HomeNalar PolitikCorona, Momen PKS Dulang Simpati?

Corona, Momen PKS Dulang Simpati?

Sikap yang diambil Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dengan menentang agenda tes Covid-19 bagi seluruh anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) beserta keluarganya, menuai apresiasi publik. Pada konteks berbeda, ekspresi PKS ini dinilai sebagai upaya untuk meningkatkan citra partai di hadapan masyarakat bahwa mereka memiliki nilai lebih, paling tidak di saat pandemi ini.


PinterPolitik.com

Publik tentu sudah tidak awam untuk menilai citra dan kinerja partai politik (parpol) dengan merefleksikannya terhadap bagaimana sepak terjang anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai delegasi parpol di parlemen. Namun sayangnya, kabar dari parlemen mengenai perilaku hingga terobosan langkah mereka sebagai anggota dewan acapkali terdengar kurang memuaskan.

Memasuki periode kerja baru 2019-2024, para wakil rakyat di parlemen nyatanya dinilai masih belum banyak yang benar-benar menyerap serta mewujudkan aspirasi publik. Tingkat kompromi kepentingan antar partai masih cukup kental, terutama mereka yang duduk di jajaran pimpinan dan satu rangkaian “gerbong” dengan eksekutif.

Meskipun pemberitaan media mulai samar, namun publik tentu masih ingat dengan resistensi terhadap regulasi made in parlemen yang tidak pro rakyat bahkan cenderung kontroversial seperti revisi UU KPK, RUU KUHP, hingga Omnbus Law. Suara dan hati nurani publik yang datang berbondong-bondong ke Senayan tidak mendapatkan tindak lanjut cepat dan memuaskan hingga kini.

Namun seperti halnya kehidupan, nilai-nilai keluhuran yang dijunjung dan dihadirkan oleh segelintir pihak di parlemen, bak sebuah anomali ironis, terkadang hadir menyejukkan tensi pro-kontra terhadap suatu persoalan yang sedang dihadapi rakyat. Terkadang hal tersebut juga mematahkan prinsip kaum realis bahwa situasi konfliktual adalah mutlak dan semua hanyalah soal saling rebut bentur kepentingan serta siapa mendapat apa yang dibalut dalam terminologi zero-sum game – menang kalah.

Terlebih lagi di saat rakyat luas sedang dalam kondisi tidak menyenangkan. Pandemi Covid-19 saat ini telah tersebar hampir di mayoritas provinsi dengan penduduk yang besar di Indonesia serta telah pula merenggut sejumlah nyawa rakyat serta tenaga medis. Di saat situasi darurat dan menyentuh rasa kemanusiaan setiap anak bangsa seperti ini, DPR dinilai tidak mampu bertindak bijak dan memprioritaskan rakyat yang diwakilinya.

Rencana DPR untuk melakukan tes Covid-19 kepada seluruh anggota beserta keluarga, asisten rumah tangga dan para supir pribadinya pada 26 Maret mendatang, menuai ketidakpuasan publik. Keputusan yang diambil setelah rapat Badan Musyawarah DPR itu dinilai kurang peka terhadap situasi sulit rakyat saat ini di berbagai daerah yang bahkan banyak yang terabaikan untuk melakukan tes setelah ditetapkan sebagai orang dalam pengawasan (ODP) maupun pasien dalam pengawasan (PDP), bahkan itu juga dialami oleh mereka yang diduga kuat positif Covid -19.

Di tengah-tengah sorotan tajam publik itu, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) mengambil sikap berlawanan dengan keputusan tes Covid-19 kepada anggota dan keluarganya. Mulai dari juru bicara, hingga presiden partai berlambang padi dan bulan sabit tersebut, bersuara lantang menentang rencana tes tersebut dengan mempertimbangkan urgensi keadaan rakyat saat ini. Tak hanya itu, pimpinan fraksi PKS telah menyampaikan desakan itu kepada pimpinan DPR agar rencana itu tidak dilanjutkan.

Suara penolakan sejak awal dari PKS ini lah yang kemudian paling banyak diapresiasi publik. Kali ini publik menilai PKS mengambil sikap paling tepat dan sejalan dengan aspirasi banyak masyarakat dari berbagai kalangan di tanah air. Lantas, apakah momentum manuver luhur yang diprakarsai PKS kali ini adalah sekaligus sebagai waktu yang tepat untuk meningkatkan dukungan dan citra di mata publik?

Memahami Artikulasi PKS

Sejak meneguhkan diri berada di luar pemerintahan dalam periode pemerintahan baru, PKS dinilai menunjukkan beberapa gestur dan manuver politik yang positif serta sejalan dengan suara rakyat. Beberapa kali langkah dan kebijakan legislatif dan eksekutif yang menuai respon minor publik, segera disikapi oleh PKS dengan kritik yang tepat dari sisi aspirasi masyarakat.

Kang Shin-Goo dan Powell Bingham dalam jurnal berjudul “Representation and Policy Responsiveness” mengemukakan istilah responsivitas atau responsiveness yang menjelaskan responsivitas pemerintah terhadap preferensi warga negara harus lebih besar demi berjalannya relasi yang baik di antara kedua belah pihak. Selain itu, penting pula untuk merealisasikan reaksi dan sikap cepat yang menunjukkan kepekaan terhadap publik.

