HomeHeadlineSaatnya Tinggalkan Partai Islam Modern?

Saatnya Tinggalkan Partai Islam Modern?

Beberapa tahun ke belakang ini semakin banyak partai politik (parpol) Islam yang mendeklarasikan dirinya sebagai partai moderat. Apakah gerakan semacam ini akan menguntungkan di Pemilu 2024?

“Adaptasi bukanlah soal imitasi. Adaptasi adalah kekuatan untuk tetap melawan dan berasimilasi,” – Mahatma Gandhi


PinterPolitik.com

Semakin kita mendekati Pemilihan Umum (Pemilu) 2024, semakin kental pula perbincangan tentang politik identitas. Tentu, tanpa perlu bersikap munafik, politik identitas yang dimaksud di sini adalah terkait identitas agama.

Walaupun bisa dikatakan masyarakat kita sudah belajar banyak tentang dampak negatif penyalahgunaan identitas agama dalam politik, potensi polarisasi yang begitu kuat seperti ketika Pemilu 2019 tidak dipungkiri masih menghantui jagat politik Indonesia.

Dan karena hal seperti inilah, mungkin, sebagian besar partai politik (parpol) berbasis Islam di Indonesia seperti PKS, PKB, PBB, dan PAN, kini terlihat berusaha menjauhi stempel politik identitas pada partainya.

Yap, belakangan ini partai-partai Islam Indonesia semakin tampak seirama dalam mencitrakan dirinya sebagai partai Islam yang moderat. Dari sejumlah sorotan media, kita senantiasa bisa lihat sendiri partai-partai yang namanya disebutkan di atas tadi menyampaikan pada publik bahwa dirinya adalah wadah politik yang bisa menyalurkan aspirasi umat Muslim se-Indonesia tapi, di saat yang bersamaan, memiliki spektrum politik sentris dan menjunjung tinggi perbedaan.

“Kita ini adalah partai yang memilih jalan tengah,” kata Ketua Umum (Ketum) PBB, Yusril Ihza Mahendra, pada 2020 silam.

Selain dari faktor “trauma publik” itu, bergesernya sejumlah partai Islam ke aliran yang lebih moderat juga kerap dinilai karena gagasan partai Islam ternyata tidak laku di mata pemilih Islam.

Anggapan ini salah satunya disuarakan peneliti politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Lili Romli, dalam tulisannya Partai Islam dan Pemilih Partai Islam di Indonesia, yang mengungkapkan bahwa belajar dari pemilu-pemilu sebelumnya, pemilih Islam ternyata mayoritas lebih memilih partai nasionalis atau sekuler ketimbang partai Islam.

Karena hal itu, mungkin sebagian besar partai Islam Indonesia akhirnya berpikir ide partai Islam tradisional sudah tidak laku lagi dan melihat gagasan partai Islam moderat sebagai solusi modern.

Walau sekilas ini terkesan sebagai jawaban yang tepat, kita perlu tetap mempertanyakan, apakah memang benar konsep partai Islam yang modernis akan lebih sukses di 2024 nanti? Atau ini justru akan jadi semacam perangkap politik baru untuk mereka?

image 1

Partai Islam Indonesia Terjebak Post-Islamism?

Bagi yang memang senang dan sejalan dengan gagasan parpol Islam modern, bentuk partai yang seperti itu kerap dianggap sebagai solusi yang mungkin nyaris sempurna dalam menjawab permasalahan kebutuhan mengikuti zaman, sekaligus keperluan untuk tetap bisa mengayomi umat Muslim.

Namun, fenomena semakin banyaknya parpol Islam yang beralih ke spektrum moderat sesungguhnya menyimpan latar belakang politis dan filosofis yang sangat menarik untuk dibahas.

Baca juga :  Puan x Prabowo: Operasi Rahasia Singkirkan Pengaruh Jokowi?

Pengamat politik dan sekularisme, Olivier Roy dalam bukunya The Failure of Political Islam, sudah memprediksi bahwa sebagian besar parpol dari negara-negara Islam di masa depan akan beralih ke aliran sentris, yang kerap disebut lebih modernis. Namun, Roy melihat hal tersebut sebenarnya bukanlah terobosan yang solutif, melainkan justru jadi pertanda bahwa parpol Islam yang melakukannya selama ini telah gagal membawa ide-ide fundamental agama menjadi sebuah gerakan politik.

Apa yang disebutkan Roy ini seringnya disebut sebagai fenomena post-Islamism, yakni sebuah pandangan politik yang ingin memisahkan diri dari politik Islamisme era sebelumnya yang cenderung terlalu fundamentalis dan konservatif. Hal itu dilakukan dengan membaurkan sejumlah ide-ide demokrasi dan liberalisme ke agenda politiknya.

Kalau kata salah satu penggagas istilahnya, Asef Bayat, post-Islamism sendiri bukanlah pandangan yang anti-Islam, melainkan mencerminkan kecenderungan untuk menyekulerkan agama untuk beberapa hal, salah satunya tentu adalah politik.

