HomeHeadlineHitung Mundur Kejatuhan PDIP?

Hitung Mundur Kejatuhan PDIP?

Survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) menyebut PDIP menjadi satu-satunya partai politik (parpol) parlemen yang mengalami penurunan dukungan dari pemilih kritis selama tiga tahun terakhir. Lalu, apakah tren itu menjadi sinyal kejatuhan PDIP di Pemilu 2024? 


PinterPolitik.com 

Di tengah hingar bingar pencapresan Ganjar Pranowo, PDIP baru saja mendapat kabar kurang kurang positif. Itu setelah survei yang dilakukan Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) menyebut PDIP penurunan dukungan dari pemilih kritis selama tiga tahun terakhir. 

Dukungan pemilih kritis kepada PDIP di survei pada April 2020 yang mencatatkan angka 23,1 persen, kini turun menjadi 16,1 persen di April 2023. 

Catatan khusus yang kiranya patut dikhawatirkan PDIP adalah mereka menjadi satu-satunya partai politik (parpol) parlemen yang mengalami penurunan. Sementara, delapan parpol parlemen lain nyatanya justru mengalami kenaikan dukungan. 

Pemilih kritis sendiri bukan kelompok sembarangan di Pemilu 2024. Menurut Direktur Riset Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) Deni Irvani, mereka mencakup sekitar 80 persen dari total populasi pemilih nasional. 

Secara definisi, Deni menyebut pemilih kritis adalah mereka yang pilihannya tak mudah dipengaruhi dan bahkan dapat memengaruhi pemilih lain. 

Memang, jika dijabarkan lebih lanjut, arah dukungan pemilih kritis cenderung tersebar ke berbagai parpol di ekosistem multipartai seperti Indonesia. Akan tetapi, tren penurunan tersebut kiranya tetap menjadi alarm bahaya bagi PDIP jelang persaingan elektoral. 

Capres atau Kolisi, PDIP Galau?

Terlebih, tajuk “asal jangan PDIP” tak jarang diangkat netizen sebagai salah satu formula menentukan pilihan di Pemilu maupun Pilpres 2024. Tajuk tersebut, misalnya, dapat ditemukan di kolom komentar unggahan Instagram PinterPolitik dalam banyak kesempatan. 

Tak hanya itu, kendati masih memiliki elektabilitas mumpuni, hasil survei Algoritma Research and Consulting juga menemukan bahwa PDIP menjadi parpol dengan tingkat resistensi atau penolakan publik tertinggi. 

Lantas, mengapa terdapat tren penurunan dukungan itu kepada PDIP? Mungkinkah ini benar-benar dapat menjadi sinyal awal kejatuhan PDIP di 2024? 

“Kutukan” Siklus Kekuasaan? 

Dengan melihat secara objektif, cara PDIP memimpin koalisi politik kekuasaan dan mengartikulasikannya dalam pemerintahan selama dua periode sejak 2014 memang tidak sepenuhnya memuaskan. 

Kendati merupakan kewajaran atas mustahilnya kekuasaan politik utopia, variabel-variabel konkret agaknya menambah sulit posisi PDIP dalam upaya mereka mempertahankan prestasi di Pemilu 2014 dan 2019. 

Sebut saja deretan kasus kader PDIP yang telah terungkap seperti korupsi bantuan sosial (bansos) eks Menteri Sosial (Mensos) Juliari Batubara. 

Belum lagi pengungkapan kasus korupsi Harun Masiku yang disebut Indonesia Corruption Watch (ICW) mandek karena ada proteksi “kekuatan besar”. 

Itu baru dari isu rasuah. Dari isu lain seperti kritik atas kinerja pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) selama ini serta leadership PDIP yang dinilai menyendat demokrasi di DPR karena tak jarang mengabaikan aspirasi atas pembuatan sejumlah regulasi kiranya turut jadi faktor yang tak menguntungkan ke depan. 

Baca juga :  Simpati, ‘Kartu’ Rahasia Prabowo?
infografis pdip dan psi paling ditolak

Kembali, peninjauan itu agaknya juga menjadi pertimbangan para pemilih kritis untuk menarik dukungan atau tak mendukung PDIP dalam kurun waktu tiga tahun terakhir seperti temuan SMRC. 

Menariknya, saat menengok di penghujung 2014, Partai Demokrat pun tampak mengalami hal serupa. 

Berbagai isu minor terkait rasuah hingga kritik keras atas kinerja pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) membuat parpol berlambang bintang mercy benar-benar terjerembap di Pemilu 2014 dan hanya mengekor koalisi politik saat itu. 

Dan, konteks sejarah sendiri sejatinya tidak linier, melainkan seperti sebuah siklus yang terus berulang sebagaimana menjadi postulat yang dikatakan oleh filsuf Prancis Michel Foucault. 

