HomeNalar PolitikAHY Hanyalah Mangsa Pertama?

AHY Hanyalah Mangsa Pertama?

KLB Partai Demokrat di Deli Serdang, Sumatera Utara resmi menobatkan Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko sebagai Ketua Umum Partai Demokrat. Mungkinkah pendongkelan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) hanyalah langkah awal untuk mempersiapkan karpet merah bagi kandidat tertentu di Pilpres 2024?


PinterPolitik.com

“Secara asasi, intelijen, selain dapat menolong untuk mengetahui apa yang tidak diketahui sebelumnya,… juga menyingkirkan rintangan atau hambatan sebelum suatu tujuan dilaksanakan” – Yohanes Wahyu Saronto dalam buku Intelijen: Teori Intelijen dan Pembangunan Jaringan

Samar dan permainan isu belaka. Itu mungkin yang berada di benak berbagai pihak ketika mendengar isu upaya kudeta Partai Demokrat pada awal Februari lalu. Namun seiring waktu, semuanya perlahan berubah dan menjadi kepastian.

Pada Jumat, 5 Maret, Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko resmi dinobatkan sebagai Ketua Umum Partai Demokrat dalam Kongres Luar Biasa (KLB) Partai Demokrat di Deli Serdang, Sumatera Utara. Ini yang disebut ngopi-ngopi berbuah ketua partai.

Kendati fenomena dualisme partai kerap terjadi di Indonesia, status Moeldoko yang merupakan pejabat pemerintah aktif membuat konteksnya menjadi sedikit berbeda. Tekanan ke pemerintah pun berdatangan. Pemerintah, khususnya Presiden Joko Widodo (Jokowi) dinilai harus bersikap, misalnya dengan memecat Moeldoko.       

Baca Juga: Benarkah Moeldoko Titisan Moertopo?

Terkait tekanan ini, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD telah memberi penegasan. Sama dengan sikap Presiden Megawati Soekarnoputri dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang tidak mengintervensi dualisme PKB, pemerintahan Jokowi juga akan bersikap demikian.

Terkhusus soal Moeldoko, Kepala KSP ini memperlihatkan gestur politik yang menarik pada hari Jumat kemarin. Ini bukan soal unggahannya yang sedang salat Jumat di ruang kerja, melainkan caption yang ditulis.

“Ruang kerja saya yang dulu merupakan ruang kerja Presiden ke dua RI, Bapak Soeharto, setiap Jumat disulap menjadi tempat Salat Jumat. Di masa pandemi, kami harus berinovasi untuk menjaga staf @kantorstafpresidenri tetap bisa beribadah dengan tetap menjaga protokol kesehatan,” begitu tulis Moeldoko.

Mungkin ada yang jeli memperhatikan, mengapa Moeldoko menyinggung Soeharto? Lebih menarik lagi, unggahan itu bertepatan dengan penunjukannya sebagai Ketua Umum Partai Demokrat.

Apakah unggahan itu menunjukkan gestur “politik Jawa” Moeldoko?

Politik Jawa Moeldoko?

Saat ini, Moeldoko berkantor di Bina Graha, gedung yang dibangun di era pemerintahan Soeharto dan menjadi ruang kerja The Smiling General. Terkait Bina Graha, ada komentar menarik dari pakar isu militer dan keamanan dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi.

Menurut Fahmi, pada zaman Soeharto, kata “Bina Graha” justru lebih ditakuti daripada “Istana”. Secara de facto, Bina Graha tampaknya adalah Istana yang sesungguhnya. Nah, secara de facto, Moeldoko tengah menempati gedung tersebut saat ini.

Baca juga :  Menyoal Kabinet Panoptikon ala Prabowo

Mengacu pada Benedict Anderson dalam bukunya Language and Power: Exploring Political Cultures in Indonesiacaption Moeldoko dapat kita pahami melalui konsep kekuatan ala Jawa atau politik Jawa. Dijelaskan, raja-raja Jawa selalu mengumpulkan pusaka dan orang-orang yang memiliki kekuatan di sekitar istana raja.

Penempatan tersebut dipercaya dapat memusatkan kekuatan pada sang raja. Raja Majapahit, Hayam Wuruk misalnya, disebut mampu memusatkan kekuatan Nusantara pada Majapahit karena sangat mengandalkan kekuatan Mahapatih Gajah Mada.

Baca Juga: Luhut dan Politik Jawa Jokowi

Jika benar Moeldoko menerapkan politik Jawa, mudah menyimpulkan bahwa caption unggahan tersebut bermakna bahwa Ia telah menempatkan pusaka di dekatnya, yakni Bina Graha yang dulunya menjadi kantor Soeharto.