Namun, kembali ke tulisan Roy. Dengan menyebutnya sebagai “pembaratan agama Islam”, kita pun perlu merenungkan kembali bahwa tidak semua orang yang menjadi penggerak post-Islamism benar-benar memiliki pandangan yang ambisius dalam mengadaptasi ajaran agama ke politik. Bagi kalangan politisi pragmatis, sebagian besar justru melakukan hal itu karena mereka tidak cukup inovatif dalam mengadopsi pandangan agama ke kepentingan politik domestiknya.

Hal ini pada akhirnya, menurut Roy, hanya membuat para parpol Islam modernis terjebak dalam politik praktis semata. Di setiap pemilu, mereka hanya akan mengejar ambang batas aman agar bisa punya anggota di badan legislatif, dan akan selalu mencari celah agar bisa terlibat dalam koalisi bersama partai besar yang umumnya adalah partai nasionalis atau sekuler.

Kalau sudah demikian, tentu roh dan ideologi partai tersebut akan sangat bisa dipertanyakan. Pada akhirnya, slogan partai Islam moderat tampak hanya akan menjadi “kedok” agar mereka bisa survive dalam kompetisi politik.

Apalagi, kalau kata Sunny Tanuwidjaja dalam tulisannya PKS in Post-Reformasi Indonesia, masuknya partai Islam ke spektrum moderat justru membuat mereka perlu berupaya lebih keras mendapatkan dukungan publik. Ini karena mereka akhirnya harus berkompetisi dengan partai-partai nasionalis yang sudah lebih dulu berpengalaman memperoleh suara kalangan non-konservatif Indonesia.

Nah, berdasarkan poin soal post-Islamism ini saja, kita bisa interpretasikan bahwa karier politik para partai Islam yang mencap diri mereka sebagai partai moderat sesungguhnya jauh dari kata cemerlang.

Di satu sisi, bisa dikatakan mereka hanya akan jadi benalu politik, karena mereka tidak cukup agamais jika ingin merangkul semua kelompok religius di Indonesia, tapi juga tidak cukup nasionalis untuk merangkul masyarakat umum.

Namun, masih adakah ruang bagi partai-partai Islam Indonesia untuk berperan lebih baik ke depannya?

Baca juga :  Strategi Jokowi Tetap Berpengaruh?
image

Tidak Ada Salahnya Fundamentalis?

Peneliti senior BRIN, Siti Zuhro pernah menilai bahwa parpol-parpol Islam di Indonesia masih terjebak pada isu-isu keagamaan dan tidak berpihak pada isu-isu kemanusiaan dan keadilan. Masalah yang dialami rakyat sehari-hari seperti persoalan kemiskinan, pencaplokan tanah petani, dan harga gabah sangat jarang dapat perhatian parpol Islam.

Hal ini menimbulkan penurunan agregat suara yang diraih seluruh parpol Islam jika dibandingkan sejak pemilu pertama 1955, hingga pemilu terakhir pada 2019. Padahal, jika memang cukup inovatif, ajaran-ajaran Islam pun sebenarnya bisa diaplikasikan untuk menyelesaikan sejumlah permasalahan negara. Suara umat Islam tidak hanya bisa “direnggut” hanya dengan menggaungkan politik identitas berbasis agama saja.

Parpol Islam kita pun sepertinya perlu merenungkan kembali bahwa sebetulnya tidak salah jika mereka dipandang sebagai partai yang fundamentalis, kalau mereka memang bisa memberikan solusi untuk masalah-masalah yang dialami rakyat.

Karena seperti yang pernah dibahas artikel PinterPolitik.com berjudul Partai Ummat Sedang Bunuh Diri?, yang jadi masalah dalam diskursus politik identitas di Indonesia sebetulnya bukanlah sepenuhnya pada identitas tersebut, tetapi masalah politics of resentment atau politik kebencian.

Kita bisa lihat sendiri bagaimana dalam Pemilu 2019 narasi yang begitu kencang dimainkan adalah ancaman-ancaman yang bisa terjadi kalau kandidat yang satu jadi presiden, bukan tentang keunggulan program kandidatnya.

Karena peristiwa seperti Pemilu 2019 itu, Indonesia akhirnya semakin memiliki pandangan yang begitu negatif dalam melihat pembauran ide fundamentalis agama dengan politik.

Oleh karena itu, berkaca pada apa yang dikutip dari Mahatma Gandhi di awal artikel ini, sepertinya para parpol Islam di Indonesia perlu menyadari bahwa adaptasi bukanlah berarti meniru konsep satu sama lain menjadi partai yang “paling moderat”.

Seharusnya, kalau memang ingin jadi representasi identitas Muslim Indonesia –dan tidak ada yang salah dengan itu– motivasi para parpol Islam ini adalah dengan bagaimana memperjuangkan ide-ide fundamental mereka yang semakin hari semakin terluka oleh adanya peyorasi politik identitas.

