HomeHeadlineKepala BIN, Keberpihakan Dudung Diuji?

Kepala BIN, Keberpihakan Dudung Diuji?

Bersamaan dengan isu munculnya pergantian Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), “keberpihakan” – termasuk yang bertendensi politis – Jenderal TNI Dudung Abdurachman agaknya akan diuji jika posisi strategis itu benar-benar akan diserahkan kepadanya. Mengapa demikian? 


PinterPolitik.com 

Wacana suksesi kepemimpinan Badan Intelijen Negara (BIN) yang kini santer mengarah kepada Jenderal TNI Dudung Abdurachman kiranya akan memiliki dampak turunan yang cukup menarik, termasuk dari sisi bertendensi politis.  

Itu setelah, hari ini, Jenderal Dudung resmi “diberhentikan” sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) dan digantikan oleh Jenderal TNI Agus Subiyanto, wakilnya di Mabesad. 

Sebelum Presiden Joko Widodo (Jokowi) benar-benar membuat keputusan pemberhentian tersebut, isu posisi berikutnya yang kemungkinan akan ditempati Jenderal Dudung muncul ke permukaan. Dan, kepemimpinan lembaga telik sandi menjadi yang paling santer dan isunya akan dikomandoi oleh mantan Pangkostrad ke-42 itu. 

Hal itu kemudian menjadi diskursus menarik dikarenakan sejumlah variabel. Pertama, momentum pergantian tak hanya terkait usia purna tugas Jenderal Dudung semata pada November mendatang, tetapi juga bisa saja berkorelasi dengan agenda Pemilu dan Pilpres 2024 beserta situasi politik yang mengiringinya. 

Kedua,  BIN telah dipimpin oleh Budi Gunawan sejak 9 September 2016. Ihwal yang menjadikannya sebagai Kepala BIN dengan masa jabatan terlama di era Reformasi. Itu pun kiranya, tak dapat dipungkiri, dipengaruhi oleh kepercayaan yang tampaknya berhubungan dengan faktor politis, yang mana realitanya mulai terus dipertanyakan. 

Ketiga, atmosfer politik tanah air belakangan sedang menghangat berkat manuver para aktornya. Utamanya, mengenai dampak berantai pencawapresan Gibran Rakabuming Raka yang merembet pada spekulasi dan pertanyaan hubungan Presiden Jokowi dengan PDIP maupun Megawati Soekarnoputri. 

Di titik ini, siapapun aktor yang akan mengisi kursi Kepala BIN, termasuk probabilitas yang mengarah pada Jenderal Dudung, agaknya akan mendapat ujian serta proses transisi yang cukup rumit. Mengapa demikian? 

KaBIN Pasti Dudung? 

Sebelum menganalisis dan menginterpretasi lebih dalam pertanyaan sebelumnya, pada sebuah kesempatan belum lama ini, Jenderal Dudung sempat membongkar rencananya setelah purna tugas. 

Sosok yang pernah mengampu jabatan sebagai Pangdam Jaya pada Juli 2020 hingga Mei 2021 itu menyebut lebih memilih bertani dibandingkan terjun ke dunia politik. 

Akan tetapi, pernyataan terbaru Jenderal Dudung merespons wacana dirinya yang akan ditunjuk sebagai Kepala BIN kiranya dapat menganulir rencananya untuk terjun ke ladang. 

Baca juga :  Puan x Prabowo: Operasi Rahasia Singkirkan Pengaruh Jokowi?

Pasca pelantikan KSAD tadi, Jenderal Dudung seolah menyiratkan sebuah kesiapan yang teguh jika diberikan misi selanjutnya oleh Presiden Jokowi. 

“Saya tegak lurus kepada Bapak Presiden,” begitu ucap Jenderal Dudung di Kompleks Istana Kepresidenan, Rabu 25 Oktober 2023. 

Memang, mengganti Kepala BIN yang sudah diampu BG selama tujuh tahun agaknya akan menjadi langkah yang tak mudah bagi Presiden Jokowi. Utamanya untuk menentukan siapa sosok yang memenuhi kriteria dan sesuai dengan proyeksi situasi politik ke depan. 

Namun, Jenderal Dudung kiranya menjadi satu-satunya sosok yang setidaknya dapat memenuhi ekspektasi dan kalkulasi Presiden Jokowi. 

infografis ada apa jokowi dan bin

Sebelumnya, PinterPolitik sendiri telah memprediksi kemunculan isu pergantian Kepala BIN yang mengarah pada Jenderal Dudung dalam artikel berjudul Dudung Kepala BIN, Siapa KSAD Selanjutnya?

