HomeHeadlineBuzzer Anies dan Ganjar, Operasi False Flag?

Buzzer Anies dan Ganjar, Operasi False Flag?

Kecil Besar

Dengarkan Artikel Ini:

Audio ini dibuat menggunakan AI.

Fenomena buzzer politik dan keresahan yang ditimbulkannya masih menjadi warna tersendiri di Pemilu dan Pilpres 2024. Dalam konteks Pilpres, kubu Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD sempat ditengarai memiliki buzzer paling agresif. Namun, ketika berbicara buzzer, siklus interpretasi, spekulasi tak hingga, dan false flag bisa saja menjadi strategi tertentu untuk menjatuhkan reputasi kubu tertentu.


PinterPolitik.com

Pilpres 2024 sudah di depan mata, dan buzzer politik masih mewarnai dinamika yang bergulir. Menariknya, kubu pendukung Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD saling tuding sebagai empunya buzzer yang paling meresahkan.

Buzzer politik yang beroperasi di media sosial sendiri seolah lumrah menjadi bagian tak terpisahkan dari dinamika politik, setidaknya sejak Pemilu dan Pilpres 2014.

Pada awal 2023 lalu, politisi PDIP Deddy Sitorus pun sempat menguak bahwa setiap aktor politik memiliki buzzer masing-masing dan itu menjadi hal yang lumrah.

Terdapat beberapa catatan menarik terkait buzzer Pemilu dan Pilpres 2024. Influencer Trio Netizen yang terdiri dari Sandi Sukron, Rio Chan, dan Eky Priyagung, misalnya, pernah memberikan penghargaan digital kepada buzzer Anies-Imin sebagai yang paling “rese” dengan kata-kata ofensif dan meresahkan.

Menariknya, dalam konteks serupa, Deddy Sitorus juga menyebut bahwa yang memiliki buzzer terbanyak dan paling vokal adalah PKS, parpol yang saat ini mengusung duet Anies-Imin. Tentu, kala itu PKS langsung membantah tudingan Deddy.

Kembali, predikat kepada buzzer Anies sendiri ditasbihkan Trio Netizen pada akhir Desember 2023 lalu, atau dua bulan setelah intrik influencer lain, yakni Kiky Saputri, dengan so called buzzer Ganjar yang disebut menyebar narasi menjurus fitnah.

Sementara itu, buzzer dari kubu Prabowo-Gibran tampak “lebih bersih” dari catatan minor, kendati masih dapat terlihat meramaikan kolom komentar konten seputar dinamika Pilpres 2024, baik di Twitter/X, Instagram, hingga TikTok.

Belum tampak pula intrik dan predikat serupa Trio Netizen dan Kiky Saputri yang melibatkan so called buzzer Prabowo-Gibran.

Baca juga :  Prabowo: Koruptor Disingkirkan Tanpa Ragu!

Nyatanya, eksistensi buzzer politik di media sosial tidak selalu memiliki konotasi yang negatif dan tak etis. Akan tetapi, jika mereka terlibat dalam tindakan manipulatif dan penyebaran informasi palsu, tentu itu dapat menimbulkan dilema etika dan memperdalam perpecahan konkret di masyarakat.

Namun, intrik dan saling tuding sebagai sang empunya buzzer politik meresahkan bisa saja merupakan strategi politik tertentu. Ini kiranya penting dipahami dalam perspektif pemilih dan masyarakat pada umumnya agar tetap dalam koridor kritis dan etis. Mengapa demikian?

Operasi Bendera Palsu

Buzzer politik kerap merujuk pada pengelola akun kecil dan anonim dengan pengaturan militansi yang tinggi untuk membanjiri narasi di media sosial sesuai dengan keberpihakan mereka.

Kata kunci anonimitas menjadi kekuatan mereka sebagai komponen penting dari “pasukan siber” atau cyber troops.

