HomeNalar PolitikMungkinkah Putin Diajak Berunding?

Mungkinkah Putin Diajak Berunding?

Dunia mengecam agresi militer yang dilakukan Presiden Vladimir Putin pada Ukraina. Banyak negara berharap Rusia terbuka untuk perundingan. Sebagai bagian dari harapan adanya perdamaian, sejumlah pengamat memotivasi Presiden Jokowi untuk turut berkontribusi dalam menciptakan perdamaian. Mungkinkah Putin mendengar ajakan dunia? 


PinterPolitik.com 

Perhatian dunia saat ini sedang tertuju pada suatu negara yang terletak di wilayah Eropa Timur, tidak lain, yakni Ukraina. Pada tanggal 24 Februari 2022 kemarin, negara terbesar kedua di Benua Eropa tersebut secara resmi telah menjadi target operasi militer Rusia. Presiden Vladimir Putin dengan tegas mengatakan bahwa siapapun yang berani memberi ancaman pada apa yang dilakukan Rusia pada Ukraina, mereka akan menghadapi konsekuensi berat. 

Ya, meski tidak eksplisit mengatakan bahwa ini adalah deklarasi perang, semua orang sadar bahwa Putin telah membunyikan genderang perang pertama di tahun 2022 ini. Sejumlah agresi yang dilakukan Rusia telah diarahkan pada instansi-instansi militer dan fasilitas krusial strategis di Ukraina. Oleh karena itu, sepertinya hanya tinggal menghitung hari hingga pasukan darat Rusia berjalan ke jantung pemerintahan Ukraina. 

Tentu, agresi militer ini mengundang respons dari para kepala negara dunia untuk mendorong Rusia agar dapat sesegera mungkin memulihkan perdamaian, tidak terkecuali, Indonesia. Melalui akun Twitternya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah mengunggah cuitan yang isinya adalah himbauan bahwa perang akan menyengsarakan umat manusia dan membahayakan dunia.  

Beberapa hari sebelumnya, Jokowi juga sempat mengunggah cuitan lain yang menegaskan rivalitas dan ketegangan di Ukraina harus dihentikan sesegera mungkin. Respons-respons yang ditunjukkan Jokowi terhadap konflik Ukraina telah memancing pendapat dari sejumlah pengamat tentang probabilitas peran Indonesia sebagai pencipta perdamaian. 

Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI), Hikmahanto Juwana, contohnya, mendorong Indonesia untuk berperan dalam menengahi konflik antara Rusia dan Ukraina. Menurutnya, sebagai Presiden G20, Indonesia memiliki kewajiban konstitusional untuk turut dalam ketertiban dunia. 

Ia pun menyarankan agar Jokowi mengutus Menteri Luar Negeri (Menlu) Retno Marsudi agar melakukan diplomasi ulang alik atau shuttle diplomacy, dengan melalukan pembicaraan ke berbagai pihak, seperti ke Majelis Umum dan Sekretaris Jenderal PBB, Menlu Rusia, Menlu Ukraina, serta menlu dari negara-negara Eropa Barat dan Amerika Serikat (AS). 

Lantas, sebenarnya seberapa besar kemungkinan Putin akan menerima ajakan untuk berunding? 

Baca juga: Putin Menang, Eropa Bertekuk Lutut?

Akankah Mendengar? 

Untuk mengetahui jawaban dari pertanyaan di atas, kita sebelumnya perlu mendapatkan logika untuk memahami alasan negara bisa menyatakan perang.  

James Joll dalam bukunya The Origins of the First World War, menyampaikan argumen yang cukup terkenal di kalangan pengamat internasional, yaitu biaya ekonomi yang begitu besar akan mencegah terjadinya peperangan. Sehingga, tidak ada negara yang bisa berharap untuk mendapatkan keuntungan dengan memulai perang yang konsekuensinya akan sangat merusak. 

Baca juga :  Tiongkok Kolonisasi Bulan, Indonesia Hancur? 

Namun, Norman Angell dalam buku The Great Illusion, membenahi argumen Joll. Ia mengatakan bahwa perang, khususnya di tanah Eropa, meskipun kecil kemungkinannya, akan tetap sangat mungkin terjadi. Namun jika memang suatu perang harus terjadi, maka Angell memastikan perang tersebut tidak akan bertahan lama.  

Angell berpendapat bahwa ketergantungan ekonomi, meski tidak selalu mampu menjadi pencegah perang, akan menjadi jaminan untuk menjaga agar perang tidak berlangsung terlalu lama. Jika ada suatu negara penakluk mengokupasi properti di wilayah yang direbutnya, kapabilitas penduduk lokal untuk berproduksi akan dilemahkan, dan wilayah yang ditaklukkan menjadi tidak berharga. Dengan demikian, kekuatan penakluk harus meninggalkan properti di tangan penduduk lokal, di saat yang bersamaan dengan sambil mengeluarkan biaya operasi militer. 