Bahkan, dalam artikel itu, satu interpretasi turunan telah terbukti saat Jenderal TNI Agus Subiyanto kini telah dilantik sebagai KSAD. 

Masih dalam interpretasi tersebut, keputusan Presiden Jokowi terkait pergantian Kepala BIN dikaitkan dengan metafora politik, yakni rokade dalam permainan catur. 

Rokade sendiri memiliki dua esensi, yakni untuk memindahkan raja ke tempat yang lebih ideal dan memindahkan benteng agar semakin aktif di tengah papan permainan. 

Jika di analisis sebelumnya proyeksi Jenderal Dudung di BIN diinterpretasikan sebagai “penyegaran” kepemimpinan di bidang intelijen, kali ini, kiranya hal tersebut lebih terkait dengan daya tawar dan karakteristiknya, serta skenario-skenario politik yang mungkin dihadapi oleh Presiden Jokowi ke depan. 

Hal itu dapat dilihat dari sejumlah variabel. Pertama, Jenderal Dudung memiliki keistimewaan karena berasal dari matra darat. Terkait korelasi ini, Profesor Vedi Hadiz dari Murdoch University Australia mengatakan bahwa TNI AD kerap menjadi “matra” kepercayaan Presiden Jokowi untuk memperkuat posisi politiknya. 

Kedua, saat ditinjau dari aspek portofolio yang esensial, Jenderal Dudung pun memiliki sejumlah relevansi, seperti saat sukses meredam Front Pembela Islam (FPI) dan Habib Rizieq Shihab (HRS) saat menjadi Pangdam Jaya. 

Ketiga, modal mutual dan kecondongan politik yang beririsan dengan Presiden Jokowi agaknya membuat Jenderal Dudung memiliki keunggulan dibandingkan siapapun kandidat pengganti BG saat ini. 

Itu dapat ditelaah dari tensi yang saat ini sedang diisukan menerpa Presiden Jokowi dan PDIP, di mana tensi serupa pernah dialami Jenderal Dudung dengan partai banteng saat intrik TNI gerombolan mengemuka dari politisi PDIP Effendi Simbolon. 

Baca juga :  Puan Maharani 'Reborn'?

Keempat, “keberpihakan” BG – yang selama ini dikenal lebih dekat dengan Megawati – pun kiranya masih menjadi pertanyaan di benak Presiden Jokowi, terutama di Pemilu dan Pilpres 2024. 

Itu yang kemudian membuat konteks “keberpihakan” menjadi krusial saat keputusan dan urgensi mengganti Kepala BIN ada di tangan Presiden Jokowi saat ini. 

Namun, kendati Presiden Jokowi benar-benar akan mengganti Kepala BIN di sisa masa jabatannya, proses yang akan dilalui kiranya tak akan berjalan mudah. 

mengapa kepala bin tidak direshuffle ed.

“Proses Sertijab” Rumit? 

Jika dilakukan dalam waktu dekat ini, atau paling tidak selama proses politik 2024 berlangsung, proses “serah terima jabatan” Kepala BIN siapapun pengganti BG kelak kiranya tak akan berjalan mulus. 

Presiden Jokowi dan sang suksesor BG boleh jadi akan dihadapkan pada tarik-menarik maupun sinkronisasi kepentingan, hingga kemungkinan intrik tersendiri. 

Sekali lagi, BG telah menjabat sebagai Kepala BIN dalam waktu yang cukup lama. Dari perspektif logika organisasi, semakin lama seseorang menduduki posisi kepemimpinan, semakin besar dan dalam pula pengaruhnya di organisasi. 

BG kemungkinan telah membangun jejaring dan loyalitas dalam dimensi tertentu di dalam tubuh BIN, sehingga pergantian kepemimpinan dengan “motif khusus” berpotensi menghadapi resistensi dari pihak internal yang masih mendukungnya. 

Dari segi eksternal, status BG selama ini yang dikenal sebagai orangnya Megawati juga bisa saja memantik reaksi sekunder dan ketegangan politik yang bisa menjadi bumerang bagi Presiden Jokowi. 

Itu secara otomatis menjadi tantangan yang signifikan, mengingat perlunya kestabilan di dalam sebuah lembaga intelijen, terutama di tahun politik. 

Namun, skenario bisa saja berbeda saat BG yang sekarang mungkin memiliki kecondongan ke Presiden Jokowi, bukan lagi kepada Megawati. Ini yang kemudian menjadi menarik dan akan mempermudah jalan Jenderal Dudung maupun transisinya di BIN.

