HomeNalar Politik“Kode” ala Kim Jong Un

“Kode” ala Kim Jong Un

Kim Jong Un mengakui Korea Utara (Korut) berada di situasi terburuk dan kebijakan nasional tidak menjadi solusi krisis ekonomi akibat pandemi. Pernyataan ini hampir mustahil terjadi di negara otoriter seperti Korut. Kim yang selama ini menyangkal  masalah domestik akhirnya mengakui bahwa Korut mengalami krisis. Kira-kira apa yang membawa Kim berani untuk mengakui masalah domestik dan kesalahan pada kebijakan nasionalnya?


PinterPolitik.com

Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un membuat pernyataan yang cukup mengejutkan di depan ribuan anggota partai dalam konferensi politik besar di Pyongyang. Untuk pertama kalinya, ia menyatakan bahwa Korea Utara (Korut) berada pada titik terburuk sepanjang masa. Belum pernah terjadi dan mungkin tidak akan terjadi lagi.

Ini menjadi fenomena yang menarik. Sebagai negara tirani, pemerintah Korut disebut melakukan berbagai upaya untuk menyembunyikan “kekurangan” Korut di mata dunia. Walaupun masyarakat internasional sebenarnya juga skepstis pada citra baik yang dibangun oleh Kim.

Tetapi, kali ini, pengakuan atas krisis di Korea Utara keluar langsung dari perkataan Kim. Dengan mengenyampingkan egonya, Kim mengakui bahwa rencananya tidak efektif mendongkrak ekonomi nasional. Ia meminta agar semua dewan perwakilan daerah Partai Buruh Korea untuk mengambil peran dalam memulihkan situasi tersebut dan meningkatkan standar hidup masyarakat di tengah tantangan pandemi.

Tentunya hal ini perlu kita pelajari lebih lanjut. Mengapa Kim Jong Un yang biasanya menutupi kekurangan Korea Utara dengan berbagai propaganda, akhirnya membuka permasalahan domestiknya ke dunia? Apakah ada maksud di balik pernyatannya tersebut?

Mengapa Berbohong?

Korea Utara merupakan negara yang sejahtera dengan kekuatan militer dan ekonomi yang kuat. Setidaknya ini citra yang selalu dibawa oleh Kim Jong Un untuk mengubah persepsi negatif masyarakat internasional terhadap Korea Utara.

John Mearsheimer dalam bukunya yang berjudul Why Leaders Lie menjelaskan mengapa pemimpin berbohong. Ia menjabarkan bahwa di sistem internasional yang anarki, pemimpin harus berbohong untuk menjaga kepentingan nasionalnya, khususnya keamanan nasional. Tidak hanya kepada aktor internasional, pemimpin juga berbohong ke masyarakatnya sendiri.

Dalam konteks Korea Utara, cara berbohong ini mungkin perlu dilakukan oleh Kim karena Korea Utara berada di posisi rentan. Kim memiliki sikap konfrontatif terkait program nuklirnya karena dianggap sebagai pemimpin yang sulit ditebak.

Akibatnya negara-negara luar khawatir akan keputusannya untuk menembakkan salah satu nuklirnya. Apalagi Kim Jong Un beberapa kali memang mengancam dan menunjukkan sikap agresif dengan latihan perang di perairan. Atas kekhawatiran dari aktor internasional, maka Korea Utara diberikan sanksi ekonomi untuk menghentikan program nuklirnya.

Baca juga :  Singapura 'Ngeri-ngeri Sedap' ke Prabowo?

Baca Juga: Politik ‘Pamer’ Nuklir Korea Utara

Dari kondisi ini, Korea Utara dapat sewaktu-waktu diserang oleh negara yang merasa terancam atas nuklirya, seperti Amerika Serikat (AS), Jepang atau tetangganya Korea Selatan. Apalagi negara-negara tersebut beraliansi sehingga mereka memiliki kekuatan kolektif yang kuat.

Berangkat dari Mearsheimer, Kim Jong Un harus berbohong kepada aktor internasional untuk menghindari ancaman tersebut. Kebohongan tersebut diharapkan dapat membawa citra Korea Utara sebagai negara yang kuat sehingga dapat menjaga keamanan nasional negaranya.

