HomeRuang PublikHambatan Potensi Hubungan Indonesia-AS

Hambatan Potensi Hubungan Indonesia-AS

Oleh: Joshua Kurlantzick, dosen senior the Council of Foreign Relations (CFR).

Sebagai negara adi daya, sebenarnya AS bisa mengupayakan perbaikan hubungan ekonomi yang lebih sederhana dengan Indonesia, agar perkembangannya dapat dicapai dalam beberapa tahun mendatang.


PinterPolitik.com

[dropcap]B[/dropcap]elakangan, hubungan antara Indonesia dengan Amerika Serikat (AS) masih terlihat kurang mampu memanfaatkan potensi yang ada. Padahal, Indonesia tak hanya dapat menjadi mitra keamanan penting bagi AS, tapi juga lokasi yang besar untuk melakukan investasi serta perdagangan di beberapa tahun mendatang.

Sebenarnya di awal tahun 2000-an dan di awal tahun 2010, Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) telah berupaya mengantarkan kerjasama bilateral yang lebih besar, termasuk peningkatan hubungan ekonomi dengan AS. Sayangnya, Washington dan Jakarta saat itu terlalu melebih-lebihkan kecepatan perkembangan hubungan tersebut.

Di balik berkembangnya hubungan strategis antara Indonesia dengan AS, sebenarnya masih ada ganjalan antara Angkatan Bersejata AS dengan militer Indonesia. Dibandingkan dengan hubungan militer yang terjalin dengan negara Asia Tenggara lain, hubungan militer AS dan Indonesia terlihat masih kurang komprehensif.

Begitu juga dalam kerjasama di bidang ekonomi yang menghasilkan kemajuan sangat terbatas, meski investasi AS di Indonesia mengalami kenaikan. Sampai saat ini, hambatan signifikan yang paling dirasakan tak hanya masalah ekonomi, tapi juga mengenai persoalan pelaksanaan hak asasi dan demokrasi.

Seperti diketahui, Presiden AS Donald J. Trump telah mengungkapkan keprihatinannya atas ketidakseimbangan perdagangan, terutama di sektor ekspor-impor. Akibatnya, saat ini Gedung Putih lebih memfokuskan perhatiannya pada apa yang dianggapnya sebagai hubungan perdagangan tak adil. Tudingan yang tentunya memicu kemarahan rakyat Indonesia.

Selain defisit perdagangan, Pemerintahan Trump terkesan kurang memberikan penekanan pada pelaksanaan demokrasi dan hak asasi manusia (HAM), sebagai komponen inti dari kebijakan luar negerinya. Di sisi lain, pengganti SBY yaitu Presiden Joko Widodo atau Jokowi juga kurang mendukung upaya promosi demokrasi di daerah dibandingkan SBY dulu.

Mempromosikan Hubungan Ekonomi Bilateral

Ketika nasionalisme ekonomi berkembang, baik di AS maupun di Indonesia sendiri, para elit politik di Jakarta atau di Washington seharusnya mencoba untuk menghentikan kemerosotan lebih lanjut yang terjadi pada hubungan ekonomi bilateral, terutama akibat adanya kebijakan pembatasan investasi baru di Indonesia atau kenaikan tarif impor AS atas produk ekspor Indonesia.

Pencegahan ini tak hanya untuk menghindari kemungkinan terburuk yang dapat terjadi, tapi juga membantu investasi AS di Indonesia dapat tumbuh besar lagi. Apalagi Gedung Putih telah menempatkan Indonesia dalam daftar awal negara-negara yang diyakini menyalahgunakan aturan perdagangan, tudingan yang membuat bingung para pejabat Indonesia.

Ketika Wakil Presiden AS, Mike Pence berkunjung ke Indonesia pada April 2017 lalu, pernyataan Trump tersebut sedikit diperlunak kepada Pemerintah Indonesia, dengan harapan akan mampu mendapatkan kemajuan yang signifikan dalam perdagangan bilateral. AS bahkan berjanji untuk terus memperluas pasarnya melalui liberalisasi perdagangan bilateral.

