HomeNalar PolitikCapres KIB, Erick Jegal Ganjar?

Capres KIB, Erick Jegal Ganjar?

Sinyal terbukanya pintu Koalisi Indonesia Bersatu (Golkar, PAN, dan PPP) bagi calon presiden (capres) dari eksternal koalisi cukup menarik. Dua nama – Ganjar Pranowo dan Erick Thohir – mengemuka sebagai pendamping kandidat terkuat, Airlangga Hartarto. Lantas, siapa pasangan yang akan dipilih KIB?


PinterPolitik.com

Hiruk pikuk manuver partai politik (parpol) menjelang kontestasi elektoral 2024 kian terlihat. Terbaru, Ketua Umum (Ketum) Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) didampingi Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyambangi Ketum Partai Nasdem Surya Paloh dan dinilai erat kaitannya dengan penjajakan koalisi.

Pekan lalu, Surya Paloh juga telah menerima kunjungan Ketum Partai Gerindra Prabowo Subianto. Pergerakan Prabowo, AHY, SBY, dan Surya Paloh ini seolah menjadi respons atas geliat aktif koalisi politik yang telah terbentuk sebelumnya, yakni Koalisi Indonesia Bersatu (KIB).

Inisiatif KIB hasil dari kolaborasi Golkar, PAN, dan PPP dinilai menunjukkan sinergi atas kepercayaan diri politik tersendiri ketika parpol lain masih terkesan bimbang menghadapi pemilu 2024 yang jamak dianggap masih terlampau jauh untuk dibicarakan saat ini.

Bahkan, daya tawar politik KIB tampak kian meningkat setelah sebuah agenda simbolik dihelat akhir pekan lalu. Bertajuk Silaturahim Nasional, acara tersebut dihadiri sejumlah elite politik yang memantik penafsiran lanjutan.

infografis temu diam diam sby paloh

Ya, terdapat dua sosok menarik karena dianggap memiliki kedekatan personal dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang datang dalam acara tersebut, yaitu Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan dan Ketum Relawan Pro Jokowi (Projo) Budi Arie Setiadi.

Kehadiran keduanya dianggap sebagai restu tak langsung Presiden Jokowi, setidaknya dalam dua konteks yang berangkat dari dinamika politik belakangan ini.

Pertama, restu atas eksistensi KIB sebagai poros politik yang positif. Tentu, restu ini adalah dalam koridor normatif mengingat Kepala Negara agaknya haram untuk condong pada kubu politik suksesor di tengah masa jabatan. Namun, tafsir di luar koridor normatif tentu tetap terbuka.

Kedua, tak lain terkait restu pada Gubernur Jawa Tengah (Jateng) Ganjar Pranowo agar dapat dipinang KIB sebagai kandidat dalam Pilpres 2024. Hal itu mengingat Presiden Jokowi tampak memberi kode dukungan kepada Ganjar dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) V Projo di Magelang pada 21 Mei lalu.

Kendati demikian, Ganjar agaknya tidak sendiri untuk mendapatkan “tiket emas” dari KIB. Dia adalah Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir, yang pada Senin pekan ini melakukan pertemuan dengan Ketum PAN Zulkifli Hasan dan Ketua Majelis Penasihat Partai (MPP) PAN Hatta Rajasa. Lagi-lagi, manuver ini diterjemahkan sebagai hadirnya opsi kandidat lain bagi KIB selain Ganjar.

KIB sendiri sebelumnya telah menyatakan sangat terbuka dengan kandidat eksternal koalisi dalam Pilpres 2024, sebagaimana yang ditegaskan oleh Ketum PPP Suharso Monoarfa.

Kursi calon presiden (capres) yang kemungkinan besar akan diisi Ketum Golkar Airlangga Hartarto karena memiliki konsesi terbesar KIB, membuat persaingan untuk mendampingi eks Menteri Perindustrian itu kian memanas.

Baca juga :  Benua Asia, Propaganda Terbesar Kolonialisme?

Walaupun turut masuk menjadi salah satu kandidat KIB, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan agaknya akan lebih memilih koalisi politik yang akan menjadikannya capres jika berkaca pada modal politik yang telah diinvestasikannya selama ini.

Dengan menyisakan nama Ganjar dan Erick sebagai kandidat terkuat pendamping Airlangga, siapakah di antara keduanya yang lebih pantas?

kib untuk ganjar ed.

Ganjar Kalah Telak?

Dengan mengantongi akumulasi 23,31 persen suara, KIB jamak disebut poros alternatif yang menjanjikan bagi siapapun kandidat capres dan calon wakil presiden (cawapres) di Pemilu 2024. Termasuk bagi yang tidak memiliki kendaraan politik seperti Erick Thohir, ataupun sosok potensial yang seolah tersisihkan oleh partainya sendiri seperti Ganjar Pranowo.

Namun, untuk bersaing ke singgasana kandidat KIB pendamping Airlangga tentu bukan perkara mudah dan agaknya tidak hanya melulu terkait dengan elektabilitas di hadapan konstituen.