Akan tetapi, satu hal yang kini mulai disadari dan menjadi diskursus menarik adalah buzzer politik yang disebut turut dikerahkan dengan seolah memberikan dukungan, namun sejatinya bertujuan untuk mendiskreditkan lawan dengan karakteristik minor dan menyebalkan mereka.

Hal itu diistilahkan sebagai false flag operation atau operasi bendera palsu. Istilah “bendera palsu” berasal dari abad ke-16 sebagai ungkapan yang berarti pernyataan keliru yang disengaja atas kesetiaan seseorang. Ihwal yang menjadi latar belakang Perang Rusia-Swedia pada tahun 1788.

False flag dapat didefinisikan sebagai operasi tersembunyi yang dirancang untuk memperdaya. “Tipuan” ini menciptakan kesan bahwa kelompok tertentu dianggap bertanggung jawab atas suatu aktivitas dan menutupi aktor sesungguhnya yang seharusnya bertanggung jawab.

Dalam konteks Pemilu dan Pilpres 2024, interpretasi false flag muncul saat karakteristik menyebalkan buzzer Anies-Imin ditelaah oleh para netizen di X yang “sadar” dan mengkritisi buzzer itu sendiri.

Itu dikarenakan, perilaku buzzer so called pendukung Anies-Imin justru merusak citra paslon nomor urut 1 itu secara keseluruhan.

Sayangnya, ketika interpretasi ini mengemuka, muaranya adalah tuduhan tak berdasar yang sulit dibuktikan kebenarannya tanpa identifikasi forensik digital komprehensif.

Hakikat anonimitas yang sukar dibuktikan menjadikan false flag tampak begitu ideal diterapkan saat mengaktualisasikan strategi politik melalui para buzzer dalam dinamika maupun terlibat serta merespons intrik politik.

Baca juga :  Alus Nothing to Lose Pramono?

Tuduhan yang mengemuka dari false flag sebenarnya dapat dikatakan bersifat konspiratif dan infinit. Sesuatu yang kembali perlu dipahami lebih dalam.

bukan demokrasi tapi buzzer krasi

Tuduhan Tak Berujung

Ya, saat hadir dalam meja analisis dan interpretasi, tuduhan false flag yang dilakukan oleh aktivitas buzzer bisa dikatakan tak berujung.

Dalam konteks sangkaan tak berujung false flag dalam fenomena buzzer politik di Pemilu dan Pilpres 2024, konsep infinite regress kiranya menjelaskan hal tersebut.

Infinite regress dapat diartikan sebagai suatu fenomena di mana serangkaian tindakan manipulatif dan penyebaran informasi palsu tidak memiliki akhir yang jelas.

Dalam skenario ini, bisa jadi ada serangkaian pihak atau kelompok yang terlibat dalam kegiatan tersebut, dan setiap langkah yang diambil hanya menjadi sebab bagi tindakan selanjutnya.

Misalnya, satu kelompok buzzer politik dapat memulai false flag untuk mempengaruhi opini publik terhadap kandidat tertentu. Namun, kelompok lain mungkin memanfaatkan kesempatan ini untuk melancarkan serangkaian tindakan serupa dengan maksud yang berbeda.

Proses ini kemudian dapat berlanjut tanpa batas, di mana setiap tindakan menjadi sebab bagi tindakan berikutnya, dan demikian seterusnya.

Dalam konteks ini, sulit untuk menentukan ujung atau sumber sebenarnya dari false flag operation tersebut.

Seperti konsep dasar infinite regress yang menyatakan bahwa realitas tidak memiliki ujung dan pangkal, serangkaian tindakan manipulatif dalam buzzer politik dapat terus berlanjut, dengan setiap pihak yang terlibat memiliki motif dan tujuan yang berbeda.

Hal ini dapat menciptakan kompleksitas yang sulit dipahami dan dipecahkan, karena sulit untuk mengidentifikasi sumber asli atau akar permasalahan.