Pemerintah AS juga dikabarkan akan mencoba untuk menandatangani kesepakatan akan adanya perdagangan bebas bilateral dengan Indonesia, namun ini janji yang terkesan terlalu ambisius mengingat Gedung Putih tengah mempertimbangkan untuk mengubah, bahkan mengakhiri kesepakatan perdagangannya dengan Kanada, Meksiko, dan Korea Selatan.

Baca juga :  Paloh Merapat Jokowi, Anies Diajak?

Saat Trump melakukan kunjungan ke Asia pada November 2017 lalu pun, tak ada negara-negara Asia yang menyambut gagasan kesepakatan bilateral baru yang ditawarkan AS. Sehingga bila ingin mempertahankan momentum sederhana dalam hubungan ekonominya, Indonesia memang merupakan pilihan yang paling layak saat ini.

Langkah-langkah yang bisa dilakukan AS dan Indonesia untuk memperkuat hubungan perdagangan bilateral antara lain:

  • AS dan Indonesia seharusnya menegosiasikan perjanjian investasi bilateral demi mempertahankan hubungan ekonomi. Langkah ini jauh lebih sederhana daripada kesepakatan perdagangan bilateral, walau akan meningkatkan investasi AS. Besarnya investasi AS di Indonesia, akan memberi pengaruh yang lebih besar pada perusahaan AS terhadap Pemerintahan Jokowi. Peningkatan investasi juga membantu mengurangi nasionalisme ekonomi di Indonesia, Jokowi juga bisa mencanangkan investasi baru dan menghubungkannya dengan peningkatan infrastruktur dan lapangan pekerjaan.
  • Kedua pihak seharusnya memasukkan Departemen Perdagangan AS dalam dialog strategis, serta menggunakan diskusi untuk menyuarakan keprihatinan tentang neraca perdagangan bilateral. Dialog tersebut dapat membantu mencegah kemunduran dalam hubungan ekonomi.
  • Gedung Putih seharusnya menawarkan definisi publik yang lebih jelas terkait perilaku penyalahgunaan aturan perdagangan, daripada sekadar persoalan surplus perdagangan. Menteri Perdagangan AS, Wilbur Ross sendiri menyatakan akan menyelidiki “sejauhmana defisit perdagangan bilateral AS, apakah merupakan hasil kecurangan atau perilaku yang tak pantas lainnya”, namun tidak menjelaskan definisi dari kecurangan dan perilaku tak pantas tersebut.
  • AS dan Indonesia seharusnya mengadakan pertemuan tingkat tinggi di Jakarta yang melibatkan para pemimpin perusahaan multinasional yang berbasis di AS, bersama Jokowi dan pejabat tinggi Indonesia lainnya. KTT seperti ini, akan memberi peluang bagi Jokowi untuk mendiskusikan investasi baru dalam infrastruktur Indonesia, sebagai salah satu prioritas terbesarnya, bersama perusahaan-perusahaan asal AS.
  • Perusahaan AS juga dapat bekerjasama dengan perusahaan Australia maupun Jepang yang telah memiliki kedekatan dengan Indonesia, sehingga bisa mendapatkan penawaran yang kompetitif untuk proyek-proyek seperti pembangunan jalan, kereta api, pelabuhan, dan proyek infrastruktur lainnya yang sangat dibutuhkan Indonesia.

Tiga Tantangan Indonesia-AS

Mengingat berbagai hambatan yang ada, dapat ditarik kesimpulan kalau hubungan antara Indonesia dengan AS akan kecil kemungkinannya untuk dapat berkembang ke arah hubungan bilateral yang lebih komprehensif, seperti yang diharapkan sebelumnya. Ini terlihat dari bagaimana perkembangan hubungan yang terjalin sejak tahun 2000-an tersebut, tak sepenuhnya tercapai.

Alih-alih berupaya meraih sasaran yang kecil kemungkinan tercapai, seharusnya kedua negara menggunakan pendekatan yang lebih transaksional. Misalnya hubungan yang lebih difokuskan pada tiga tantangan keamanan bersama yang ada di depan mata, yaitu keagresifan Tiongkok di Laut Cina Selatan, upaya berdirinya Negara Islam, serta kasus pembajakan di Asia Tenggara.