Modal politik inheren masing-masing calon kiranya akan menjadi tolok ukur pantas atau tidaknya peluang Erick maupun Ganjar. Konteks modal dalam politik sendiri dijelaskan Richard D. French dalam Political Capital.

French menjabarkan bahwa kalkulasi jangka panjang serta komprehensif terhadap modal politik, terutama atas aset-aset potensial yang dimiliki aktor politik menjadi sangat penting. Utamanya ketika berbicara mengenai penentuan sosok yang akan mewakili parpol dalam pertarungan politik demokratis.

Senada dengan French, Kimberly L. Casey dalam Defining Political Capital: A Reconsideration of Bourdieu’s Interconvertibility Theory mendefinisikan modal politik sebagai pendayagunaan keseluruhan jenis modal yang dimiliki oleh aktor maupun lembaga politik untuk menghasilkan tindakan yang menguntungkan atau memperkuat posisi politiknya.

Berangkat dari urgensi modal politik yang dikemukakan French dan Casey itu, penilaian mengenai siapa yang pantas mendapatkan sokongan KIB agaknya menjadi dapat diidentifikasi.

Setidaknya, terdapat enam poin esensial untuk menjadi parameter perbandingan antara Erick dan Ganjar, yaitu modal materiil, koneksi internasional, dukungan kelompok Islam, sokongan parpol, koneksi dengan militer, dan tentunya aspek elektabilitas.

Dari sisi Erick Thohir, modal materiil dan koneksi internasional agaknya dapat dielaborasikan sekaligus pada sosoknya sebagai pengusaha ulung yang kini terjun ke jabatan pemerintahan.

Riwayat Erick mengelola Mahaka Group serta dua klub sepak bola mancanegara yakni DC United dan Inter Milan, plus jejaring koneksi yang terbangun saat dirinya menjabat sebagai Menteri BUMN tentu menjadi poin lebih.

Bahkan, dalam dua indikator tersebut, pengamat politik Universitas Paramadina, Akhmad Khoirul Umam menilai bahwa Erick tidak mudah diintervensi oleh kekuatan oligarki jika berkaca pada kinerjanya di Medan Merdeka Selatan.

Dukungan kelompok Islam pun mulai diakuisisi Erick. Paling tidak itu dapat terlihat dari inisiatif safarinya ke tokoh kunci Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) seperti Saifullah Yusuf (Gus Ipul) serta sejumlah perkumpulan ulama lainnya.

Bahkan selain Gus Ipul, ada nama Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas yang turut memberikan semacam kode dukungan bagi Erick di Pilpres 2024.

Baca juga :  Sangat Mungkin Jokowi & Anies Mendirikan Parpol?

Sementara dari segi sokongan parpol, Erick memiliki prestasi sebagai Ketua Tim Pemenangan Jokowi-Ma’ruf pada Pilpres 2019. Ihwal yang tentu menjadi daya tawar paling “seksi”nya di hadapan parpol selain modal materiil.

Sisanya, hanya tinggal jalinan koneksi dengan militer serta elektabilitas yang belum terlihat menonjol dari sosok Erick.

Sementara itu, dari sudut seberang, Ganjar Pranowo agaknya tak bisa berharap banyak ketika dinilai berdasarkan enam indikator di atas. Jika ditelusuri, kader PDIP itu tampak hanya memiliki satu keunggulan dibandingkan dengan Erick, yakni elektabilitas.

Lantas, akankah Erick benar-benar akan menjadi pilihan KIB untuk mendampingi Airlangga?

infografis pemagang restu jokowi betulkah

Menanti Jiwa Ksatria Airlangga?

Kombinasi Airlangga sebagai capres dan Erick sebagai cawapres memang bisa saja tampak cukup ideal dari sudut pandang KIB. Namun, impresi itu belum tentu selaras dengan impresinya di hadapan para pemilih.

Well, tidak bisa dipungkiri bahwa kelemahan terbesar yang kiranya sulit diperbaiki dari sosok Airlangga adalah elektabilitas yang rendah. Sesungguhnya, akan cukup berisiko bagi pertaruhan KIB jika dia dinobatkan sebagai capres, terlepas dari siapapun calon wakilnya.

Apalagi, beberapa kali Airlangga dihadang isu minor, baik yang tertuju secara personal kepadanya maupun dalam hal kepemimpinannya di Partai Golkar.

Sebagai jalan keluar, Ketum Partai Golkar itu barangkali dapat mengadopsi filosofi namanya sendiri – “Airlangga” – sebagai sosok raja dengan jiwa ksatria.

Teori ksatria sendiri eksis dan menjelaskan bahwa para ksatria berperan dalam pendirian kerajaan-kerajaan di Indonesia. Kasta ksatria sendiri merupakan salah satu kasta yang ada di dalam sistem sosial ajaran Hindu. Mereka terdiri dari para raja, para prajurit, dan bangsawan.