Mungkin kita juga perlu belajar pada sejumlah partai agamais konservatif yang bisa berada dalam posisi kuat, sembari mampu mengadopsi ajaran agamanya untuk politik di luar negeri. Contohnya seperti Christian Democratic Union (CDU) di Jerman yang kerap dijadikan contoh oleh beberapa pengamat politik, dan Forum voor Democratie (FvD) di Belanda.

Sebagai tambahan saja, kehadiran partai-partai konservatif semacam ini pun dinilai pengamat Universitas Harvard, Nancy L Rosenblum, justru malah sangat berkontribusi pada konsolidasi rezim-rezim demokrasi di Eropa, karena bisa membantu merepresentasikan seluruh elemen masyarakat.

Pada akhirnya, tulisan ini juga bisa jadi perenungan kita semua. Apakah selama ini kita membenci politik identitas karena ajarannya, atau kita hanya ikut-ikutan apa yang disuarakan orang-orang saja? (D74)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Alasan Ketergantungan Minyak Bumi Sulit Dihilangkan

Bahan bakar minyak (BBM) terus dikritisi keberadaannya karena ciptakan berbagai masalah, seperti polusi udara. Tapi, apakah mungkin dunia melepaskan ketergantungannya pada BBM?

Ada Kongkalikong Antara Iran dan Israel?

Kendati diisukan akan jadi perang besar, konflik antara Iran dan Israel justru semakin mereda. Mengapa hal ini bisa terjadi? 

Sangat Mungkin Jokowi & Anies Mendirikan Parpol?

Opsi mendirikan partai politik (parpol) menjadi relevan dan memiliki signifikansi tersendiri bagi karier politik Anies Baswedan dan Joko Widodo (Jokowi) pasca 2024. Akan tetapi, hal itu agaknya cukup mustahil untuk dilakukan saat berkaca pada kecenderungan situasi sosiopolitik saat ini.

Singapura ‘Ngeri-ngeri Sedap’ ke Prabowo?

Jokowi ajak Prabowo ketika bertemu PM Singapura Lee Hsien Loong dan deputinya, Lawrence Wong. Mungkinkah 'ngeri-ngeri sedap' ke Prabowo?

Anies Menuju Mendikbud Prabowo atau Gubernur Jakarta?

Pasca kalah di Pilpres 2024, banyak pertanyaan muncul terkait jabatan politik apa yang akan diduduki Anies Baswedan.

Anies Kalah Karena Tak Lawan Politik Identitas?

Pasangan Anies-Cak Imin harus mengakui keunggulan Prabowo-Gibran yang keluar sebagai pemenang Pilpres 2024. Di atas kertas, Anies yang secara track record dan citra publik begitu menjanjikan untuk jadi Presiden RI, nyatanya belum mampu meraih peruntungan di Pilpres kali ini. Pertanyaannya adalah mengapa demikian? Benarkah ini karena posisi Anies yang tak tegas melawan fabrikasi isu politik identitas yang kerap diarahkan padanya?

Benua Asia, Propaganda Terbesar Kolonialisme?

Benua Asia adalah benua terbesar dan terkaya di dunia. Namun, sebagai sebuah wilayah yang kerap dipandang homogen, Asia sebetulnya memiliki keberagaman yang begitu tinggi di antara kawasan-kawasannya sendiri. Mungkinkah lantas Benua Asia yang kita kenal bukanlah Benua Asia yang sesungguhnya?

Selama Masih Megawati, PDIP Pasti Oposisi?

Sinyal kuat bergabungnya Partai NasDem dan PKB, ditambah keinginan PKS untuk pula merapat ke koalisi Prabowo-Gibran, membuat Megawati Soekarnoputri dan PDIP dinilai akan mengambil sikap teguh nan luhur sebagai penyeimbang pemerintah. Namun, pada praktiknya, itu akan berjalan setengah hati. Benarkah demikian?

More Stories

Alasan Ketergantungan Minyak Bumi Sulit Dihilangkan

Bahan bakar minyak (BBM) terus dikritisi keberadaannya karena ciptakan berbagai masalah, seperti polusi udara. Tapi, apakah mungkin dunia melepaskan ketergantungannya pada BBM?

Ada Kongkalikong Antara Iran dan Israel?

Kendati diisukan akan jadi perang besar, konflik antara Iran dan Israel justru semakin mereda. Mengapa hal ini bisa terjadi? 

Benua Asia, Propaganda Terbesar Kolonialisme?

Benua Asia adalah benua terbesar dan terkaya di dunia. Namun, sebagai sebuah wilayah yang kerap dipandang homogen, Asia sebetulnya memiliki keberagaman yang begitu tinggi di antara kawasan-kawasannya sendiri. Mungkinkah lantas Benua Asia yang kita kenal bukanlah Benua Asia yang sesungguhnya?