Aksi Tiongkok di Laut Cina Selatan tak hanya dilihat AS sebagai tantangan dari supremasinya, tapi juga akan mampu menghambat akses Indonesia ke Perairan Laut Cina Selatan. Ancaman yang sama juga akan dirasakan kedua negara dengan diproklamirkannya ekspansi militan Negara Islam ke kawasan Asia Tenggara, serta maraknya kembali pembajakan di Perairan Asia Tenggara.

Tiga ancaman tersebut, sebenarnya dapat menjadi pendekatan praktis karena biasanya sektor keamanan akan mampu menarik perhatian kedua kepala negara sebab menyangkut kepentingan bersama. Isu ini juga sebenarnya dapat memperkuat Pemerintahan Trump, mengingat gerakan Negara Islam telah kehilangan sebagian besar wilayahnya di Timur Tengah.

Baca juga :  Evolusi Komunikasi Politik Negara +62 Edisi 2024

Para militansi yang melarikan diri dan sebagian besar berasal dari luar Timur Tengah, pada akhirnya membawa pulang pandangan mereka ke tanah airnya, atau mencari pangkalan baru di Asia Tenggara. Akibatnya, ancaman militansi Islam tersebut pun diduga akan semakin meningkat di Asia Tenggara dalam beberapa tahun mendatang.

Di saat yang sama, perselisihan akan adanya militerasi di Laut Cina Selatan juga kemungkinan akan semakin memanas.  Saat ini, baik Washington maupun Beijing telah memberikan isyarat adanya peningkatan agresivitas angkatan laut kedua negara adi daya tersebut. Di sinilah sebenarnya Indonesia bisa ikut berperan, yaitu dengan menjadi penengah ketegangan di antara keduanya.

Pererat Keamanan dan Hubungan Ekonomi

Walau Pemerintahan Jokowi telah menyatakan fokusnya pada permasalahan pembajakan dan kegiatan ilegal di wilayah maritimnya, namun baik Indonesia maupun negara Asia Tenggara lainnya terlihat masih mengalami kesulitan untuk mengatasi ancaman keamanan non tradisional ini. Peluang inilah yang seharusnya mampu dilengkapi oleh AS, melalui kekuatan militernya.

Atas alasan itulah, kerjasama bidang keamanan akan mampu meningkatkan hubungan strategis bilateral yang lebih substansial, termasuk dengan Australia dan lainnya. Hanya saja, peluang saling menguntungkan ini tidak mampu diraih kedua negara, mengingat baik Trump maupun Jokowi kurang memberikan penekanan pada kebijakan luar negeri yang berbasis nilai-nilai tersebut.

Bagi kedua kepala negara ini, kebijakan luar negerinya lebih terfokus pada nasionalisme ekonomi sehingga menghambat perkembangan hubungan ekonomi bilateral. Bila ini terus dilakukan, sangat kecil juga kemungkinan bagi Indonesia maupun AS untuk meningkatkan hubungan perdagangan secara dramatis dalam jangka pendek, di luar meningkatnya investasi AS di tanah air.

Kebijakan luar negeri terbatas yang dilakukan kedua negara, pada akhirnya juga akan menghambat promosi dan berjalannya demokrasi di Asia Tenggara – terutama di wilayah Indonesia. Padahal dengan peningkatan generasi muda di kedua negara, pemerintah dapat mengambil langkah-langkah untuk memastikan hubungan ekonomi Indonesia-AS tidak sampai memburuk.

Sebagai negara adi daya, sebenarnya AS bisa mengupayakan perbaikan hubungan ekonomi yang lebih sederhana dengan Indonesia, agar perkembangannya dapat dicapai dalam beberapa tahun mendatang. Idealnya, pencapaian tersebut terjadi sebelum Pemilihan Presiden Indonesia di tahun depan, maupun Pemilihan Presiden AS pada 2020 nanti.

