya tampak berbeda. Ketika bentuk-bentuk awal demokrasi mulai muncul, para penguasa menjadi tertarik untuk mengetahui apa yang dipikirkan warganya, khususnya bagaimana mereka ingin memilih. Ini lah awal mula survei opini publik atau jajak pendapat (opinion polls). 

Menurut Campbell Rhodes dalam tulisannya A brief history of opinion polls,sebelum jajak pendapat tersebar luas, opini publik diukur dengan cara yang kurang ilmiah, seperti mengirim surat ke media massa karena media dinilai mencerminkan opini publik. Ada pula yang melakukannya melalui pertemuan atau rapat umum untuk melihat pandangan atau sentimen yang paling populer.

Dalam temuan Rhodes, media massa di Amerika Serikat (AS) adalah yang pertama melakukan jajak pendapat umum. Pada Juli 1824, Harrisburg Pennsylvanian, sebuah surat kabar lokal di ibu kota Pennsylvania, melakukan survei di Wilmington, Delaware. 

Pertanyaan surveinya sederhana, “siapa yang akan dipilih sebagai Presiden?”. Sedikit konteks, saat itu pemilih di AS adalah laki-laki, kebanyakan kulit putih, dan sebagian besar pemilik properti. 

Sebagai hasil, Harrisburg Pennsylvanian menyebut 70 persen responden memilih Andrew Jackson. Survei ini menjadi kenyataan, Andrew Jackson mendapatkan suara dan elektoral mayoritas. Namun John Quincy Adams yang dipilih sebagai Presiden oleh Dewan Perwakilan Rakyat (House of Representatives).

Jajak pendapat yang dimulai di media-media AS kemudian menyebar ke seluruh dunia, khususnya karena penetrasi internet dan komunikasi massa. Secara berkala, berbagai media dan lembaga swasta melakukan survei. Mulai dari mengukur tingkat elektabilitas kandidat, hingga tingkat kepuasan terhadap kinerja pemerintah.

Terkait yang terakhir, baru-baru ini survei Litbang Kompas mendapatkan atensi luas. Dalam rilisnya, tingkat kepuasan publik terhadap kinerja pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin mencapai 73,9 persen. Tingkat kepuasan ini adalah yang tertinggi sejak Januari 2015. 

Baca juga :  Koalisi Pilkada, Tes dari Prabowo?

Disebutkan, kepuasan publik meningkat pada empat bidang, yakni politik dan keamanan (meningkat 6,8 persen), penegakan hukum (meningkat 5,3 persen), ekonomi (meningkat 6,1 persen), serta kesejahteraan sosial (meningkat 9,7 persen).

Pertanyaan publik sekiranya satu. Di tengah situasi pandemi Covid-19, serta berbagai masalah sosial-ekonomi lainnya, bagaimana mungkin tingkat kepuasan setinggi itu?

Menguji Korespondensi

Pertanyaan kritis misalnya datang dari pengamat politik Universitas Al-Azhar Indonesia, Ujang Komarudin. “Siapapun akan kaget dengan tingginya kepuasan publik tersebut. Padahal di bawah, banyak rakyat yang susah dan kecewa,” ungkapnya pada 23 Februari.

Melacak dasar argumentasi filosofisnya, pernyataan Ujang tersebut adalah apa yang disebut dengan teori kebenaran korespondensi (the correspondence theory of truth). Marian David dalam tulisannya The Correspondence Theory of Truth, menjelaskan bahwa dalam teori ini, suatu pernyataan dikatakan benar apabila berkorespondensi atau berkesesuaian dengan realitas.

Apabila melihat realitas sosial yang ada, masyarakat tampaknya tengah dihadapkan dengan berbagai persoalan. Mulai dari kelangkaan minyak goreng dan kedelai, ketentuan baru Jaminan Hari Tua (JHT), peningkatan pemutusan hubungan kerja (PHK) karena pandemi Covid-19, hingga berbagai isu sosial-politik seperti polemik Desa Wadas. 