Pendapat Angell selaras dengan apa yang disampaikan oleh pengamat pertahanan Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi. Menanggapi kekhawatiran tentang eskalasi konflik Ukraina, Fahmi menilai bahwa sejatinya tidak ada negara yang benar-benar ingin berperang. Bahkan untuk negara yang berwatak ekspansionis sekalipun, seperti Rusia, apalagi dalam durasi yang panjang.  

Apa yang dilakukan Rusia adalah murni perwujudan dari kepentingan nasionalnya dalam mengartikan Ukraina sebagai negara yang “diciptakan” oleh Rusia. Lebih lanjutnya, Fahmi mengatakan bahwa jika Rusia tak bisa menuntaskan penaklukannya dalam waktu singkat, maka pada akhirnya mereka kemungkinan besar akan tertarik untuk kembali ke meja perundingan.  

Hal ini karena perang atau konflik terbuka dengan pengerahan kekuatan militer selalu diposisikan sebagai aksi pamungkas. Ia hanya terjadi ketika kekuatan salah satu negara yang saling berhadapan sudah melemah secara signifikan. Atau sebaliknya, gelar kekuatan militer menjadi perangkat paksa yang efektif untuk membawa kembali upaya penyelesaian konflik ke meja perundingan setelah kebuntuan politik sebelumnya. 

Di sisi lain, partisipasi langsung NATO yang selama ini dinanti-nanti orang, baru akan mungkin terjadi jika Rusia ternyata tak bergeming dari kecaman, namun tak mampu juga untuk sesegera mungkin menundukkan Ukraina. Atau sebaliknya, jika ekspansi Rusia itu dinilai sangat mungkin meluas sehingga mengancam dominasi NATO terutama AS, dan berpotensi mengubah konstelasi global yang merugikan mereka. 

Berdasarkan argumen-argumen yang disampaikan, bisa kita simpulkan bahwa meski Rusia memiliki komitmen yang kuat untuk memantapkan pengaruhnya di Ukraina, besar dugaannya pada akhirnya mereka akan terbuka untuk dialog. Karena sekuat apapun kekuatan militer Rusia, mereka juga pasti telah melakukan perhitungan yang sedemikian detilnya agar konflik Ukraina tidak berkembang menjadi api yang terlalu sulit untuk dipadamkan. 

Lantas, jika memang ada kesempatan untuk berunding dengan Rusia, dapatkah Indonesia mengambil peran? 

Baca juga: Rusia-Tiongkok Pemantik Perang Siber?

Angan-Angan yang Terlalu Jauh? 

Meski harapan dan dorongan yang disampaikan oleh Hikmahanto Juwana pada Indonesia, seperti yang sudah disampaikan di bagian awal tulisan, adalah hal yang mulia, kita pun harus melihat kenyataan bahwa sulit untuk dipercaya Jokowi dapat menjadikan Indonesia sebagai agregator perdamaian antara Ukraina dan Rusia. 

Baca juga :  Puan Maharani 'Reborn'?

Mohamad Rosyidin, pengamat hubungan internasional dari Universitas Diponegoro dalam artikelnya Gaya Diplomasi Jokowi dan Arah Politik Luar Negeri RI, menilai bahwa dari rentetan sejarah keterlibatan Jokowi di forum multilateral sejak menjadi Presiden pada 2014 lalu, di mana Jokowi sering tidak hadir di sejumlah pertemuan PBB, bisa dinilai bahwa sang Presiden memiliki kepribadian yang tidak menyukai forum-forum multilateral. 

Rosyidin menyebut, kontras dengan pendahulu-pendahulunya, Jokowi tidak berminat pada isu-isu internasional. Padahal, dalam kajian analisis kebijakan luar negeri, faktor kepribadian pemimpin sangat berpengaruh terhadap perilaku negara di level internasional.  

Margaret G. Hermann dalam tulisannya Explaining Foreign Policy Behavior Using the Personal Characteristics of Political Leaders, menjelaskan bahwa karakter kepribadian pemimpin, termasuk keyakinan, motif, dan gaya kepemimpinan dalam mengambil keputusan, memainkan peran krusial di balik perilaku negara. Dengan demikian, jika suatu negara diharapkan bisa berperan lebih dalam perdamaian dunia, maka kita pun sebelumnya perlu berkaca pada karakter pemimpinnya, apakah mereka merasa perlu untuk bersikap demikian? 

Lebih lanjut, Rosyidin juga menilai, Jokowi adalah termasuk politisi yang berpandangan pragmatis. Latar belakangnya sebagai pengusaha membentuk pola pikir yang cenderung berorientasi pada pertimbangan untung-rugi. Baginya, kebijakan luar negeri harus menguntungkan Indonesia. Jika tidak memiliki dampak langsung pada Indonesia, maka besar kemungkinannya suatu isu internasional hanya akan ditanggapi secara normatif saja. 

