Sama dengan Pilpres 2019, Muhaimin Iskandar atau Cak Imin kembali memasang baliho. Namanya bersanding dengan Ketua DPP PDIP Puan Maharani dan Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto. Namun, dengan fakta PKB merupakan partai tengah, sulit membayangkan Cak Imin dapat maju di 2024. Lantas, apa tujuan baliho-baliho tersebut?
“The whole world is run on bluff.” – Marcus Garvey, aktivis asal Jamaika
Apa Cak Imin balik modal? Begitu kira-kira pertanyaan publik terkait geliat baliho Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar alias Cak Imin pada Pilpres 2019 lalu. Saat itu, tebaran baliho menunjukkan bahwa Cak Imin siap menjadi wakil Joko Widodo (Jokowi) di gelaran Pilpres 2019.
Seperti yang kita ketahui, Cak Imin gagal mewujudkan ambisi tersebut. Menimbang modal politik (political capital) yang ada, pada dasarnya memang sulit membayangkan Cak Imin dapat maju di Pilpres 2019. Mengacu pada Presidential Threshold (PT), misalnya, perolehan suara PKB pada 2014 hanya 9,04 persen.
Bahkan menurut Greg Fealy dalam tulisannya Nahdlatul Ulama and the politics trap, Cak Imin disebut khawatir apakah PKB dapat lolos ke Senayan pada Pemilihan Legislatif (Pileg) 2014. Menurut Fealy, kekhawatiran tersebut membuat Cak Imin merancang dua strategi untuk mengamankan dukungan Nahdlatul Ulama (NU).
Pertama, Cak Imin “mengikat” NU dengan penyaluran dana dan aset. Seluruh anggota DPR PKB di tingkat nasional dan daerah diinstruksikan untuk memberikan dana bulanan kepada NU untuk keperluan administrasi.
Posisi kader PKB di legislatif juga digunakan untuk mendapatkan dana bagi program sosial dan keagamaan NU. PKB juga menjamin, jika partai dibubarkan, semua asetnya akan dilimpahkan ke NU.
Baca Juga: Cak Imin Buat PKB Jadi Golkar?
Kedua, Cak Imin merangkul pengusaha kaya untuk mendanai program pemilu di komunitas NU di daerah pemilihan PKB di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Fealy mencontohkan nama pemilik Lion Air, Rusdi Kirana, yang berhasil dibujuk masuk partai dan menjadi wakil ketua PKB.
Pemaparan Fealy tersebut menguatkan simpulan bahwa modal politik Cak Imin, baik perolehan suara maupun kapital, memang tidak mencukupi untuk maju sebagai kandidat Pilpres. Konteks ini membuat kita bertanya, mengapa baliho-baliho kemudian di pasang pada Pilpres 2019 kemarin?
Yang lebih menarik adalah, alih-alih belajar dari kegagalan maju di Pilpres 2019, mengapa saat ini Cak Imin kembali memasang baliho untuk Pilpres 2024? Bukankah itu membuang-buang anggaran?
Kalkulasi Tidak Rasional?
Jika kita bandingkan dengan nama-nama besar seperti Ketua DPP PDIP Puan Maharani dan Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto, nama Cak Imin jelas bukan lawan yang imbang. Mengacu pada PT 20 persen, PDIP dan Golkar jelas dapat menegakkan kepala.
Partai banteng memeroleh suara 19,33 persen pada 2019. Sementara partai beringin memeroleh 12,31 persen. Terkhusus PDIP, mereka hanya butuh tambahan suara kurang dari 1 persen untuk mengusung kandidat di 2024. Jika benar PDIP telah memilih Puan, majunya sang Ketua DPR jelas tinggal menunggu konsolidasi internal partai.
Selain perolehan suara yang besar, PDIP dan Golkar juga merupakan partai dengan kekuatan kapital yang besar. Ini menjadi vital karena gelaran Pilpres membutuhkan dana yang sangat besar. Berbagai pihak menyebut biayanya mencapai Rp 5-7 triliun.
Mengacu pada perolehan suara PKB pada 2019 yang hanya naik 0,65 persen, partai lebah jelas tidak bisa menegakkan kepala. Pun begitu dengan persoalan kapital.
Kendati beberapa waktu lalu beredar kabar tengah mendekati Menteri BUMN Erick Thohir dan pengusaha Garibaldi “Boy” Thohir, untuk saat ini PKB tidak dapat dikatakan sebagai partai dengan sokongan dana yang besar. Garibaldi Thohir juga telah menepis kabar tersebut.