Mengutip pemikiran Foucault, Réal Fillion dalam Foucault on History and The Self mengatakan karakteristik fungsional dari analisis sejarah, terutama jika dianggap sebagai permainan, adalah antara yang familiar dan yang tidak familiar. 

Model analisis historis Foucault adalah eksplorasi kemungkinan historis yang dirancang dirancang untuk merespons situasi yang ambigu dan kompleks. 

Dia menganalisis kemungkinan historis yang telah diaktualisasikan, misalnya, praktik kekuasaan Yunani dan Romawi – dengan cara yang mengungkapkan koneksi (dan diskoneksi) kemungkinan tersebut dengan kemungkinan yang saat ini sedang diaktualisasikan, yaitu praktik modern yang dicirikan dalam hal hubungan kekuasaan. 

Secara lebih spesifik, jika diaplikasikan secara politik dan kekuasaan, postulat itu juga tampak selaras dengan konsep “sirkulasi elite” yang dikemukakan oleh filsuf dan sosiolog Italia, Vilfredo Pareto. 

Konsep Pareto itu menjelaskan dalam setiap era, akan selalu ada sirkulasi atau perputaran elite. Baik elite yang satu digantikan oleh elite yang lainnya, maupun aktor atau pihak non-elite yang justru menggantikan elite yang tengah berkuasa. 

Memang sejak pemilu langsung bergulir di Indonesia, perputaran kekuasaan politik tanah air dapat dibaca dengan cukup jelas. 

Itulah yang agaknya menjelaskan relevansi situasi yang kini tengah dihadapi PDIP jelang 2024 dengan apa yang telah terjadi kepada Partai Demokrat seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. 

Seperti halnya PDIP kini, akumulasi impresi, stigma, dan permasalahan konkret kiranya juga menjadi faktor yang dinilai oleh para pemilih kritis paling signifikan dalam penurunan tajam pamor, kepercayaan publik, hingga elektabilitas Partai Demokrat yang notabene juga merupakan partai penguasa selama dua periode. 

Bagi Partai Demokrat, efek minor itu tak hanya tergambar dari nihilnya capres mereka, melainkan langsung terlihat di hasil pemilu legislatif tahun 2014. Saat itu, Partai Demokrat dengan mudah melorot ke urutan empat. Setelahnya, atau di 2019, Partai Demokrat terlempar ke urutan tujuh kontes legislatif. 

Baca juga :  Dirangkul Prabowo, Akhir "Menyedihkan" Megawati?

Dengan berbagai akumulasi citra dan preseden kontraproduktif PDIP saat ini, plus dengan ekspos media dan sorotan kelompok kritis yang masif, bukan tidak mungkin pada kontestasi elektoral 2024 kelak, PDIP akan masuk dalam “jebakan” sirkulasi kekuasaan yang pernah dialami Partai Demokrat. 

Selain itu, terdapat satu faktor “receh” atau sederhana namun signifikan yang kiranya membuat PDIP mungkin kehilangan dukungannya dan jatuh di 2024. Apakah itu? 

tanpa pdip ketum parpol bersatu

Sekadar Bosan? 

Ketika berbicara mengenai karakteristik pemilih kritis, pertimbangan keputusan atas pilihan politik seolah berdasarkan analisis mendalam dan komprehensif. 

Akan tetapi, jika mengembalikan telaah ke aspek behavioral, terdapat satu hal yang kiranya merupakan kecenderungan manusiawi di balik tren menurunnya dukungan kepada PDIP, yakni bosan. Termasuk yang bisa saja dialami para pemilih kritis. 

Kembali melandaskan interpretasi secara historis, kebosanan dalam kehidupan sosial-politik nyatanya memang terjadi, bahkan sejak era Romawi. 

Dalam sebuah publikasi berjudul Between Pain and Pleasure: A Short History of Boredom and Boredology, Mariusz Finkielsztein mengatakan kebosanan adalah pengalaman manusia yang universal namun begitu signifikan.  

Dengan mengutip filsuf Abad Pencerahan asal Prancis Claude Adrien Helvétius, Finkielsztein menyebut rasa bosan atau kebosanan merupakan kekuatan di alam semesta yang lebih kuat dan bertindak jauh lebih universal daripada yang biasa dibayangkan.  

Terdapat beberapa referensi mengenai asal-muasal kebosanan dan dampak signifikannya bagi peradaban sosial dan politik serta kekuasaan. 

Salah satu dampak kebosanan yang dapat ditelusuri adalah Revolusi Neolitik, yaitu transisi cara hidup manusia modern dalam bertempat tinggal secara menetap dan bercocok tanam. 

