BerandaHeadlineGibran Sebenarnya "Jebak" Jokowi? 

Gibran Sebenarnya “Jebak” Jokowi? 

Narasi pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang batas minimal usia capres-cawapres yang tertuju pada pencawapresan Gibran Rakabuming Raka dinilai justru menjebak Presiden Jokowi ke situasi sulit. Mengapa demikian? 


PinterPolitik.com 

Presiden Joko Widodo (Jokowi) agaknya akan masuk dalam jebakan putra sulungnya sendiri Gibran Rakabuming Raka, andai sosok yang saat ini menjabat sebagai Wali Kota Solo itu benar-benar dipinang dan menerima pinangan sebagai peserta di Pilpres 2024. 

Kemarin, meski empat hakim konstitusi memiliki pandangan yang berbeda (dissenting opinion), Mahkamah Konstitusi (MK) tetap mengabulkan sebagian gugatan terhadap pasal syarat minimal usia capres-cawapres. 

Kabar dari Medan Merdeka Barat nomor 6 pun sempat mengecoh seantero negeri. Mulanya, putusan MK sebelum tengah hari adalah penolakan terhadap gugatan usia capres-cawapres yang diajukan oleh Partai Solidaritas Indonesia (PSI) di mana diwakili Giring Ganesha Djumaryo, Dea Tunggaesti, Dedek Prayudi, dkk. Alasannya, penentuan usia capres-cawapres merupakan ranah DPR. 

Akan tetapi, kabar mengejutkan di mana kesimpulan putusan MK yang berbeda 180 derajat dibanding sebelumnya hadir berselang beberapa jam kemudian. Sekali lagi, Gibran menjadi sentral diskursus panas politik hukum atas putusan itu. 

Ya, selain variabel dan probabilitas politik yang dimiliki, yang semakin mengerucutkan narasi itu mengarah kepada Gibran adalah prasyarat putusan MK yang pada intinya seseorang yang belum memenuhi syarat umur namun memiliki pengalaman sebagai kepala daerah di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota diperbolehkan menjadi capres-cawapres. 

Sambutan beberapa aktor politik dan relawan memang cukup positif merespons putusan MK tersebut, akan tetapi tidak dengan sebagian besar reaksi publik hingga para pemerhati hukum dan politik tanah air, termasuk di media sosial. 

kaesang dukung gibran cawapres prabowo

Tudingan miring tentu tak bisa dielakkan, utamanya yang mengarah pada Presiden Jokowi. Kritik dan diskursus satir seperti dinasti politik hingga mahkamah keluarga muncul ke permukaan. 

Kendati tak bisa turut mencampuri secara langsung putusan MK, sayangnya, Presiden Jokowi hanya memberikan respons kurang substansial yang justru berpotensi kontraproduktif terhadap demokrasi dan mengikis kepercayaan terhadap lembaga negara pengawal konstitusi. 

Baca juga :  Perangkat Desa Dukung Prabowo-Gibran?

Padahal, dirinya kemungkinan terjerembap dalam jebakan politik anaknya sendiri andai Gibran benar-benar menjadi kandidat yang bertarung di Pilpres 2024. Mengapa demikian? 

Keluarga Jokowi Mau Kemana? 

Tindak-tanduk keluarga Presiden Jokowi seolah tak ada habisnya mengisi dan menjadi variabel politik determinan jelang kontestasi elektoral 2024. 

Sebelumnya, manuver putra bungsu Presiden Jokowi, Kaesang Pangarep yang memutuskan terjun ke politik praktis dan langsung didapuk sebagai Ketua Umum PSI cukup mengejutkan banyak pihak. 

Selain tarik-menarik kepentingan dan impresi dengan PDIP, arah dukungan PSI – yang hingga kini belum dipastikan – di bawah komando Kaesang dinilai cukup signifikan. 

Dalam diskursus lebih lampau lagi, restu Presiden Jokowi seakan menjadi prasyarat penting yang diperebutkan agar dapat menambah probabilitas kemenangan di 2024, utamanya oleh Prabowo Subianto dan Ganjar Pranowo. 

Tetapi, tindak-tanduk terakhir terkait GIbran yang kendati tak dapat dikaitkan secara langsung agaknya berpotensi menjadi bumerang politik bagi Presiden Jokowi. 

infografis nalar rebutan bujuk gibran cawapres 01

Pertama, tentu terkait citra. Putusan MK memantik sikap tak habis pikir, kekecewaan yang diungkapkan dengan berbagai tingkatan nada, hingga mempertanyakan kembali moral dan “kewarasan” hukum dan politik negara ini. 

Sorotan minor koneksi Presiden Jokowi, Ketua MK Anwar Usman, dan Gibran bahkan telah mengisi prasangka khalayak sebelum revisi prasyarat capres-cawapres diputuskan. 

Manuver dan keputusan politik yang terus menjurus pun tampaknya dapat berbalik menjadi ketidaknyamanan yang amat sangat dalam ruang sosiopolitik hingga asas keadilan dan kepastian hukum di Indonesia ke depan. 

Presiden Jokowi kemungkinan besar akan dihadapkan pada tudingan nepotisme dan pembangunan dinasti politik yang bisa saja “lebih besar” dari pada apa yang dilakukan Presiden ke-2 RI Soeharto. 

Kedua, akumulasi ketidaknyamanan di atas tak menutup kemungkinan dapat menjadi “dendam politik” tertentu di masa yang akan datang. 

Kendati mungkin saja gagasan konstruksi dinasti Jokowi digalakkan oleh pihak-pihak yang ingin mendapat keuntungan dari kekuasaan tersebut, kemudaratan kiranya tetap tak bisa dihindari sang mantan Gubernur DKI Jakarta itu jika benar-benar terjadi. 