Simpulan ini mungkin agak ganjal bagi mereka yang tidak begitu memahami politik Jawa. oleh karenanya, kita membutuhkan penjelasan VG Sri Rejek, dan kawan-kawan dalam artikel yang berjudul Nilai Kosmologi pada Tata Spasial Permukiman Desa Kapencar, Lereng Gunung Sindoro, Wonosobo.

Menurut mereka, masyarakat Jawa percaya pada kekuatan makrokosmos-mikrokosmos. Makrokosmos adalah alam semesta, dunia, atau yang disebut dengan Bhuana Agung. Sementara mikrokosmos adalah diri, rumah, atau pemukiman yang disebut dengan Bhuana Alit.

Bentuk rumah atau pemukiman selalu memiliki makna fungsi atau makna simbolis karena sebagai ekspresi penghormatan terhadap makrokosmos.

Nah, disinggungnya kantor Soeharto, tampaknya merupakan ekspresi Moeldoko atas kepercayaan makrokosmos-mikrokosmos dalam kepercayaan Jawa. Ini juga sejalan dengan tradisi masyarakat Jawa yang sangat menghormati mereka yang dinilai memiliki kekuatan atau keunggulan.

Di titik ini, kita mungkin telah memahami unggahan Moeldoko tersebut adalah indikasi dari ekspresi politik Jawa.

Namun, apabila kita membahas fenomena politik dalam skala yang lebih luas, apakah upaya pendongkelan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sebagai Ketua Umum Partai Demokrat adalah perang Moeldoko semata? Atau justru, Moeldoko hanyalah pucuk gunung es dari fenomena politik yang lebih luas?

Persiapan Karpet Merah?

Mengutip Andri Wang dalam buku The Art of War: Menelusuri Strategi dan Taktik Perang ala Sun Zi, dalam bab “Taktik Menyerang”, ada nasihat Sun Tzu yang begitu menarik. “Orang yang pandai berperang akan mampu mengalahkan musuh tanpa perang.” Begitu tulis Sun Tzu.

Dalam pembahasan modern, nasihat itu adalah pengejawantahan dari operasi intelijen. Ihwal itu misalnya ditulis oleh Yohanes Wahyu Saronto dalam bukunya Intelijen: Teori Intelijen dan Pembangunan Jaringan. Menurut mantan Direktur Intelijen Polri ini, Sun Tzu adalah peletak dasar-dasar ilmu intelijen.

Baca juga :  Betulkah Jokowi Melemah? 

Terkait nasihat Sun Tzu tersebut, mengacu pada Irawan Sukarno dalam bukunya Aku “Tiada” Aku Niscaya: Menyingkap Lapis Kabut Intelijen, itu yang disebut sebagai deteksi masalah, atau menyelesaikan masalah sebelum masalah tersebut eksis. Cara kerja ini yang membuat operasi intelijen dikenal sebagai operasi senyap.

Dalam konteks perebutan kekuasaan politik, nasihat Sun Tzu tersebut dapat kita lihat dalam strategi Putra Mahkota Mohammed bin Salman (MBS) sejak 2015 lalu. Untuk memuluskan langkahnya menjadi Raja Arab Saudi, MBS disebut membungkam dan menyingkirkan pesaing dan lawan politiknya.

Dua yang paling fenomenal adalah penahanan Pangeran Ahmed bin Abdul Aziz dan Pangeran Mohammed bin Nayef. Keduanya ditahan untuk diinterogasi karena diduga telah melakukan pengkhianatan. Menariknya, Raja Salman bin Abdulaziz juga disebut ikut membantu melicinkan langkah anaknya tersebut.

Jika kita meluaskan lanskap politik dalam memandang Pilpres 2024, ada kemungkinan terdapat pihak yang sedang menggunakan nasihat Sun Tzu dan strategi MBS, di mana kandidat-kandidat yang berpotensi maju di Pilpres 2024 akan “dihancurkan” sedari dini. Ini adalah upaya dalam menyiapkan karpet merah bagi kandidat tertentu.

Baca Juga: Safari Airlangga Sinyal Tiga Poros di 2024?

Lalu, kenapa AHY menjadi target awal? Sederhana, karena alumnus Universitas Harvard ini merupakan target yang dinilai cukup mudah. Ini misalnya tergambar dalam analisis Direktur Eksekutif Indo Barometer, Muhammad Qodari. Menurut Qodari, terdapat keraguan dari sebagian kader Partai Demokrat terkait kemampuan AHY dalam mendongkrak suara partai.

