HomeHeadlineMegawati Sedang Cari Musuh?

Megawati Sedang Cari Musuh?

Belakangan ini Ketua Umum (Ketum) PDIP, Megawati Soekarnoputri tampak semakin vokal di publik, termasuk memberikan komentar terhadap permasalahan minyak goreng. Apa sebenarnya yang sedang dilakukan Megawati? 


PinterPolitik.com 

Ketua Umum (Ketum) PDIP Megawati Soekarnoputri beberapa waktu terakhir semakin sering menunjukkan dirinya ke publik. Terbaru, Megawati mendapat cibiran warganet lantaran menyindir ibu-ibu yang rela berbondong-bondong belanja baju lebaran, padahal masih kesulitan mendapatkan minyak goreng.  

Tidak hanya itu, Megawati juga melempar pernyataan cukup pedas terkait wacana penundaan pemilu, dengan mengatakannya sebagai sebuah permainan politik. 

Kalau kita perhatikan, Megawati mulai menjadi kontroversi sejak akhir Maret lalu. Ketika itu, ia menjadi buah bibir masyarakat karena mengadakan acara Demo Masak Tanpa Minyak Goreng. 

Acara tersebut adalah kelanjutan dari pernyataan sensasional yang dilontarkan Megawati terkait isu kelangkaan minyak goreng. Ia sempat menyarankan ibu-ibu Indonesia untuk merebus dan mengukus makanan ketimbang menggoreng di tengah mahalnya harga minyak goreng.  

Menariknya, baru-baru ini terungkaplah empat orang tersangka mafia minyak goreng, yang ditelusuri oleh Kejaksaan Agung (Kejagung). Pengamat politik Rocky Gerung menduga pengungkapan tersebut tak lepas dari peran penting Megawati. 

Menurutnya, kasus ini seperti pementasan teater besar yang akhirnya diintervensi oleh Kejaksaan Agung atas titah dari PDIP. Rocky melihat Jaksa Agung yang menjabat saat ini, yakni ST. Burhanuddin, adalah proksi Megawati, dan Megawati telah mendorongnya untuk mengusut kasus minyak goreng sebagai pembuktian bahwa Megawati pun tahu tentang permainan minyak goreng, dan bisa memberikan solusi nyata. 

Kejagung yang ditugaskan untuk ambil alih langsung kasus ini, menurut analisa Rocky Gerung, merupakan upaya untuk menunjukkan “taring PDIP”. Kalau kita telusuri, apa yang dikatakan Rocky sepertinya tidak terlalu imajinatif, karena Burhanuddin sendiri adalah adik dari TB. Hasanuddin, seorang politisi senior PDIP. 

Lantas, jika perkataan Rocky memang benar, maka Megawati bisa diartikan “memilih” momen ini sebagai momen tepat untuk memunculkan dan menaklukkan salah satu musuh besar negara, yaitu mafia minyak goreng. 

Pertanyaan besarnya tentu adalah, mengapa sekarang? Dan bagaimana kira-kira kaitannya dengan Megawati, yang belakangan ini semakin vokal di media? 

Megawati Membutuhkan Musuh? 

Melihat konstelasi politik di Indonesia saat ini, tidak terbantahkan bahwa PDIP adalah partai yang paling berkuasa. Megawati sebagai ketum partai terkuat, berada di posisi yang sangat nyaman, karena hanya memiliki segelintir oposisi saja, itu pun belum tentu bisa menggoyahkan kestabilan politik yang sudah Megawati dirikan.  

Dengan keadaan seperti itu, tentu Megawati dan PDIP tidak butuh melakukan banyak gerakan politik untuk mempertahankan dominansinya, bukan? Well, tidak juga.  

Baca juga :  Prabowo-Megawati Bersatu, Golkar Tentukan Nasib Jokowi?

Seperti yang sudah dibahas dalam artikel PinterPolitik berjudul Sudah Saatnya NATO Dimusnahkan?, sebuah kekuatan besar tetap membutuhkan sosok musuh untuk menjustifikasi keberadaannya. Dalam kasus internasional, kita bisa melihat NATO, yang seiring waktu tampak selalu membuat citra seakan-akan Rusia adalah musuh bebuyutannya.  

Alasannya cukup sederhana, yaitu untuk menyebar paham bahwa meski telah memenangkan Perang Dingin, NATO ternyata masih dibutuhkan untuk menjaga perdamaian. Oleh karena itu, ia menjadikan Rusia sebagai musuh yang perlu dihadapi bersama. 

Pandangan seperti ini juga bisa kita gunakan untuk melihat dominasi politik satu kubu dalam suatu negara. Leopoldo Fergusson, dan kawan-kawan dalam tulisan The Need for Enemies, menjelaskan politisi yang berkuasa akan selalu membutuhkan sosok musuh untuk mempertahankan keunggulan politik mereka, demi mempertahankan dukungan politik.  

Hal ini karena sejatinya mayoritas politisi dipilih untuk menyelesaikan suatu masalah, yang mereka janjikan di awal-awal kampanye. Namun, alih-alih menyelesaikannya dengan cepat, Fergusson dan kawan-kawan melihat politisi pasti akan mencari alasan agar masalah di negaranya dapat terus terjadi.  