Selain pernyataan, ini juga ditunjukkan melalui klip-klip video tentang Korea Utara yang didominasi oleh gambar aparat negara dan alutsista guna memperlihatkan kapabilitas militer Korea Utara. Diharapkan negara luar juga akan lebih berhati-hati jika ingin menyerang atau bersikap agresif dengan Korea Utara di masa depan.

Selain itu, karena bertahun-tahun mengalami masalah mismanagement, isolasi dan sanksi internasional. Ini membawa Korea Utara ke permasalahan ekonomi, kemiskinan, represifitas militer, keterbatasan listrik dan makanan dan masalah lainnya. 

Untuk menutupi “wajah kejam” rezim, Kim Jong Un kemudian membawa citra positif Korea Selatan ke internasional. Ini dapat dijelaskan melalui tulisan Ying Fan yang berjudul Branding the nation: towards a better understanding yang mengatakan bahwa negara melakukan nation branding untuk membawa citra baik yang dibawa ke dunia internasional.

Kim Jong Un melakukan nation brading karena masyarakat internasional skeptis terhadap kehidupan masyarakat Korea Utara yang berada di wilayah terisolasi di dunia. Kim Jong Un beberapa kali mengatakan bahwa Korea Utara memiliki kehidupan yang modern dan normal, sama dengan masyarakat lainnya.

Pesan ini direalisasikan melalui propaganda di YouTube melalui video vlog gadis muda periang yang menunjukkan kehidupan sehari-hari di Korea Utara. Sama seperti masyarakat di negara lain, ia menunjukkan bahwa rakyat Korea Utara juga pergi ke mall, restauran, supermarket, makan pizza dan berolahraga di waktu senggang.

Kim juga menunjukkan kekuatan militer dan ekonomi Korea Utara pada beberapa kesempatan. Ia menyatakan bahwa Korut merupakan negara yang independen, mandiri dan tidak butuh bantuan negara lain. Korea Utara juga menunjukkan kekuatan militer melalui berbagai parade militer yang disiarkan di media.

Baca juga :  Sangat Mungkin Jokowi & Anies Mendirikan Parpol?

Meminta Bantuan?

Lalu kenapa Korea Utara yang selama bertahun-tahun aktif membangun citra di dunia internasional, akhirnya mengakui krisis yang terjadi di dalam negerinya? Terlebih pernyataan ini langsung dinyatakan oleh Kim Jong Un sebagai presiden.

Mungkin saja pernyataan dari Kim Jong Un ini memiliki pesan tersirat. Dengan kondisi yang tidak memungkinkan untuk memperbaiki ekonomi, pernyataan ini dapat menjadi “kode” dari Kim Jong Un untuk meminta bantuan internasional.

Tiongkok diasumsikan kuat sebagai pihak yang menjadi target dari pengakuan tersebut. Walaupun Kim Jong Un menyatakan bahwa Korea Utara adalah negara independen, namun secara ekonomi Korea Utara bergantung pada Tiongkok.

Baca Juga: Mimpi Buruk Reunifikasi Korea

Sejak terjadinya pandemi, Korut membatasi mobilitas di perbatasan, termasuk barang impor dari Tiongkok. Kebijakan ini berimplikasi pada penurunan sebesar 80 persen barang yang diimpor dari Tiongkok sehingga merugikan ekonomi Korut.

Ekonomi nasional Korut bergantung pada sektor swasta, namun mayoritas produk yang dijual sektor swasta bergantung pada impor Tiongkok. Produk Tiongkok yang tidak bisa masuk ke Korut membuat harga produk meningkat secara signifikan.

Ketergantungan Korut dengan Tiongkok secara ekonomi mungkin menjadikan Tiongkok satu-satunya jalan keluar bagi Korut. Simpulan ini juga bisa ditarik dari kekhawatiran Tiongkok menerima gelombang pengungsi dari tetangganya Korut. Intensi Tiongkok untuk membantu Korut terlihat pada pesan yang ditujukan kepada media Korut pada Maret lalu, di mana Xi Jinping mengatakan bahwa Tiongkok akan menyediakan Korut kehidupan yang lebih baik.

Pelajaran Bagi Indonesia

Walaupun Kim selama ini menyangkal krisis yang terjadi di negaranya, namun akhirnya Kim mengakui masalah domestik Korut untuk memperbaiki ekonomi nasional. Bagi negara tirani, hal ini tentu jarang terjadi.

