HomeNalar PolitikLuhut dan Mimpi ala Tiongkok

Luhut dan Mimpi ala Tiongkok

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan sebut bahwa dirinya memiliki mimpi besar terkait masa depan Indonesia. Bagaimanakah mimpi ini diterjemahkan dalam arah kebijakan dan politik pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)?


PinterPolitik.com

“Mimpi adalah kunci untuk kita menaklukkan dunia” – Nidji, grup band asal Indonesia

Siapa yang tidak pernah nonton film Laskar Pelangi (2008) yang disutradarai oleh Riri Riza? Film Indonesia satu ini sampai menjadi populer di banyak negara. Berbagai festival film juga menayangkan film tersebut.

Film yang didasarkan pada novel dengan judul yang sama ini mengisahkan sekelompok anak Belitung yang mengenyam pendidikan di sebuah sekolah kecil. Bahkan, sebagian dari mereka harus berjuang guna berangkat menuju sekolah.

Mungkin, bisa dibilang, kehidupan mereka tidak seperti yang diimpikan oleh banyak orang. Namun, banyak pihak menilai film itu mengajari kita untuk terus berjuang dan bermimpi akan masa depan yang lebih baik.

Tidak hanya film tersebut, pesan yang senada juga diungkapkan dalam film lanjutannya yang berjudul Sang Pemimpi (2009). Film tersebut mengisahkan anak-anak yang sama ketika mengenyam pendidikan di tingkat lebih lanjut.

Boleh jadi, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan pernah menonton dua film tersebut. Pasalnya, mantan Kepala Staf Kepresidenan tersebut menyebutkan bahwa dirinya memiliki mimpi besar terhadap masa depan Indonesia.

Dalam sebuah wawancara yang dilakukan oleh John McBeth dari Asia Times, Luhut menyatakan bahwa Indonesia suatu hari nanti akan menjadi negara yang kuat dan kaya. Tulisan tersebut juga menyebutkan sejumlah upaya Menko Marves untuk menggapai mimpi tersebut.

Beberapa di antaranya adalah dengan mendorong pembangunan smelter yang mengolah bijih nikel. Pemerintah Indonesia memang dinilai tengah berusaha membatasi ekspor bijih nikel mentah – dengan menerapkan sejumlah larangan ekspor mineral mentah.

Selain itu, Luhut juga disebut tengah mendorong pembangunan industri mobil listrik dan pembangkit listrik. Beberapa investasi proyek juga dikabarkan telah disepakati dengan berbagai perusahaan dari sejumlah negara, seperti Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dan Korea Selatan (Korsel).

Meski begitu, bukan tidak mungkin, mimpi yang diungkapkan Luhut untuk Indonesia ini memiliki pengaruh terhadap arah kebijakan dan politik pemerintahan Joko Widodo (Jokowi). Lantas, bagaimana mimpi Luhut dapat berdampak pada Indonesia? Kemudian, bagaimana caranya pemerintah mewujudkan mimpi tersebut?

American Dream

Setiap orang pasti memiliki mimpi, entah itu rakyat biasa atau pejabat pemerintahan. Namun, mimpi juga dapat menjadi komponen penting dalam kehidupan, termasuk dalam kehidupan politik dalam berbangsa dan bernegara.

Mimpi akan kesuksesan dan kemajuan di masa depan seperti ini bisa kita amati di Amerika Serikat (AS). Negara adidaya ini kerap dikenal sebagai tanah kebebasan bagi siapa saja yang memiliki mimpi.

Terdapat sebuah istilah yang kerap digunakan untuk menggambarkan bagaimana mimpi dijunjung tinggi di AS. Istilah tersebut dikenal sebagai “American Dream”.

Pada umumnya, mimpi ala AS ini menekankan pada pemahaman bahwa negara Paman Sam merupakan tempat di mana kesempatan yang setara melimpah bagi siapa saja yang mau meraihnya. Kesuksesan personal disebut dapat digapai dengan usaha dan kemauan yang keras.