Baca juga :  Apakah PDIP "Terbebani" Megawati?

Di dunia politik, terdapat rivalitas dan ketegangan antarpartai maupun kandidat dengan kepentingannya masing-masing. 

Jika dalam perjalanannya Gibran terpilih dan melibatkan rival-rival politik Jokowi dalam posisi strategis di berbagai skenario ketegangan, potensi dendam politik yang teraktualisasi menjadi ekspresi fisik yang destruktif bukan tidak mungkin eksis. 

Ketiga, entitas maupun faksi politik yang tidak mendukung Gibran sebagai cawapres, maupun yang tak senang dengan impresi begitu digdayanya Jokowi dan keluarga mungkin saja akan mencoba memanfaatkan situasi untuk kepentingan mereka sendiri. 

Hal itu bisa menciptakan berbagai kemungkinan yang, sekali lagi, berbalik tak mengenakkan bagi Jokowi dan “dinastinya” di kemudian hari. 

Namun demikian, terdapat satu kemungkinan lain terkait putusan MK yang kepalang mengarah negatif kepada Gibran dan Presiden Jokowi. Apakah itu? 

ojo kesusu gibran gubernur dulu

Jadi “Pahlawan”, Bercyandaa! 

Presiden Jokowi dan Gibran kemungkinan besar memahami gelombang minor masif yang sedang terarah kepada mereka pasca putusan MK. 

Selain boleh jadi tak peduli dan tetap menerjang gelombang itu, di skenario lain, keduanya mungkin saja menghadirkan antitesis semua prasangka buruk selama ini dan membalikkannya menjadi keuntungan politik tersendiri. 

Itu tidak lain adalah sikap konkret penolakan pencawapresan yang bisa saja dihadirkan untuk menciptakan impresi protagonis politik di 2024. 

Probabilitas itu sendiri kiranya cukup memungkinkan untuk terjadi. Utamanya, jika berkaca pada proyeksi karier politik Gibran yang masih begitu panjang dan tak harus saat ini merintis usaha untuk “melompat” ke Istana. 

Pun dengan kepentingan Jokowi yang agaknya masih bisa diakomodir oleh dua dari tiga calon suksesornya memimpin negeri. 

Pada akhirnya, semua tinggal bagaimana kalkulasi parpol, keputusan Gibran, dan andil pengaruh Jokowi yang akan menentukan arah intrik politik hukum negara, yang mungkin menjadi yang ter-kontroversial dalam dua dekade pasca Reformasi ini. (J61)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Kritik Megawati, Bumerang Hantam PDIP?

Ketua Umum (Ketum) PDIP Megawati Soekarnoputri seolah mengkritik pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) seperti era Orde Baru (Orba). Namun, kritik ini tampaknya justru menjadi...

Siapa Capres Dukungan CIA di 2024?

Isu tentang kepentingan Amerika Serikat di sekitaran Pilpres 2024 memang menjadi salah satu perdebatan yang menarik di Indonesia. Secara spesifik, poin perbincangannya membawa-bawa nama...

Pemilih Bimbang Perlu Belajar Machiavellianisme?

Swing dan undecided voters masih menghantui Pemilu 2024. Tidak sedikit di antara mereka yang bingung memilih karena melihat semua kandidat “sama buruknya”. Bagaimana kita bisa merubah pola pikir yang seperti ini? 

Tetap Pede, Jokowi’s Anomaly?

Presiden Joko Widodo (Jokowi) unggah foto artikel koran berjudul "Indonesia Builds Superpower Dreams". Menjelang 2024, Jokowi tetap pede?

Gemoy Effect Prabowo Seperti Bongbong Marcos di Filipina?

Kata “gemoy” menjadi istilah yang tengah naik daun dalam beberapa waktu terakhir, utamanya dikaitkan dengan kampanye Prabowo Subianto. Demam gemoy membuat citra Prabowo menjadi...

Pilpres 2024 Hampir Pasti Ganjar vs Prabowo?

Salah satu pendiri CSIS Jusuf Wanandi menyebut Pilpres 2024 akan diisi oleh dua paslon. Dengan PDIP secara terang-terangan menginginkan dua paslon, apakah pernyataan Jusuf...

Apa Itu Contract Farming Yang Dipakai Anies Lawan Jokowi-Prabowo?

Anies mengusung gagasan menarik terkati persoalan pangan. Ia menyebutnya sebagai contract farming. Program ini disebutnya akan menggantikan food estate yang menjadi program andalan Presiden...

Yenny Wahid, Kembalinya Trah Gus Dur?

Putri Abdurrahman Wahid, Yenny Wahid, menyatakan siap untuk jadi bacawapres di Pilpres 2024. Apakah ini awal kembalinya trah Gus Dur?

More Stories

“Gorengan” Isu HAM Anies-Ganjar Tak Laku?

Isu pelanggaran HAM dan visi-misi terkait selalu muncul, setidaknya di tiga edisi Pilpres terakhir. Kali ini, kubu Prabowo Subianto yang kerap disudutkan kiranya bisa...

“Politik Dinasti” Sebenarnya Formula Terbaik? 

Jika dilihat secara komprehensif, praktik politik dinasti nyatanya terjadi hampir di tiap daerah di Indonesia. Suka atau tidak, hal itu tampaknya juga menjadi formula...

“Manipulasi Impresi” Anies-Imin Berhasil? 

Komposisi Timnas Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar tampak cukup moderat dan mewakili semua kalangan serta latar belakang. Namun, postur tim pemenangan yang begitu besar agaknya akan...