Bagaimanapun, Presiden Jokowi kiranya harus sangat cermat mengambil keputusan jika memang benar-benar ingin melakukan pergantian Kepala BIN. 

Ketidakstabilan dalam kepemimpinan dan internal BIN dapat memengaruhi efisiensi dan efektivitas lembaga ini, yang pada gilirannya dapat mengganggu kestabilan keamanan nasional. 

Dengan situasi politik saat ini, Presiden Jokowi agaknya harus memastikan bahwa keputusan krusial yang terkait keamanan nasional, khususnya dalam diskursus pergntian Kepala BIN, harus dikelola dan dilakukan dengan manuver plus momentum yang sangat presisi. (J61) 

spot_imgspot_img

#Trending Article

Selama Masih Megawati, PDIP Pasti Oposisi?

Sinyal kuat bergabungnya Partai NasDem dan PKB, ditambah keinginan PKS untuk pula merapat ke koalisi Prabowo-Gibran, membuat Megawati Soekarnoputri dan PDIP dinilai akan mengambil sikap teguh nan luhur sebagai penyeimbang pemerintah. Namun, pada praktiknya, itu akan berjalan setengah hati. Benarkah demikian?

Strategi Erick Thohir Menangkan Timnas?

Timnas U-23 lolos ke babak semifinal di Piala Asia U-23 2024. Mungkinkah ini semua berkat Ketum PSSI Erick Thohir? Mengapa ini juga bisa politis?

Iran Punya Koda Troya di Bahrain? 

Iran sering dipandang sebagai negara yang memiliki banyak proksi di kawasan Timur Tengah. Mungkinkah Bahrain jadi salah satunya? 

“Sepelekan” Anies, PKS Pura-Pura Kuat?

Telah dua kali menyatakan enggan mengusung Anies Baswedan di Pilkada Jakarta 2024, PKS kiranya sedang mempraktikkan strategi politik tertentu agar daya tawarnya meningkat. Namun di sisi lain, strategi itu juga bisa saja menjadi bumerang. Mengapa demikian?

Gibran, Wapres Paling Meme?

Usai MK bacakan putusan sengketa Pilpres 2024, Gibran Rakabuming Raka, unggah fotonya sendiri dengan sound berjudul “Ahhhhhh”.

The Battle of Javanesia 2: Proxy War Jokowi vs Prabowo di Pilkada 2024

Pilkada serentak 2024 akan jadi panggung pertaruhan partai politik dan elite nasional untuk menentukan siapa yang jejaring kekuasaannya mampu merambah hingga ke level terbawah.

Triad, Grup Mafia Penguasa Asia?

Kelompok mafia tidak hanya ada di negara-negara Barat, di Asia, sebuah kelompok yang disebut Triad kerap disamakan dengan mafia-mafia ala Italia. Bagaimana sejarahnya?

Manuver Mardiono, PPP “Degradasi” Selamanya?

Kendati belakangan berusaha tetap membawa PPP eksis di kancah perpolitikan nasional dengan gestur merapat ke koalisi Prabowo-Gibran, Muhamad Mardiono agaknya tetap akan cukup sulit membawa PPP bangkit jika tak membawa perubahan signifikan. Mengapa demikian?

More Stories

Selama Masih Megawati, PDIP Pasti Oposisi?

Sinyal kuat bergabungnya Partai NasDem dan PKB, ditambah keinginan PKS untuk pula merapat ke koalisi Prabowo-Gibran, membuat Megawati Soekarnoputri dan PDIP dinilai akan mengambil sikap teguh nan luhur sebagai penyeimbang pemerintah. Namun, pada praktiknya, itu akan berjalan setengah hati. Benarkah demikian?

“Sepelekan” Anies, PKS Pura-Pura Kuat?

Telah dua kali menyatakan enggan mengusung Anies Baswedan di Pilkada Jakarta 2024, PKS kiranya sedang mempraktikkan strategi politik tertentu agar daya tawarnya meningkat. Namun di sisi lain, strategi itu juga bisa saja menjadi bumerang. Mengapa demikian?

Manuver Mardiono, PPP “Degradasi” Selamanya?

Kendati belakangan berusaha tetap membawa PPP eksis di kancah perpolitikan nasional dengan gestur merapat ke koalisi Prabowo-Gibran, Muhamad Mardiono agaknya tetap akan cukup sulit membawa PPP bangkit jika tak membawa perubahan signifikan. Mengapa demikian?