HomeHeadlineJusuf Kalla Keliru Soal Jokowi?

Jusuf Kalla Keliru Soal Jokowi?

Kritik mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) terhadap demokrasi Indonesia yang dinilai bermasalah karena pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) tampaknya keliru karena sejatinya ada faktor lain yang membuat demokrasi Indonesia bermasalah. Lalu, faktor apakah itu?


PinterPolitik.com

Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) belum lama ini berbicara tentang situasi demokrasi saat ini yang dinilainya sedang bermasalah.

JK menilai selama kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang belum genap sepuluh tahun ini sudah mengancam keberlangsungan demokrasi di Indonesia. Dengan adanya politik dinasti dan nepotisme, JK menilai hal itu dapat mengancam demokrasi.

Atas dasar itu, JK pun mengingatkan Presiden Jokowi agar tidak mengulang sejarah era Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto yang jatuh karena krisis politik dan ekonomi.

Bukan kali ini saja JK mengkritik pemerintahan Presiden Jokowi, yang dimana dia juga pernah berada dalam pemerintahan tersebut pada periode 2014-2019 lalu.

JK pernah mengingatkan Presiden Jokowi tidak melakukan cawe-cawe dalam urusan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.

jusuf kalla bakal dukung siapa

Menariknya, di sisi lain JK justru memuji mantan Presiden Megawati Soekarnoputri karena dinilai menjadi presiden yang paling demokratis sepanjang sejarah.

Dia beralasan sambil berkelakar faktor keberhasilannya mengalahkan Megawati pada Pilpres 2004 lalu. Padahal, saat itu Megawati berstatus sebagai presiden petahana.

JK menilai jika Megawati saat itu mau memakai kekuasaannya untuk menang dalam Pilpres 2004 lalu, hal itu bisa saja dilakukan. Namun, hal itu tak dilakukan karena Megawati menghormati lawan politiknya.

Lantas, benarkah pemerintahan Presiden Jokowi menjadi penyebab masalah demokrasi Indonesia belakangan ini?

JK Keliru?

Kritikan yang dilemparkan JK terhadap pemerintahan Jokowi tampaknya kurang tepat. Hal ini berkaca dari berbagai faktor yang juga menyebabkan adanya permasalahan dalam sebuah demokras. Dengan kata lain pemerintah bukanlah satu-satunya faktor penyebab.

Berdasarkan pernyataan Francis Fukuyama yang mengutip tulisan Ethan Zuckerman dalam bukunya yang berjudul Mistrust: Why Losing Faith in Institutions Provides the Tools to Transform Them Hardcover, tingkat kepercayaan kepada pemerintah telah menurun di hampir semua negara.

Baca juga :  Karena Jokowi, Presiden Harusnya “Ningrat”?

Fukuyama menjelaskan fenomena itu terjadi bukan hanya dalam beberapa tahun terakhir, melainkan dalam beberapa dekade terakhir.

Salah satu faktornya adalah tingkat pendidikan yang telah berkembang pesat, sehingga masyarakat cenderung berpikir lebih kritis dan tidak mudah percaya terhadap pemerintah.

Atas dasar itu, sikap kritis yang berkembang itu membuat meningkatnya ketidakpercayaan atau distrust terhadap sebuah pemerintahan.

Meskipun di sisi lain, hal itu dapat dimaknai dengan positif yang menunjukkan jika akses informasi yang didapat masyarakat lebih luas, hingga pada akhirnya membuat tututan akan sebuah transparansi.

Namun, menurut Fukuyama, akses informasi bukanlah juga menjadi satu-satunya penyebab akan meningkatnya distrust terhadap pemerintah, melainkan adalah ekspektasi masyarakat terhadap negara.

Di era modern seperti saat ini, masyarakat cenderung bukan hanya menuntut akan partisipasi dalam sebuah kontestasi elektoral, namun juga terkait penentuan kebijakan publik.

Berdasarkan apa yang telah diungkapkan oleh Fukuyama, kritikan JK yang menilai adanya ancaman terhadap demokrasi di Indonesia agaknya kurang tepat.

Menyoal dinasti politik yang dipermasalahkan JK, sejatinya bukanlah sebuah hal baru dalam iklim demokrasi di Indonesia. Berbedanya, akses informasi yang cepat dan tingkat pengetahuan yang berkembang membuat adanya permasalahan itu.

Dinasti politik di Indonesia tampaknya adalah hal yang sudah menjadi rahasia umum dan kiranya tidak masalah jika memang sang aktor politik memiliki kompetensi dan integritas yang bisa dipertanggungjawabkan.

ahy lobi jusuf kalla

JK Sebenarnya Representasi Jokowi?

Jika kita melihat secara utuh pernyataan JK, dalam pernyataannya sempat menyinggung dan bercerita tentang perkembangan demokrasi dan tantangannya di Indonesia. Jadi, apa yang menjadi kritikan JK mungkin saja juga menjadi keresahan Jokowi.

Apa yang dikatakan JK tampaknya mengacu pada kompleksitas interaksi antara demokrasi, kekuasaan, dan dinamika politik di Indonesia. Dia menggambarkan bagaimana upaya pemimpin untuk membangun demokrasi sering kali bisa menjadi titik lemah mereka sendiri.

Baca juga :  Megawati Kembalikan PDIP ke Tahun 2014? 