Di sisi lain, selain faktor kepribadian, barangkali Jokowi juga berpikir tidak ingin mempersulit keadaan negara dengan melibatkan diri di konflik yang sulit untuk diselesaikan. Pandangan ini selaras dengan apa yang disampaikan oleh ahli militer Tiongkok kuno, Sun Tzu, dalam bukunya Art of War, yang mengatakan: “jika suatu pertempuran berpotensi menguntungkan Anda, maka buatlah langkah maju, namun jika tidak, tetaplah diam di tempat.” 

Dan jika melihat dari aspek untung-ruginya, mungkin sesungguhnya ini juga adalah langkah yang tepat untuk dilakukan Indonesia. Daripada merepotkan diri membuang waktu dan tenaga para diplomat untuk berjuang di pertarungan politik para raksasa militer, akan lebih baik bila Indonesia tetap fokus pada permasalahannya sendiri. Saat ini, kita masih perlu berhadapan dengan situasi pemulihan pandemi Covid-19, maka, segala aspek luar negeri yang perlu dilakukan Indonesia perlu bertimbal balik pada kekhawatiran tersebut. 

Pada akhirnya, meski Indonesia tidak bisa berperan langsung, masih ada harapan bagi negara-negara yang berpotensi terkena dampak langsung oleh konflik Ukraina, seperti Prancis dan NATO, untuk berunding dengan Putin. Tetapi, kembali lagi, itu semua perlu dilakukan dalam konteks agar konflik tidak perlu menyebar, dan pihak perunding bisa rela mengorbankan sebagian status quo-nya demi menciptakan perdamaian di Eropa Timur. (D74) 

Baca juga: KTT Demokrasi AS, Pemicu Perang?

spot_imgspot_img

#Trending Article

Selama Masih Megawati, PDIP Pasti Oposisi?

Sinyal kuat bergabungnya Partai NasDem dan PKB, ditambah keinginan PKS untuk pula merapat ke koalisi Prabowo-Gibran, membuat Megawati Soekarnoputri dan PDIP dinilai akan mengambil sikap teguh nan luhur sebagai penyeimbang pemerintah. Namun, pada praktiknya, itu akan berjalan setengah hati. Benarkah demikian?

Strategi Erick Thohir Menangkan Timnas?

Timnas U-23 lolos ke babak semifinal di Piala Asia U-23 2024. Mungkinkah ini semua berkat Ketum PSSI Erick Thohir? Mengapa ini juga bisa politis?

Iran Punya Koda Troya di Bahrain? 

Iran sering dipandang sebagai negara yang memiliki banyak proksi di kawasan Timur Tengah. Mungkinkah Bahrain jadi salah satunya? 

“Sepelekan” Anies, PKS Pura-Pura Kuat?

Telah dua kali menyatakan enggan mengusung Anies Baswedan di Pilkada Jakarta 2024, PKS kiranya sedang mempraktikkan strategi politik tertentu agar daya tawarnya meningkat. Namun di sisi lain, strategi itu juga bisa saja menjadi bumerang. Mengapa demikian?

Gibran, Wapres Paling Meme?

Usai MK bacakan putusan sengketa Pilpres 2024, Gibran Rakabuming Raka, unggah fotonya sendiri dengan sound berjudul “Ahhhhhh”.

The Battle of Javanesia 2: Proxy War Jokowi vs Prabowo di Pilkada 2024

Pilkada serentak 2024 akan jadi panggung pertaruhan partai politik dan elite nasional untuk menentukan siapa yang jejaring kekuasaannya mampu merambah hingga ke level terbawah.

Triad, Grup Mafia Penguasa Asia?

Kelompok mafia tidak hanya ada di negara-negara Barat, di Asia, sebuah kelompok yang disebut Triad kerap disamakan dengan mafia-mafia ala Italia. Bagaimana sejarahnya?

Manuver Mardiono, PPP “Degradasi” Selamanya?

Kendati belakangan berusaha tetap membawa PPP eksis di kancah perpolitikan nasional dengan gestur merapat ke koalisi Prabowo-Gibran, Muhamad Mardiono agaknya tetap akan cukup sulit membawa PPP bangkit jika tak membawa perubahan signifikan. Mengapa demikian?

More Stories

Iran Punya Koda Troya di Bahrain? 

Iran sering dipandang sebagai negara yang memiliki banyak proksi di kawasan Timur Tengah. Mungkinkah Bahrain jadi salah satunya? 

Triad, Grup Mafia Penguasa Asia?

Kelompok mafia tidak hanya ada di negara-negara Barat, di Asia, sebuah kelompok yang disebut Triad kerap disamakan dengan mafia-mafia ala Italia. Bagaimana sejarahnya?

Sembako Siap Melambung Akibat Iran? 

erang Iran-Israel diprediksi akan berdampak besar pada ekonomi Indonesia. Mengapa demikian?