Tidak hanya masyarakat luas dan akademisi, berbagai pejabat juga telah mengungkapkan kekhawatirannya. Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, misalnya, pada 1 Maret menyebut kelangkaan minyak goreng berpotensi menyebabkan panic buying

Pada 12 Agustus 2021 lalu, Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kemenaker, Indah Anggoro Putri, juga sempat menyampaikan keresahannya karena sampai 7 Agustus 2021, angka PHK telah mencapai 538.305 pekerja. Pada 2021 sendiri, Kemenaker memperkirakan jumlah PHK sekitar 895.000 pekerja.

Seperti keheranan Ujang, dengan berbagai masalah sosial-ekonomi tersebut, bagaimana mungkin tingkat kepuasaan publik menjadi begitu tinggi?

Kembali merujuk Campbell Rhodes. Menurutnya, tidak lama sejak jajak pendapat umum dari Harrisburg Pennsylvanian, berbagai media di seluruh AS kemudian melakukan jajak pendapatnya sendiri, atau memberitakan jajak pendapat lembaga lain. 

Yang menjadi masalah adalah, menurut Rhodes, kemudian muncul fenomena straw poll atau jajak pendapat jerami karena tingkat akurasi yang rendah dan tidak ilmiah. Dalam diksi yang lebih vulgar, sejarawan AS Arthur Schlesinger Jr. bahkan menyebut televisi dan lembaga survei telah menjadi electronic manipulators (manipulator elektronik). 

Marcus Mietzner dalam tulisannya Political Opinion Polling in Post-Authoritarian Indonesia: Catalyst or Obstacle to Democratic Consolidation?, menangkap fenomena ini mulai terjadi di Indonesia sejak Pemilu 2004. Menurutnya, telah lahir jenis baru lembaga survei politik, yang tenaga pendorong utamanya tidak lagi kuriositas atau keingintahuan akademik, melainkan motif komersial.

Baca juga :  Sohibul Iman, Ahmad Heryawan 2.0?�

Biasnya Rasa Puas

Di titik ini, mungkin ada dua pandangan. Pertama, mengacu pada teori kebenaran korespondensi, survei tingkat kepuasan tersebut mungkin adalah straw poll. Kedua, survei tersebut mungkin benar adanya atau bukan sebuah pengondisian persepsi publik. 

Nah, yang menarik adalah, sekalipun pandangan nomor dua yang digunakan, Geert Bouckaert dan Steven van de Walle dalam tulisannya Comparing Measures of Citizen Trust and User Satisfaction as Indicators of ‘Good Governance’: Difficulties in Linking Trust and Satisfaction Indicators, memberikan penjelasan penting.

Menurut mereka, ada dua alasan mengapa begitu sulit untuk mengukur kepercayaan dan kepuasan masyarakat kepada pemerintah, dan sekalipun diukur, hasilnya tidak jarang cukup menyesatkan. Alasan pertama, tingkat kepuasan sulit diukur karena merupakan penilaian psikologis yang tidak tetap. Alasan kedua, kepercayaan terhadap pemerintah sering kali tidak memiliki hubungan dengan tata kelola pemerintahan yang baik. 

Alasan kedua perlu kita perhatikan dengan serius. Apa arti dari “kepercayaan terhadap pemerintah sering kali tidak memiliki hubungan dengan tata kelola pemerintahan yang baik”?

Maksudnya ternyata cukup sederhana, yakni politik berbasis idola. Ullrich Ecker dan Toby Prike dalam tulisannya We know politicians lie – but do we care?, menemukan temuan mengejutkan, di mana dukungan masyarakat ternyata tidak berkurang meskipun politisi yang didukungnya terbukti berbohong. 

Ini misalnya dilihat dari kasus Presiden ke-45 AS Donald Trump. Menurut mereka, Trump telah membuat lebih dari 30.000 klaim palsu selama empat tahun masa kepresidenannya. Namun faktanya, sekalipun kalah dari Joe Biden, pendukung Trump tetap banyak dan begitu fanatik di Pilpres AS 2020.

Dengan kata lain, kepuasan terhadap pemerintah mungkin saja tidak berasal dari penilaian terhadap tata kelola pemerintahan, melainkan semata-mata karena suka dengan politisi yang tengah berkuasa. Ini lah politik berbasis idola.