Hal inilah yang dapat dilihat dari bagaimana dewasa ini PKS menyajikan sikap sebagai partai politik yang mewakili konstituen serta rakyat secara umum. PKS dinilai cukup jamak hadir menampilkan responsivitas yang sejalan dengan preferensi serta aspirasi publik ketika pemerintah gagal, atau paling tidak lamban untuk melakukannya, terutama di periode pemerintahan 2019-2024 ini.

Terkait dengan revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada September lalu misalnya. Meskipun menyetujui pembaharuan regulasi tersebut, PKS memberikan catatan dan mengambil sikap menolak beberapa poin krusial yang juga menjadi keresahan publik akan melemahkan KPK.

Kemudian mengenai Omnibus Law Cipta Kerja. Bulan lalu, presiden PKS Sohibul Iman secara tegas menyampaikan tiga kritikan terhadap terobosan regulasi yang mendapat banyak penolakan tersebut.

Pertama, RUU Cipta Kerja juga harus menjaga rasa keadilan bagi seluruh pihak dan utamanya menjamin hak-hak pekerja.

Kedua, transformasi ini dilakukan bukan hanya mengejar pertumbuhan, tetapi juga menjamin pemerataan dan rasa keadilan bagi semua pihak, serta tidak menguntungkan pihak-pihak tertentu saja.

Terakhir, RUU Cipta Kerja harus memperkuat demokrasi dan otonomi daerah. Tidak boleh ada upaya sentralisasi kekuasaan dan pemberangusan hak-hak demokrasi rakyat.

Sikap aktif PKS yang ditunjukkan pada beberapa momen penting nyatanya memang terlihat sebagai manuver yang responsif dan berpadanan dengan suara publik akhir-akhir ini. Ditambah lagi dengan beberapa sikap dan kritik positif yang ditunjukkan politisi PKS belakangan ini terhadap kinerja pemerintah yang dinilai lamban dalam penanganan Covid-19 di Indonesia.

Mendapat Momentum Tepat?

Sebelum Pemilu 2019, PKS dinilai sebagai partai yang sering membuat publik heran dengan manuver maupun sikap politik politisi dan partai secara umum. Tengok saja saat kampanye Pemilu terakhir, PKS menjanjikan akan memperjuangkan regulasi yang membebaskan pajak sepeda motor dan pemberlakukan surat izin mengemudi (SIM) seumur hidup jika menang kontestasi. Sontak nada skeptis diterima PKS setelahnya, meskipun ternyata perolehan suara partai tersebut naik dibanding lima tahun sebelumnya.

Namun belakangan, manuver PKS terkait masukan dan kritik terhadap pemerintah dalam penanganan Covid-19 dinilai banyak yang sejalan dengan aspirasi publik. Beberapa tokoh penting partai memberikan masukan “masuk akal” kepada pemerintah agar lebih serius dan fokus.

Theory of Political Timing dikemukakan John Gibson dalam publikasinya “Political Timing: A Theory of Politicians’ Timing of Events” begitu relevan membantu kita memahami sikap PKS tersebut. Teori ini menjelaskan momentum “peristiwa” politik terjadi tidak secara kebetulan meskipun peristiwa tersebut bersifat random atau acak dan dapat terjadi kapanpun. Politisi akan berusaha untuk mempengaruhi momentum tersebut dengan sikap dan keputusan untuk mendapatkan manfaat dari segi politik.

Dalam hal ini, PKS menampilkan gestur dan sikap logis sebagai partai di luar pemerintahan. Momentum langkah dan kebijakan pemerintah yang dinilai kurang baik oleh publik menjadi kewajiban moral, idealis, dan strategis partai untuk memberikan opsi kritik dan masukan. Selain itu, sebagai partai di luar pemerintahan, berbagai manuver PKS bisa dikatakan anti mainstream di parlemen.

Sohibul Iman misalnya, meminta pemerintah lebih terbuka kepada masyarakat soal persebaran Covid-19 untuk mencegah virus meluas”. Sementara Mardani Ali Sera menanggapi frasa “Pecundang Politik” Jubir Presiden Jokowi, Fadjroel Rahman, dengan jitu. Ia mengatakan bahwa kritik memiliki semangat untuk mencegah ledakan korban akibat Covid-19, serta mengkonfirmasi kesesuaian pernyataan penguasa dengan kondisi di lapangan.

Gestur berani mengambil sikap lainnya muncul ketika PKS lantang mendesak rapid test Covid-19 bagi anggota DPR dan keluarganya dibatalkan dengan alasan moral dan kemanusiaan. Tak ayal ketepatan langkah ini mendapat respon yang baik di mata publik. Di linimasa twitter misalnya, gagasan PKS agar tes Covid-19 DPR diurungkan mendapat banyak respon positif dari warganet.