Dalam konteks ini, JK menyoroti bahwa meskipun demokrasi memberikan kesempatan bagi partisipasi politik yang lebih luas, hal itu juga membawa risiko besar bagi pemimpin, terutama jika keputusan mereka tidak selaras dengan keinginan mayoritas atau jika terjadi ketidakstabilan politik yang dapat merugikan mereka secara politik.

Kritikan JK ini kiranya mencerminkan dilema yang dihadapi para pemimpin dalam menjalankan kepemimpinan di bawah sistem demokrasi yang terbuka.

Meskipun demokrasi dianggap sebagai fondasi yang memungkinkan partisipasi dan kebebasan yang lebih besar bagi rakyat, JK menyoroti bahwa itu juga membawa tanggung jawab besar dan risiko politik yang tinggi bagi para pemimpin.

Sebagai pemimpin yang berpengalaman dan pernah menjabat sebagai Wakil Presiden, pandangan JK memberikan sudut pandang yang mendalam tentang hubungan kompleks antara demokrasi dan kekuasaan di Indonesia.

Dia menegaskan bahwa memahami dinamika ini penting bagi para pemimpin saat ini dan yang mendatang, guna menjaga stabilitas politik sambil memajukan demokrasi.

JK menandai bahwa pembahasan tentang demokrasi di Indonesia harus melampaui sekadar keberhasilan atau kegagalan seorang pemimpin, tetapi lebih pada pengertian akan kerapuhan fondasi kekuasaan di bawah sistem demokrasi yang dinamis.

Ini mendorong kita untuk merenungkan bagaimana pemimpin di masa depan akan mengelola kekuasaan mereka dalam konteks yang terus berubah ini.

Dengan demikian, kritikan JK tampaknya lebih menyoroti betapa pentingnya pemahaman terhadap hubungan antara demokrasi dan penguasaan kekuasaan di Indonesia.

Melalui pandangannya, kita diajak untuk menggali dinamika yang lebih dalam dan rumit di balik perjalanan demokrasi di negara ini. (S83)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Digerogoti Kasus, Jokowi Seperti Pompey?

Mendekati akhir jabatannya, sejumlah masalah mulai menggerogoti Presiden Joko Widodo (Jokowi). Apakah ini artinya dukungan elite kepadanya mulai melemah?

Titip Salam dari Mega ke Prabowo: Menuju Koalisi?

Seiring dengan “audisi” menteri yang dilakukan oleh Prabowo Subianto untuk kementerian di pemerintahannya, muncul narasi bahwa komunikasi tengah terjalin antara ketum Gerindra itu dengan Megawati Soekarnoputri.

Menuju Dual Power Jokowi vs Prabowo

Relasi Jokowi dan Prabowo diprediksi akan menjadi warna utama politik dalam beberapa bulan ke depan, setidaknya di sisa masa jabatan periode ini.

Jokowi Dukung Pramono?

Impresi ketertinggalan narasi dan start Ridwan Kamil-Suswono meski didukung oleh koalisi raksasa KIM Plus menimbulkan tanya tersendiri. Salah satu yang menarik adalah interpretasi bahwa di balik tarik menarik kepentingan yang eksis, Pramono Anung boleh jadi berperan sebagai “Nokia”-nya Jokowi dan PDIP.

Trump atau Kamala, Siapa Teman Prabowo?

Antara Donald Trump dan Kamala Harris, siapa lebih untungkan Prabowo dalam menentukan arah kebijakan luar negeri Indonesia di masa depan?

RK-Jakmania dan Dekonstruksi Away Day

Dengarkan artikel ini: Audio ini dibuat menggunakan AI. Skeptisisme dan keraguan tertuju kepada Ridwan Kamil (RK) yang dianggap tak diuntungkan kala berbicara diskursus Jakmania dan Persija...

Apa Alasan Militer Tiongkok Melesat?

Beberapa tahun terakhir militer Tiongkok berhasil berkembang pesat, mereka bahkan bisa ciptakan kapal induk sendiri. Apa kunci kesuksesannya?

Siasat Rahasia Pramono-Rano?

Apresiasi dan pujian kandidat di Pilkada Jakarta 2024 Pramono Anung dan Rano Karno, maupun beberapa elite PDIP dalam beberapa waktu terakhir kepada Anies Baswedan dinilai merupakan siasat politik tertentu. Bahkan, pujian itu dinilai menjadi “jebakan” bagi Anies. Mengapa demikian?

More Stories

Ketua DPR, Golkar Lebih Pantas? 

Persaingan dua partai politik (parpol) legendaris di antara Partai Golkar dan PDIP dalam memperebutkan kursi Ketua DPR RI mulai “memanas”. Meskipun secara aturan PDIP paling berhak, tapi beberapa pihak menilai Partai Golkar lebih pantas untuk posisi itu. Mengapa demikian?

Anies “Alat” PKS Kuasai Jakarta?

Diusulkannya nama Anies Baswedan sebagai calon gubernur (cagub) DKI Jakarta oleh PKS memunculkan spekulasi jika calon presiden (capres) nomor urut satu ini hanya menjadi “alat” untuk PKS mendominasi Jakarta. Benarkah demikian?

Pemilu 2024, Netralitas Jokowi “Diusik” PBB? 

Dalam sidang Komite Hak Asasi Manusia (HAM) PBB, anggota komite Bacre Waly Ndiaye mempertanyakan netralitas Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait lolosnya Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden (cawapres) dari Prabowo Subianto. Lalu, apa yang bisa dimaknai dari hal itu?