Baca juga :  Singapura 'Ngeri-ngeri Sedap' ke Prabowo?

Setidaknya, pemahaman itulah yang diungkapkan oleh Mark Robert Rank, Thomas A. Hirschl, dan Kirk A. Foster dalam buku mereka yang berjudul Chasing the American Dream. Mimpi ala AS ini menekankan pada konsep petualangan (journey) atas suatu negara maupun kehidupan seseorang.

Konsep mimpi ala AS ini juga sebenarnya berakar dari identitas kebangsaan yang ditanamkan oleh pemikir-pemikir AS di masa lampau. Salah satunya adalah James Truslow Adams yang menjadi pencetus istilah tersebut pada tahun 1931.

Adams menempatkan konsep ini sebagai nilai yang sentral terhadap identitas nasional AS. Nilai kebebasan yang dibawa oleh American Dream setidaknya membedakan negara Paman Sam dengan peradaban-peradaban lainnya.

Mimpi ala AS ini dianggap membebaskan masyarakat AS dari belenggu dan hambatan guna memenuhi mimpi dan keinginan personal masing-masing – entah dari kelompok atau kelas mana pun. Mimpi American Dream ini juga masih diyakini di masa kontemporer.

Mantan Presiden AS Barack Obama, misalnya, menuangkan konsep mimpi ala AS ini dalam bukunya yang berjudul The Audacity of Hope. Menurut Obama, American Dream menjadi dasar bagi kehebatan AS, yakni kesetaraan kesempatan bagi siapa saja.

Selain itu, American Dream dianggap juga memiliki kontribusi bagi perkembangan ekonomi AS. Hal ini terlihat dari bagaimana ledakan ekonomi terjadi di negara tersebut, khususnya sebelum tahun 1970-an.

Presiden AS Dwight D. Eisenhower, misalnya, pada tahun 1958 menyebutkan American Dream sebagai gambaran atas kenyamanan kelas menengah, seperti memiliki rumah, memiliki dua mobil, hingga kecukupan pangan. Visi kesejahteraan kerap mengisi gambaran atas masyarakat AS.

Bila berkaca pada American Dream, bagaimana dengan mimpi Luhut akan kemajuan Indonesia di masa depan? Apakah mimpi sang Menko Marves mirip dengan mimpi ala AS tersebut?

Chinese Dream

Bila berkaca pada American Dream, bukan tidak mungkin Indonesia juga memiliki mimpi serupa. Lagi pula, banyak orang Indonesia yang ingin negara ini menjadi negara yang kaya dan kuat.

Namun, mimpi yang diungkapkan oleh Luhut dalam wawancaranya tersebut bukan sekali saja datang dari seorang pejabat atau pemimpin negara. Di negara lain, yakni Republik Rakyat Tiongkok (RRT), mimpi serupa juga pernah datang.

Mantan pemimpin tertinggi Tiongkok yang bernama Deng Xiaoping, misalnya, memiliki mimpi yang besar akan negaranya. Bahkan, mimpi ala Deng tersebut menjadi dasar bagi mimpi-mimpi ala Tiongkok yang dibawa oleh pemimpin-pemimpin penerusnya.

Sebenarnya, mimpi ala Tiongkok – biasa disebut Chinese Dream – dimiliki oleh setiap pemimpin negara tersebut. Presiden Tiongkok Xi Jinping, misalnya, juga menerapkan Chinese Dream dalam pemerintahannya.

Lantas, apa yang membuat mimpi Deng menjadi berbeda? Sebenarnya, apa mimpi yang dibawa oleh mantan pemimpin tertinggi Tiongkok tersebut?

Zheng Wang dari Seton Hall University dalam tulisannya yang berjudul The Chinese Dream From Mao to Xi menjelaskan bahwa setiap pemimpin tertinggi Tiongkok memiliki mimpinya masing-masing – mengingat ini sudah menjadi tradisi dalam Partai Komunis Tiongkok.