Indonesia, yang bukan merupakan negara tirani, sekiranya bijak untuk mencontoh kejujuran tersebut. Pengakuan seorang pejabat negara atas krisis yang terjadi di domestik merupakan langkah awal untuk membenahi permasalahan tersebut.

Seperti pada masalah Covid-19. Ketika negara luar menyatakan dirinya mengalami krisis manajemen kesehatan untuk mengatur pandemi, Indonesia justru terkesan underestimate pada awalnya.

Namun, dalam beberapa kesempatan, berbagai pejabat Istana, khususnya Presiden Jokowi telah menunjukkan keterbukaannya bahwa pandemi Covid-19 telah membawa pada situasi krisis. Tentu diharapkan kesadaran tersebut akan membawa pada perubahan kebijakan yang lebih baik dan konsisten ke depannya. (R66)


spot_imgspot_img

#Trending Article

Bukan Teruskan Jokowi, Prabowo Perlu Beda?

Presiden terpilih RI, Prabowo Subianto selalu sebut akan lanjutkan program-program Presiden Jokowi, Namun, haruskah demikian? Perlukah beda?

Mungkinkah Prabowo Tanpa Oposisi?

Peluang tak adanya oposisi dalam pemerintahan Prabowo-Gibran sangat terbuka.Ini karena beberapa partai yang awalnya menjadi lawan Prabowo-Gibran, kini sudah mulai terang-terangan menyatakan siap menjadi bagian dari pemerintahan.

Alasan Ketergantungan Minyak Bumi Sulit Dihilangkan

Bahan bakar minyak (BBM) terus dikritisi keberadaannya karena ciptakan berbagai masalah, seperti polusi udara. Tapi, apakah mungkin dunia melepaskan ketergantungannya pada BBM?

Ada Kongkalikong Antara Iran dan Israel?

Kendati diisukan akan jadi perang besar, konflik antara Iran dan Israel justru semakin mereda. Mengapa hal ini bisa terjadi? 

Sangat Mungkin Jokowi & Anies Mendirikan Parpol?

Opsi mendirikan partai politik (parpol) menjadi relevan dan memiliki signifikansi tersendiri bagi karier politik Anies Baswedan dan Joko Widodo (Jokowi) pasca 2024. Akan tetapi, hal itu agaknya cukup mustahil untuk dilakukan saat berkaca pada kecenderungan situasi sosiopolitik saat ini.

Singapura ‘Ngeri-ngeri Sedap’ ke Prabowo?

Jokowi ajak Prabowo ketika bertemu PM Singapura Lee Hsien Loong dan deputinya, Lawrence Wong. Mungkinkah 'ngeri-ngeri sedap' ke Prabowo?

Anies Menuju Mendikbud Prabowo atau Gubernur Jakarta?

Pasca kalah di Pilpres 2024, banyak pertanyaan muncul terkait jabatan politik apa yang akan diduduki Anies Baswedan.

Anies Kalah Karena Tak Lawan Politik Identitas?

Pasangan Anies-Cak Imin harus mengakui keunggulan Prabowo-Gibran yang keluar sebagai pemenang Pilpres 2024. Di atas kertas, Anies yang secara track record dan citra publik begitu menjanjikan untuk jadi Presiden RI, nyatanya belum mampu meraih peruntungan di Pilpres kali ini. Pertanyaannya adalah mengapa demikian? Benarkah ini karena posisi Anies yang tak tegas melawan fabrikasi isu politik identitas yang kerap diarahkan padanya?

More Stories

Ivermectin, Kebijakan Buru-Buru Erick?

Obat ivermectin yang diperkenalkan oleh Menteri BUMN Erick Thohir menjadi polemik di masyarakat. Obat ini sendiri masih dalam tahap uji klinis, namun sudah digunakan...

Jokowi di Simpang Infrastruktur dan Pandemi

Masih berjalannya proyek infrastruktur di saat pandemi menjadi polemik di tengah masyarakat. Besarnya anggaran yang digelontorkan untuk pembangunan infrastruktur dianggap menjadi sikap pemerintah yang...

Mungkinkah Dialog Papua Terwujud?

Presiden Jokowi memberikan arahan kepada Menko Polhukam Mahfud MD untuk mewujudkan dialog dengan Papua sebagai upaya pemerintah menggunakan pendekatan damai. Di sisi lain, pemerintah...