Secara filosofis, salah satu nilai dari jiwa para ksatria adalah sikap berjiwa besar untuk mengakui kelemahan maupun kekalahan. Esensi pentingnya adalah bahwasanya jiwa ksatria bermakna sikap mengalah demi keutamaan kepentingan yang lebih besar dibandingkan kepentingan pribadinya.

Terdapat pula ungkapan kearifan lokal dalam kebudayaan Jawa, yaitu wani ngalah luhur wekasane yang bermakna bahwa siapa yang berani mengalah dan menekan egonya, akan mendapat kemuliaan serta kedudukan yang lebih tinggi di kemudian hari.

Oleh karena itu, kebesaran hati Airlangga agaknya akan menjadi solusi terbaik bagi KIB. Dalam hal ini, untuk memberikan tiket capres dan cawapres kepada Erick dan Ganjar sebagai formula komplementer terbaik.

Direktur Eksekutif KedaiKopi Kunto Adi Wibowo pun memiliki penilaian yang kurang lebih serupa bahwa jika KIB ingin menang, Airlangga harus menjadi aktor pembeda yang mengalah.

Bagaimanapun, keputusan KIB untuk menetapkan capres dan cawapres andalannya tampak masih akan terus bergulir secara dinamis ke depan. Tidak terkecuali dinamika komposisi parpol dalam koalisi politik itu sendiri yang akan menjadi penentu akhir. (J61)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Apa Siasat Luhut di Kewarganegaran Ganda?

Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan mengusulkan agar kewarganegaraan ganda untuk diaspora Indonesia diperbolehkan. Apa rugi dan untungnya?

Budi Gunawan Menuju Menteri Prabowo?

Dengarkan artikel ini: Nama Kepala BIN Budi Gunawan disebut-sebut sebagai salah satu kandidat calon menteri yang “dititipkan” Presiden Jokowi kepada Presiden Terpilih Prabowo Subianto. Hal...

Bukan Teruskan Jokowi, Prabowo Perlu Beda?

Presiden terpilih RI, Prabowo Subianto selalu sebut akan lanjutkan program-program Presiden Jokowi, Namun, haruskah demikian? Perlukah beda?

Mungkinkah Prabowo Tanpa Oposisi?

Peluang tak adanya oposisi dalam pemerintahan Prabowo-Gibran sangat terbuka.Ini karena beberapa partai yang awalnya menjadi lawan Prabowo-Gibran, kini sudah mulai terang-terangan menyatakan siap menjadi bagian dari pemerintahan.

Alasan Ketergantungan Minyak Bumi Sulit Dihilangkan

Bahan bakar minyak (BBM) terus dikritisi keberadaannya karena ciptakan berbagai masalah, seperti polusi udara. Tapi, apakah mungkin dunia melepaskan ketergantungannya pada BBM?

Ada Kongkalikong Antara Iran dan Israel?

Kendati diisukan akan jadi perang besar, konflik antara Iran dan Israel justru semakin mereda. Mengapa hal ini bisa terjadi? 

Sangat Mungkin Jokowi & Anies Mendirikan Parpol?

Opsi mendirikan partai politik (parpol) menjadi relevan dan memiliki signifikansi tersendiri bagi karier politik Anies Baswedan dan Joko Widodo (Jokowi) pasca 2024. Akan tetapi, hal itu agaknya cukup mustahil untuk dilakukan saat berkaca pada kecenderungan situasi sosiopolitik saat ini.

Singapura ‘Ngeri-ngeri Sedap’ ke Prabowo?

Jokowi ajak Prabowo ketika bertemu PM Singapura Lee Hsien Loong dan deputinya, Lawrence Wong. Mungkinkah 'ngeri-ngeri sedap' ke Prabowo?

More Stories

Sangat Mungkin Jokowi & Anies Mendirikan Parpol?

Opsi mendirikan partai politik (parpol) menjadi relevan dan memiliki signifikansi tersendiri bagi karier politik Anies Baswedan dan Joko Widodo (Jokowi) pasca 2024. Akan tetapi, hal itu agaknya cukup mustahil untuk dilakukan saat berkaca pada kecenderungan situasi sosiopolitik saat ini.

Selama Masih Megawati, PDIP Pasti Oposisi?

Sinyal kuat bergabungnya Partai NasDem dan PKB, ditambah keinginan PKS untuk pula merapat ke koalisi Prabowo-Gibran, membuat Megawati Soekarnoputri dan PDIP dinilai akan mengambil sikap teguh nan luhur sebagai penyeimbang pemerintah. Namun, pada praktiknya, itu akan berjalan setengah hati. Benarkah demikian?

“Sepelekan” Anies, PKS Pura-Pura Kuat?

Telah dua kali menyatakan enggan mengusung Anies Baswedan di Pilkada Jakarta 2024, PKS kiranya sedang mempraktikkan strategi politik tertentu agar daya tawarnya meningkat. Namun di sisi lain, strategi itu juga bisa saja menjadi bumerang. Mengapa demikian?