Mimpi politik seperti ini sebenarnya juga menjadi hal yang wajar. Ira Chernus dari University of Colorado, Boulder, dalam tulisannya yang berjudul Political Dreaming in the Twenty-First Century – dengan mengutip Sigmund Freud – menjelaskan bahwa mimpi merupakan perwujudan dari keinginan yang bisa berimplikasi pada dimensi politik.

Baca juga :  Mengapa Peradaban Islam Bisa Runtuh? 

Mimpi merupakan visi akan alam publik yang terbebaskan dari pembagian dan hambatan di dunia nyata. Bahkan, mimpi akan masa depan – menurut Chernus – dapat menjadi energi sendiri.

Namun, mimpi bisa membuat sang pemimpi melakukan berbagai cara untuk menggapai mimpinya. Hal ini terlihat dari bagaimana Deng menerapkan mimpinya.

Zheng dalam tulisannya menjelaskan bahwa Deng tidak lagi menjalankan mimpi ala Mao Tsetung – pemimpin sebelumnya yang menerapkan ideologi sosialisme dan komunisme sebagai tujuan utama. Deng lebih menekankan pada kebangkitan Tiongkok sebagai negara kuat dan kaya (zhenxing zhonghua).

Penerapan mimpi Tiongkok ala Deng ini tidak lagi melibatkan unsur ideologi, melainkan lebih menekankan pada praktikalitas (practicality). Pemerintahan negara Tirai Bambu tersebut alhasil meninggalkan keketatan ideologisnya dan menerapkan reformasi – berbeda dengan American Dream yang menekankan pada gagasan kebebasan.

Lantas, bagaimana dengan Indonesia? Apakah Luhut juga menerapkan mimpi ala Deng Xiaoping ini?

Indonesian Dream?

Boleh jadi, praktikalitas dan pragmatisme yang serupa juga diterapkan oleh pemerintahan Jokowi – beserta Luhut sebagai salah satu menteri yang paling berpengaruh. Hal ini terlihat dari bagaimana sang Menko Marves sangat mendorong masuknya investasi ke Indonesia guna membangun infrastruktur dan apa pun yang dibutuhkan – misalnya proyek-proyek smelter bijih mineral.

Pragmatisme seperti ini sebenarnya terlihat dari bagaimana Luhut menanggapi pertanyaan publik soal keterpihakannya pada investasi Tiongkok. Sang Menko Marves pernah mengatakan bahwa pinjaman murah menjadi alasan di balik masuknya beberapa investasi Tiongkok.

Selain itu, pragmatisme juga terlihat dari jalannya pemerintahan Jokowi. Ben Bland dalam buku barunya yang berjudul Man of Contradictions bahkan menyebutkan bahwa Presiden Jokowi lebih menekankan pada kebijakan yang menguntungkannya.

Mungkin, praktikalitas yang dibawa oleh Luhut dan Jokowi ini juga terlihat dari kebijakan dan sejumlah rancangan undang-undang (RUU) yang kontroversial. Salah satunya adalah RUU Cipta Lapangan Kerja – atau biasa dikenal sebagai Omnibus Law.

Meski mendapatkan penolakan dari banyak pihak, pemerintahan Jokowi dianggap melihat peraturan tersebut sebagai salah satu komponen penting dalam Jokowinomics – sebuah istilah yang menggambarkan developmentalisme yang digaungkan oleh pemerintahan Jokowi. Luhut pun bisa jadi mengambil peran penting dalam agenda ekonomi tersebut.

Jefferson Ng dari S. Rajaratnam School of International Studies (RSIS) dalam tulisannya yang berjudul Jokowi’s Macron Moment juga menjelaskan bahwa Luhut menjadi wajah bagi pendekatan pro-investasi dari pemerintahan Jokowi dengan bersikap ramah pada para investor.

Meski begitu, mimpi ala Luhut untuk Indonesia yang dijelaskan di atas belum tentu tergambar dengan benar. Pasalnya, sang Menko Marves sendiri lah yang benar-benar mengenal mimpinya sendiri.