Well, sebagai penutup, dengan berbagai persoalan sosial-ekonomi yang ada, tampaknya menjadi tak terhindarkan apabila terdapat pihak yang heran dan menaruh tanya terhadap survei kepuasan tersebut. Namun, bagaimana pun juga, kita mungkin hanya perlu menikmatinya sebagai bagian dari orkestra politik. Mungkin. (R53)

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Tarung 3 Parpol Raksasa di Pilkada

Pilkada Serentak 2024 menjadi medan pertarungan sengit bagi tiga partai politik besar di Indonesia: PDIP, Golkar, dan Gerindra.

RK Effect Bikin Jabar ‘Skakmat’?�

Hingga kini belum ada yang tahu secara pasti apakah Ridwan Kamil (RK) akan dimajukan sebagai calon gubernur (cagub) Jakarta atau Jawa Barat (Jabar). Kira-kira...

Kamala Harris, Pion dari Biden?

Presiden ke-46 Amerika Serikat (AS) Joe Biden telah memutuskan mundur dari Pemilihan Presiden (Pilpres) AS 2024 dan memutuskan untuk mendukung Kamala Harris sebagai calon...

Siasat Demokrat Pepet Gerindra di Pilkada?

Partai Demokrat tampak memainkan manuver unik di Pilkada 2024, khususnya di wilayah-wilayah kunci dengan intrik tarik-menarik kepentingan parpol di kubu pemenang Pilpres, Koalisi Indonesia Maju (KIM). Lantas, mengapa Partai Demokrat melakukan itu dan bagaimana manuver mereka dapat mewarnai dinamika politik daerah yang berpotensi merambah hingga nasional serta Pilpres 2029 nantinya?

Puan-Kaesang, ‘Rekonsiliasi’ Jokowi-Megawati?

Ketua Umum (Ketum) PSI Kaesang Pangarep diwacanakan untuk segera bertemu dengan Ketua DPP PDIP Puan Maharani. Mungkinkah akan ada rekonsiliasi antara Presiden Joko Widodo...

Alasan Banyaknya Populasi Asia

Dengarkan artikel berikut Negara-negara Asia memiliki populasi manusia yang begitu banyak. Beberapa orang bahkan mengatakan proyeksi populasi negara Asia yang begitu besar di masa depan...

Rasuah, Mustahil PDIP Jadi “Medioker”?

Setelah Wali Kota Semarang yang juga politisi PDIP, Hevearita Gunaryanti Rahayu ditetapkan sebagai tersangka dugaan kasus korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), plus, Sekretaris Jenderal PDIP, Hasto Kristiyanto yang masih menjalani proses hukum sebagai saksi di KPK dan Polda Metro Jaya, PDIP agaknya akan mengulangi apa yang terjadi ke Partai Demokrat setelah tak lagi berkuasa. Benarkah demikian?

Trump dan Bayangan Kelam Kaisar Palpatine�

Percobaan penembakan yang melibatkan kandidat Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump (13/7/2024), masih menyisakan beberapa pertanyaan besar. Salah satunya analisis dampaknya ke pemerintahan Trump jika nantinya ia terpilih jadi presiden. Analogi Kaisar Palpatine dari seri film Star Wars masuk jadi salah satu hipotesisnya.�

More Stories

Ganjar Kena Karma Kritik Jokowi?

Dalam survei terbaru Indonesia Political Opinion, elektabilitas Ganjar-Mahfud justru menempati posisi ketiga. Apakah itu karma Ganjar karena mengkritik Jokowi? PinterPolitik.com Pada awalnya Ganjar Pranowo digadang-gadang sebagai...

Anies-Muhaimin Terjebak Ilusi Kampanye?

Di hampir semua rilis survei, duet Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar selalu menempati posisi ketiga. Menanggapi survei yang ada, Anies dan Muhaimin merespons optimis...

Kenapa Jokowi Belum Copot Budi Gunawan?

Hubungan dekat Budi Gunawan (BG) dengan Megawati Soekarnoputri disinyalir menjadi alasan kuatnya isu pencopotan BG sebagai Kepala BIN. Lantas, kenapa sampai sekarang Presiden Jokowi...