Baca Juga: Cak Imin dan Partai Kak Boy
Kembali pada pertanyaan awal, dengan segala keterbatasan tersebut, mengapa Cak Imin tetap memasang baliho? Apakah sosok yang juga memperkenalkan diri sebagai Gus AMI atau Gus Muhaimin ini tengah melakukan kalkulasi tidak rasional?
Chris Mooney dalam tulisannya Science Confirms: Politics Wrecks Your Ability to Do Math, dengan mengutip studi dari Yale Law School, menyebut gairah politik dapat merusak keterampilan penalaran yang sangat mendasar.
Bahkan mereka yang sangat pandai dalam matematika, ditemukan telah gagal dalam menyelesaikan masalah yang seharusnya bisa diselesaikan karena bertentangan dengan keyakinan politiknya.
Lantas, apakah Cak Imin terjebak dalam persoalan tersebut? Apakah gairah politik telah membuatnya keliru dalam melakukan kalkulasi?
Politik Catur Cak Imin
Bagi mereka yang memahami baliho sebagai strategi untuk nyapres, tentu akan mengamini temuan Mooney. Ya, menimbang pada modal politik yang ada, secara matematis, Cak imin tidak mungkin maju sebagai kandidat di gelaran Pilpres. Namun, bagaimana jika baliho bukan sebagai strategi untuk nyapres?
Mengacu pada tulisan Greg Fealy, Cak Imin dengan jelas menunjukkan diri memiliki kalkulasi politik yang matang. Atas keganjilan ini, ada satu posibilitas yang mungkin, yakni political bluffing atau gertakan politik.
Indikasi kesimpulan ini tergambar dalam pernyataan Cak Imin pada 20 Agustus 2019. Saat itu, Ia menyebut bahwa Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri telah menegurnya karena memasang baliho. Ungkapnya, Mega yang telah dianggapnya sebagai “ibu” telah salah dalam memahami maksudnya.
Nah, bukankah itu menyiratkan bahwa tebaran baliho tidak dimaksudkan sebagai strategi nyapres?
Apa yang tengah dilakukan Cak Imin sejak Pilpres 2019 tampaknya adalah investasi saham. Sebagaimana diketahui, untuk mengusung kandidat, parpol harus memenuhi PT 20 persen, sehingga koalisi perlu dibentuk. Selain persoalan PT, koalisi juga bertujuan untuk membagi beban kerja, baik modal kampanye maupun SDM.
Sadar dirinya tidak mungkin dapat nyapres karena minim modal politik, Cak Imin kemudian memberi gertakan ke partai-partai lain. Jika ingin menggandeng PKB, maka harganya sepadan dengan modal keinginan nyapres.
Singkatnya, Cak Imin telah mendeklarasikan harga saham politiknya sejak awal. Jika ingin membeli saham tersebut, maka harganya sekian. Ini jelas merupakan langkah politik yang lihai. Dalam catur, langkah ini mungkin dapat disebut sebagai sham sacrifice.
Rudolf Spielmann dalam bukunya The Art of Sacrifice in Chess mendefinisikan sham sacrifice sebagai pengorbanan bidak dalam waktu tertentu, di mana nantinya pengorbanan tersebut menghasilkan keuntungan materil (memakan bidak musuh) yang setara atau lebih besar. Ini berbeda dengan real sacrifice, di mana pengorbanan yang dilakukan tidak mendapatkan kembali keuntungan materil.
Tebaran baliho adalah sham sacrifice Cak Imin. Keuntungan yang dituju adalah posisi tawar yang tinggi dalam koalisi.
Baca Juga: Operasi Intelijen di Balik Baliho Puan
Mengacu pada PKB yang mendapatkan tiga kursi menteri, sham sacrifice tersebut tampaknya sukses besar. Jatah PKB bahkan dapat disebut empat karena Menteri Perdagangan (Mendag) Muhammad Lutfi disebut sebagai kader partai lebah. Jumlah ini sama dengan PDIP sebagai partai pengusung utama Jokowi.
Selain jatah kursi, gertakan politik Cak Imin juga disebut-sebut berperan dalam terpilihnya Ma’ruf Amin sebagai wakil Jokowi di Pilpres 2019.
Jika benar tebaran baliho dimaksudkan sebagai gertakan politik, maka baliho yang terlihat saat ini merupakan usaha Cak Imin dalam mengulangi strategi yang telah terbukti berhasil.
Well, apa pun intrik di balik tebaran baliho Cak Imin, yang jelas sulit membayangkan tidak ada perhitungan yang matang di baliknya. Kita lihat saja. (R53)