Namun, yang jelas, mimpi yang diungkapkan Luhut setidaknya juga tercerminkan dalam sejumlah kebijakan yang dijalankan oleh pemerintahan Jokowi. Mari kita nantikan saja bagaimana kebijakan itu akhirnya berdampak pada kemajuan Indonesia di masa mendatang. (A43)

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Sangat Mungkin Jokowi & Anies Mendirikan Parpol?

Opsi mendirikan partai politik (parpol) menjadi relevan dan memiliki signifikansi tersendiri bagi karier politik Anies Baswedan dan Joko Widodo (Jokowi) pasca 2024. Akan tetapi, hal itu agaknya cukup mustahil untuk dilakukan saat berkaca pada kecenderungan situasi sosiopolitik saat ini.

Singapura ‘Ngeri-ngeri Sedap’ ke Prabowo?

Jokowi ajak Prabowo ketika bertemu PM Singapura Lee Hsien Loong dan deputinya, Lawrence Wong. Mungkinkah 'ngeri-ngeri sedap' ke Prabowo?

Anies Menuju Mendikbud Prabowo atau Gubernur Jakarta?

Pasca kalah di Pilpres 2024, banyak pertanyaan muncul terkait jabatan politik apa yang akan diduduki Anies Baswedan.

Anies Kalah Karena Tak Lawan Politik Identitas?

Pasangan Anies-Cak Imin harus mengakui keunggulan Prabowo-Gibran yang keluar sebagai pemenang Pilpres 2024. Di atas kertas, Anies yang secara track record dan citra publik begitu menjanjikan untuk jadi Presiden RI, nyatanya belum mampu meraih peruntungan di Pilpres kali ini. Pertanyaannya adalah mengapa demikian? Benarkah ini karena posisi Anies yang tak tegas melawan fabrikasi isu politik identitas yang kerap diarahkan padanya?

Benua Asia, Propaganda Terbesar Kolonialisme?

Benua Asia adalah benua terbesar dan terkaya di dunia. Namun, sebagai sebuah wilayah yang kerap dipandang homogen, Asia sebetulnya memiliki keberagaman yang begitu tinggi di antara kawasan-kawasannya sendiri. Mungkinkah lantas Benua Asia yang kita kenal bukanlah Benua Asia yang sesungguhnya?

Selama Masih Megawati, PDIP Pasti Oposisi?

Sinyal kuat bergabungnya Partai NasDem dan PKB, ditambah keinginan PKS untuk pula merapat ke koalisi Prabowo-Gibran, membuat Megawati Soekarnoputri dan PDIP dinilai akan mengambil sikap teguh nan luhur sebagai penyeimbang pemerintah. Namun, pada praktiknya, itu akan berjalan setengah hati. Benarkah demikian?

Strategi Erick Thohir Menangkan Timnas?

Timnas U-23 lolos ke babak semifinal di Piala Asia U-23 2024. Mungkinkah ini semua berkat Ketum PSSI Erick Thohir? Mengapa ini juga bisa politis?

Iran Punya Kuda Troya di Bahrain? 

Iran sering dipandang sebagai negara yang memiliki banyak proksi di kawasan Timur Tengah. Mungkinkah Bahrain jadi salah satunya? 

More Stories

Singapura ‘Ngeri-ngeri Sedap’ ke Prabowo?

Jokowi ajak Prabowo ketika bertemu PM Singapura Lee Hsien Loong dan deputinya, Lawrence Wong. Mungkinkah 'ngeri-ngeri sedap' ke Prabowo?

Strategi Erick Thohir Menangkan Timnas?

Timnas U-23 lolos ke babak semifinal di Piala Asia U-23 2024. Mungkinkah ini semua berkat Ketum PSSI Erick Thohir? Mengapa ini juga bisa politis?

Gibran, Wapres Paling Meme?

Usai MK bacakan putusan sengketa Pilpres 2024, Gibran Rakabuming Raka, unggah fotonya sendiri dengan sound berjudul “Ahhhhhh”.