Katakanlah nantinya AHY benar-benar tergusur, besar kemungkinan sosok-sosok potensial lain yang kemudian akan diserang. Sebut saja Gubernur Jawa Tengah (Jateng) Ganjar Pranowo yang bisa diserang menggunakan isu korupsi proyek e-KTP. Pada 2018, Setya Novanto pernah menyebut Ganjar menerima uang sebesar US$ 500 ribu dari proyek tersebut.

Jika benar strategi menyiapkan karpet merah tengah dilakukan saat ini, kita dapat melihat dalangnya pada sosok yang tidak begitu diserang dalam satu atau dua tahun ke depan. Namun, jika mengacu pada nasihat Sun Tzu bahwa perang adalah tipu muslihat, ada kemungkinan sosok tersebut juga akan diserang sebagai strategi kamuflase.

Well, pada akhirnya, analisis ini hanyalah interpretasi semata. Kita lihat saja, apakah usaha kudeta Partai Demokrat adalah murni politik Jawa Moeldoko, atau justru merupakan bagian dari agenda besar dalam menyiapkan kandidat untuk Pilpres 2024. Mari kita amati perkembangannya. (R53)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Prabowo dan Prelude Gerindra Empire?

Partai Gerindra di bawah komando Prabowo Subianto seolah sukses menguasai Pulau Jawa setelah tiga “mahapatih” mereka, yakni Andra Soni, Dedi Mulyadi, serta Ahmad Luthfi hampir dapat dipastikan menaklukkan Pilkada 2024 sebagai gubernur. Hal ini bisa saja menjadi permulaan kekuasaan lebih luas di Jawadwipa. Mengapa demikian?

Kejatuhan Golkar di Era Bahlil?

Dengan kekalahan Ridwan Kamil dan Airin Rachmi Diany di Pilkada Serentak 2024. Mungkinkah Golkar akan semakin jatuh di bawah Bahlil Lahadalia?

Ridwan Kamil “Ditelantarkan” KIM Plus? 

Hasil tidak memuaskan yang diperoleh pasangan Ridwan Kamil-Suswono (RIDO) dalam versi quick count Pemilihan Gubernur Jakarta 2024 (Pilgub Jakarta 2024) menjadi pertanyaan besar. Mengapa calon yang didukung koalisi besar tidak tampil dominan? 

Prabowo dan Filosofi Magikarp ala Pokémon

Pemerintahan Prabowo Subianto siapkan sejumlah strategi untuk tingkatkan investasi dan SDM. Mungkinkah Prabowo siap untuk “lompat katak”?

Belah PDIP, Anies Tersandera Sendiri?

Endorse politik Anies Baswedan di Pilgub Jakarta 2024 kepada kandidat PDIP, yakni Pramono Anung-Rano Karno justru dinilai bagai pedang bermata dua yang merugikan reputasinya sendiri dan PDIP di sisi lain. Mengapa demikian?

Kok Megawati Gak Turun Gunung?

Ketua Umum (Ketum) PDIP, Megawati Soekarnoputri hingga kini belum terlihat ikut langsung dalam kampanye Pilkada. Kira-kira apa alasannya? 

Berani Prabowo Buka Pandora Papers Airlangga?

Ramai-ramai bicara soal kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen yang disertai dengan protes di media sosial, tiba-tiba juga ramai pula banyak akun men-share kembali kasus lama soal nama dua pejabat publik – Airlangga Hartarto dan Luhut Pandjaitan – yang di tahun 2021 lalu disebut dalam Pandora Papers.

“Sekolam” Ahok, Kesaktian Anies Luntur?

Keputusan Anies Baswedan meng-endorse Pramono Anung-Rano Karno di Pilkada Jakarta 2024 memantik interpretasi akan implikasi politiknya. Utamanya karena Anies pada akhirnya satu gerbong dengan eks rivalnya di 2017 yakni Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan PDIP serta tendensi politik dinasti di dalamnya, termasuk yang terjadi pada Pramono.

More Stories

Ganjar Kena Karma Kritik Jokowi?

Dalam survei terbaru Indonesia Political Opinion, elektabilitas Ganjar-Mahfud justru menempati posisi ketiga. Apakah itu karma Ganjar karena mengkritik Jokowi? PinterPolitik.com Pada awalnya Ganjar Pranowo digadang-gadang sebagai...

Anies-Muhaimin Terjebak Ilusi Kampanye?

Di hampir semua rilis survei, duet Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar selalu menempati posisi ketiga. Menanggapi survei yang ada, Anies dan Muhaimin merespons optimis...

Kenapa Jokowi Belum Copot Budi Gunawan?

Hubungan dekat Budi Gunawan (BG) dengan Megawati Soekarnoputri disinyalir menjadi alasan kuatnya isu pencopotan BG sebagai Kepala BIN. Lantas, kenapa sampai sekarang Presiden Jokowi...