Riwayat lainnya yang cukup fenomenal dari dampak kebosanan, yaitu kisah Pyrrhos dari Epiros sebagaimana dijelaskan oleh Plutarch dalam karyanya Bioi Parallelo.  

Disebutkan, selama Pyrrhos tidak berperang, dirinya tidak tahu apa yang harus dilakukan dengan waktunya. Plutarch mengatakan Pyrrhos merasakan hal yang sama seperti orang Hellenes saat menunggu angin yang menguntungkan sebelum memulai Perang Troya di Homer.  

Sementara itu, kisah yang lebih relate, penguasa Romawi menganggap kebosanan sebagai ancaman bagi tatanan sosial. Kebosanan berlebihan, utamanya terhadap penguasa dan kehidupan sosial-politik dianggap dapat memantik pemberontakan.  

Kebosanan – yang mungkin dianggap sebagai hal “receh” – dari sentimen minor sekelompok orang terhadap kekuasaan PDIP di dua periode terakhir, boleh jadi menyimpan manifestasi mendalam atas alasan sesungguhnya yang justru bersifat substansial.  

Di titik ini, PDIP tentu tidak menginginkan waktu-waktu ke depan sebagai momen hitung mundur “kejatuhannya” sebagaimana dialami oleh Partai Demokrat sembilan tahun lalu. Menarik untuk menantikan langkah antisipasi dan takdir politik PDIP di Pemilu 2024. (J61) 

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Strategi Erick Thohir Menangkan Timnas?

Timnas U-23 lolos ke babak semifinal di Piala Asia U-23 2024. Mungkinkah ini semua berkat Ketum PSSI Erick Thohir? Mengapa ini juga bisa politis?

Iran Punya Koda Troya di Bahrain? 

Iran sering dipandang sebagai negara yang memiliki banyak proksi di kawasan Timur Tengah. Mungkinkah Bahrain jadi salah satunya? 

“Sepelekan” Anies, PKS Pura-Pura Kuat?

Telah dua kali menyatakan enggan mengusung Anies Baswedan di Pilkada Jakarta 2024, PKS kiranya sedang mempraktikkan strategi politik tertentu agar daya tawarnya meningkat. Namun di sisi lain, strategi itu juga bisa saja menjadi bumerang. Mengapa demikian?

Gibran, Wapres Paling Meme?

Usai MK bacakan putusan sengketa Pilpres 2024, Gibran Rakabuming Raka, unggah fotonya sendiri dengan sound berjudul “Ahhhhhh”.

The Battle of Javanesia 2: Proxy War Jokowi vs Prabowo di Pilkada 2024

Pilkada serentak 2024 akan jadi panggung pertaruhan partai politik dan elite nasional untuk menentukan siapa yang jejaring kekuasaannya mampu merambah hingga ke level terbawah.

Triad, Grup Mafia Penguasa Asia?

Kelompok mafia tidak hanya ada di negara-negara Barat, di Asia, sebuah kelompok yang disebut Triad kerap disamakan dengan mafia-mafia ala Italia. Bagaimana sejarahnya?

Manuver Mardiono, PPP “Degradasi” Selamanya?

Kendati belakangan berusaha tetap membawa PPP eksis di kancah perpolitikan nasional dengan gestur merapat ke koalisi Prabowo-Gibran, Muhamad Mardiono agaknya tetap akan cukup sulit membawa PPP bangkit jika tak membawa perubahan signifikan. Mengapa demikian?

Simpati, ‘Kartu’ Rahasia Prabowo?

Prabowo meminta relawan dan pendukungnya untuk tidak berdemo agar jaga perdamaian dan tensi politik. Apakah ini politik simpati ala Prabowo?

More Stories

“Sepelekan” Anies, PKS Pura-Pura Kuat?

Telah dua kali menyatakan enggan mengusung Anies Baswedan di Pilkada Jakarta 2024, PKS kiranya sedang mempraktikkan strategi politik tertentu agar daya tawarnya meningkat. Namun di sisi lain, strategi itu juga bisa saja menjadi bumerang. Mengapa demikian?

Manuver Mardiono, PPP “Degradasi” Selamanya?

Kendati belakangan berusaha tetap membawa PPP eksis di kancah perpolitikan nasional dengan gestur merapat ke koalisi Prabowo-Gibran, Muhamad Mardiono agaknya tetap akan cukup sulit membawa PPP bangkit jika tak membawa perubahan signifikan. Mengapa demikian?

Ini Rahasia Jokowi Kalahkan Megawati?

Kendati diprediksi melemah pasca kepresidenan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) dinilai memiliki kunci rahasia agar tetap bisa memiliki pengaruh dalam politik dan pemerintahan. Bahkan, Jokowi agaknya mampu untuk melampaui kekuatan dan pengaruh Megawati Soekarnoputri. Mengapa demikian?