Walau pendekatan sederhana ini akan membatasi kemajuan kerjasama yang dicapai, namun hal itu lebih baik daripada tidak memberikan hasil sama sekali. Setidaknya dengan adanya perkembangan kerjasama, potensi lain dari hubungan ekonomi juga akan mampu mengurangi hambatan pada perdagangan bilateral dan nasionalisme ekonomi yang agresif di kedua negara.

Diterjemahkan dari tulisan Joshua Kurlantzick berjudul Keeping the U.S.-Indonesia Relationship Moving Forward. Copyright © 2018 by the Council on Foreign Relations. Dipublikasikan ulang dengan persetujuan penulis.


“Disclaimer: Opini ini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.”
spot_imgspot_img

#Trending Article

Budi Gunawan Menuju Menteri Prabowo?

Dengarkan artikel ini: Nama Kepala BIN Budi Gunawan disebut-sebut sebagai salah satu kandidat calon menteri yang “dititipkan” Presiden Jokowi kepada Presiden Terpilih Prabowo Subianto. Hal...

Bukan Teruskan Jokowi, Prabowo Perlu Beda?

Presiden terpilih RI, Prabowo Subianto selalu sebut akan lanjutkan program-program Presiden Jokowi, Namun, haruskah demikian? Perlukah beda?

Mungkinkah Prabowo Tanpa Oposisi?

Peluang tak adanya oposisi dalam pemerintahan Prabowo-Gibran sangat terbuka.Ini karena beberapa partai yang awalnya menjadi lawan Prabowo-Gibran, kini sudah mulai terang-terangan menyatakan siap menjadi bagian dari pemerintahan.

Alasan Ketergantungan Minyak Bumi Sulit Dihilangkan

Bahan bakar minyak (BBM) terus dikritisi keberadaannya karena ciptakan berbagai masalah, seperti polusi udara. Tapi, apakah mungkin dunia melepaskan ketergantungannya pada BBM?

Ada Kongkalikong Antara Iran dan Israel?

Kendati diisukan akan jadi perang besar, konflik antara Iran dan Israel justru semakin mereda. Mengapa hal ini bisa terjadi? 

Sangat Mungkin Jokowi & Anies Mendirikan Parpol?

Opsi mendirikan partai politik (parpol) menjadi relevan dan memiliki signifikansi tersendiri bagi karier politik Anies Baswedan dan Joko Widodo (Jokowi) pasca 2024. Akan tetapi, hal itu agaknya cukup mustahil untuk dilakukan saat berkaca pada kecenderungan situasi sosiopolitik saat ini.

Singapura ‘Ngeri-ngeri Sedap’ ke Prabowo?

Jokowi ajak Prabowo ketika bertemu PM Singapura Lee Hsien Loong dan deputinya, Lawrence Wong. Mungkinkah 'ngeri-ngeri sedap' ke Prabowo?

Anies Menuju Mendikbud Prabowo atau Gubernur Jakarta?

Pasca kalah di Pilpres 2024, banyak pertanyaan muncul terkait jabatan politik apa yang akan diduduki Anies Baswedan.

More Stories

Evolusi Komunikasi Politik Negara +62 Edisi 2024

Oleh: Kiki Esa Perdana PinterPolitik.com Saat kecil, penulis beberapa kali datang ke lapangan, sengaja untuk melihat kampanye partai politik, bukan ingin mendengar visi misi atau program...

Partai vs Kandidat, Mana Terpenting Dalam Pilpres 2024?

Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) tampak cukup bersaing dengan tiga purnawirawan jenderal sebagai kandidat penerus Prabowo Subianto sebagai Menteri Pertahanan (Menhan). Namun, di balik ingar bingar prediksi iitu, analisis proyeksi jabatan strategis seperti siapa Menhan RI berikutnya kiranya “sia-sia” belaka. Mengapa demikian?

Mencari Rente Melalui Parte: Kepentingan “Strongmen” dalam Politik

Oleh: Noki Dwi Nugroho PinterPolitik.com Berbicara mengenai "preman", yang terbersit di benark sebagian besar orang mungkin adalah seseorang dengan badan besar yang erat dengan dunia kriminalitas....