Satu hal yang patut diwaspadai dan dicermati, dalam konteks politik, fenomena ini dapat menimbulkan ketidakpastian dan membingungkan masyarakat, serta merusak integritas proses demokratis.


Oleh karena itu, pemahaman konsep infinite regress dalam konteks false flag operationbuzzer politik dapat memberikan wawasan tentang kompleksitas merespons eksistensi buzzer dalam ruang demokrasi negeri +62. (J61)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Hati-Hati “Dinamit” Aceh

Pemerintah akhirnya memutuskan Aceh sebagai provinsi yang berhak atas wilayah 4 pulau yang sempat diperebutkan dengan Sumatera Utara.

Ini Rahasia Arsitektur Perang Dunia III? 

Sejumlah ahli mulai menilai bahwa konflik di Ukraina dan Timur Tengah mungkin bukan sekadar ketegangan regional biasa—bisa jadi itu tanda bahwa Perang Dunia III sudah dimulai diam-diam. Jika melihat sejarah, akumulasi konflik kecil bisa jadi pemicu bencana global besar. 

KL to Tehran: Mossad’s New Playground?

Saling balas rudal di antara Israel dan Iran menguak operasi Mossad di dalamnya. Dan menariknya, saat berbicara lembaga telik sandi negeri Ben Gurion, Malaysia juga kiranya tak bisa dilepaskan dari kausalitas. Mengapa demikian?

Politik Dua Kepala di Jakarta

Presiden Prabowo “mencari” Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung dalam forum ICI ketika berbicara tentang proyek Giant Sea Wall di perairan Jakarta – proyek yang...

Mahfud The Shadow Dissent Gibran?

Diskursus pemakzulan Gibran Rakabuming Raka agaknya diwarnai oleh interpretasi tajam dari seorang “hakim konstitusi bayangan” setelah Mahfud MD turun gunung dan bisa saja memiliki signifikansi dan pengaruh tersendiri. Mengapa demikian?

Political Mimicry: Dari Anies, Jokowi, Hingga Risma

Gaya komunikasi politik Jokowi, Anies, dan Risma, dianggap jadi acuan keunikan berpolitik di Indonesia. Mungkinkah mereka telah ciptakan sesuatu yang disebut: political mimicry?

Prabowo-SBY: Tomorrow’s Legacy

Di balik momen saling puji Prabowo dan SBY di Universitas Pertahanan, tersirat warisan besar dua jenderal: menjadikan pendidikan sebagai medan strategis. Kedisiplinan, nasionalisme, dan karakter menjadi jawaban mereka atas disrupsi generasi cemas dan krisis moral di era digital.

Blok ROJALIS: Magnet Pertahanan Baru?

Untuk pertama kalinya sejak Orde Baru, industri pertahanan Indonesia terlihat mulai berporos ke Prancis, Turki, dan Italia. Mungkinkah ini awal terbentuknya poros pertahanan baru yang bisa kita sebut: The Rojalis Block?

More Stories

KL to Tehran: Mossad’s New Playground?

Saling balas rudal di antara Israel dan Iran menguak operasi Mossad di dalamnya. Dan menariknya, saat berbicara lembaga telik sandi negeri Ben Gurion, Malaysia juga kiranya tak bisa dilepaskan dari kausalitas. Mengapa demikian?

Mahfud The Shadow Dissent Gibran?

Diskursus pemakzulan Gibran Rakabuming Raka agaknya diwarnai oleh interpretasi tajam dari seorang “hakim konstitusi bayangan” setelah Mahfud MD turun gunung dan bisa saja memiliki signifikansi dan pengaruh tersendiri. Mengapa demikian?

Prabowo-SBY: Tomorrow’s Legacy

Di balik momen saling puji Prabowo dan SBY di Universitas Pertahanan, tersirat warisan besar dua jenderal: menjadikan pendidikan sebagai medan strategis. Kedisiplinan, nasionalisme, dan karakter menjadi jawaban mereka atas disrupsi generasi cemas dan krisis moral di era digital.