Berbagai sikap yang belakangan ini kita lihat tersebut nyatanya telah ditunjukkan PKS secara konsisten sejak berada di “barisan seberang” dari penguasa di periode sebelumnya. Hal ini membuat PKS secara alamiah dan logis terlihat sesuai memerankan pihak pengkritik. Ketika pemerintah atau bahkan parlemen mengeluarkan regulasi maupun kebijakan yang mendapat resistensi publik, PKS telah secara otomatis berada di pihak publik dan mendapatkan keuntungan tersendiri.

Harapan publik tentu tidak hanya satu atau dua partai saja yang dapat dengan tulus dan teguh mewakili aspirasi secara konsisten dan berkesinambungan. Baik berada di kubu pendukung pemerintah maupun kubu manapun, partai politik pantas bertindak dan berkorban demi rakyat banyak. Karena hakikatnya partai politik serta wakilnya di parlemen adalah perantara mulia bagi suara rakyat serta kehidupannya. (J61)

► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Baca juga :  Prabowo-Megawati Bersatu, Golkar Tentukan Nasib Jokowi?
spot_imgspot_img

#Trending Article

Alasan Ketergantungan Minyak Bumi Sulit Dihilangkan

Bahan bakar minyak (BBM) terus dikritisi keberadaannya karena ciptakan berbagai masalah, seperti polusi udara. Tapi, apakah mungkin dunia melepaskan ketergantungannya pada BBM?

Ada Kongkalikong Antara Iran dan Israel?

Kendati diisukan akan jadi perang besar, konflik antara Iran dan Israel justru semakin mereda. Mengapa hal ini bisa terjadi? 

Sangat Mungkin Jokowi & Anies Mendirikan Parpol?

Opsi mendirikan partai politik (parpol) menjadi relevan dan memiliki signifikansi tersendiri bagi karier politik Anies Baswedan dan Joko Widodo (Jokowi) pasca 2024. Akan tetapi, hal itu agaknya cukup mustahil untuk dilakukan saat berkaca pada kecenderungan situasi sosiopolitik saat ini.

Singapura ‘Ngeri-ngeri Sedap’ ke Prabowo?

Jokowi ajak Prabowo ketika bertemu PM Singapura Lee Hsien Loong dan deputinya, Lawrence Wong. Mungkinkah 'ngeri-ngeri sedap' ke Prabowo?

Anies Menuju Mendikbud Prabowo atau Gubernur Jakarta?

Pasca kalah di Pilpres 2024, banyak pertanyaan muncul terkait jabatan politik apa yang akan diduduki Anies Baswedan.

Anies Kalah Karena Tak Lawan Politik Identitas?

Pasangan Anies-Cak Imin harus mengakui keunggulan Prabowo-Gibran yang keluar sebagai pemenang Pilpres 2024. Di atas kertas, Anies yang secara track record dan citra publik begitu menjanjikan untuk jadi Presiden RI, nyatanya belum mampu meraih peruntungan di Pilpres kali ini. Pertanyaannya adalah mengapa demikian? Benarkah ini karena posisi Anies yang tak tegas melawan fabrikasi isu politik identitas yang kerap diarahkan padanya?

Benua Asia, Propaganda Terbesar Kolonialisme?

Benua Asia adalah benua terbesar dan terkaya di dunia. Namun, sebagai sebuah wilayah yang kerap dipandang homogen, Asia sebetulnya memiliki keberagaman yang begitu tinggi di antara kawasan-kawasannya sendiri. Mungkinkah lantas Benua Asia yang kita kenal bukanlah Benua Asia yang sesungguhnya?

Selama Masih Megawati, PDIP Pasti Oposisi?

Sinyal kuat bergabungnya Partai NasDem dan PKB, ditambah keinginan PKS untuk pula merapat ke koalisi Prabowo-Gibran, membuat Megawati Soekarnoputri dan PDIP dinilai akan mengambil sikap teguh nan luhur sebagai penyeimbang pemerintah. Namun, pada praktiknya, itu akan berjalan setengah hati. Benarkah demikian?

More Stories

Sangat Mungkin Jokowi & Anies Mendirikan Parpol?

Opsi mendirikan partai politik (parpol) menjadi relevan dan memiliki signifikansi tersendiri bagi karier politik Anies Baswedan dan Joko Widodo (Jokowi) pasca 2024. Akan tetapi, hal itu agaknya cukup mustahil untuk dilakukan saat berkaca pada kecenderungan situasi sosiopolitik saat ini.

Selama Masih Megawati, PDIP Pasti Oposisi?

Sinyal kuat bergabungnya Partai NasDem dan PKB, ditambah keinginan PKS untuk pula merapat ke koalisi Prabowo-Gibran, membuat Megawati Soekarnoputri dan PDIP dinilai akan mengambil sikap teguh nan luhur sebagai penyeimbang pemerintah. Namun, pada praktiknya, itu akan berjalan setengah hati. Benarkah demikian?

“Sepelekan” Anies, PKS Pura-Pura Kuat?

Telah dua kali menyatakan enggan mengusung Anies Baswedan di Pilkada Jakarta 2024, PKS kiranya sedang mempraktikkan strategi politik tertentu agar daya tawarnya meningkat. Namun di sisi lain, strategi itu juga bisa saja menjadi bumerang. Mengapa demikian?