Tujuannya adalah agar publik tetap memiliki alasan untuk melihat bahwa mereka masih membutuhkan kinerja politisi tersebut guna mempertahankan kestabilan dan keamanan di negerinya.  

Menariknya, karena alasan itu, Fergusson dan kawan-kawan menilai bahwa beberapa masalah krusial di suatu negara yang tidak kunjung selesai sebetulnya bukan karena tidak bisa diselesaikan, tetapi justru karena politisi tersebut masih membutuhkan masalah itu untuk tetap ada. Istilah sederhananya, untuk dijadikan sebagai asuransi dalam pemilihan selanjutnya. 

Karena itu, bisa diartikan juga bahwa suatu musuh dalam politik sesungguhnya berperan sebagai justifikasi agar kekuatan yang dominan tetap memiliki alasan untuk melancarkan kepentingan-kepentingannya.  

Di sisi lain, musuh politik juga dapat digunakan untuk membuat politisi yang berkuasa dijauhkan dari citra diktator tirani. Dengan adanya musuh bersama yang juga dapat dibenci rakyatnya, politisi yang berkuasa akan dipandang sebagai pahlawan, bukan sebagai raja atau ratu yang perlu ditaklukkan. 

Ironinya, “musuh buatan” ini diciptakan karena politisi yang berkuasa merasa takut. John J. Mearsheimer dalam bukunya The Tragedy of Great Power Politics, mengatakan perselisihan politik akan selalu terjadi karena para aktornya akan selalu merasa tidak pasti. 

Politik pada dasarnya memang penuh dengan ketidakpastian, kita bisa lihat sendiri dari kasus Perjanjian Batu Tulis. Di perjanjian itu, Megawati berkomitmen akan mendukung pencalonan Ketum Gerindra Prabowo Subianto di Pilpres 2014. Namun perjanjian tersebut kemudian tidak jadi nyata, di Pilpres 2014 silam PDIP malah mengusung Jokowi-Jusuf Kalla (JK). 

Baca juga :  Logis Anies Dirikan Partai Sendiri?

Karena ketidakpastian ini, untuk menjamin eksistensinya, para aktor politik akan mencari cara-cara rasional agar survival-nya bisa terjamin. Salah satu caranya adalah dengan berkelit di isu-isu tertentu yang dapat memberikan mereka keunggulan strategis. 

Dengan pandangan demikian, bisa diinterpretasikan bahwa sangat masuk akal bila Megawati saat ini sedang mencari “musuh”. Penetapan tersangka mafia minyak goreng mungkin jadi salah satu bukti pertamanya. 

Lantas, bagaimana kita bisa mengantisipasi langkah Megawati ke depannya? 

Akan Ada Skenario Baru? 

Pengamat politik Rocky Gerung sempat melontarkan pendapat yang menarik. Menurutnya, pengusutan mafia minyak goreng yang terlihat ragu-ragu antara pihak aparat dan kementerian terkait beberapa waktu sebelum Megawati bicara menunjukkan bahwa ada upaya menjalankan skenario tertentu yang diulur-ulur. 

Menurutnya, miskomunikasi antara kementerian dan lembaga membuktikan adanya tarik menarik yang luar biasa untuk menentukan siapa yang akan ditumbalkan jadi tersangka. Padahal sebelumnya beberapa pihak sempat menyebutkan bahwa tidak ada yang namanya mafia minyak goreng, namun Kejagung kemudian membuktikan bahwa mafia memang benar ada. 

Pola yang aneh ini menurut Rocky adalah indikasi ada upaya untuk menciptakan “teater”, di mana akan ada yang berperan sebagai yang dikorbankan, dan ada yang berperan sebagai pihak yang menjebloskannya. 

Well, politik pada dasarnya sepertinya memang berperan layaknya teater. Sandey Fitzgerald dalam tulisannya Politics as Theater, menyebutkan para aktor utama yang bermain di teater politik ini perlu menunjukkan dirinya sebagai apa yang ingin disaksikan penonton. 

Maksudnya adalah, politisi akan bermain layaknya aktor-aktor protagonis melawan aktor antagonis dalam suatu skrip. Tujuan utama teater ini menurut Fitzgerald adalah untuk menciptakan rasa keamanan di dalam alam pikiran penonton – yang adalah masyarakat – bahwa seluruh masalah dalam aspek kehidupan bernegara pada akhir cerita sesungguhnya berada dalam kendali. 

Karena pandangan demikian, dengan sejumlah sindiran yang dilontarkan Megawati, terutama tentang penundaan pemilu yang merupakan permainan politik, dan juga sindiran pada Jokowi terkait mimpi Indonesia emas yang masih dibayang-bayangi stunting, maka bukan tidak mungkin bila nantinya akan dimunculkan pula musuh-musuh baru yang bisa diberantas bersama. 

Sebagai penutup, perlu disadari bahwa tulisan ini adalah interpretasi semata. Entah apa pun yang terjadi, apakah Megawati sedang berupaya mencari musuh atau justru menguak kebenaran, itu hanya diketahui oleh Megawati sendiri. 

Yang jelas, seperti kata pejuang kuno Persia, Hassan as-Sabbah: “nothing is true—all is permitted”. Segala peristiwa politik bisa terjadi karena ada kompromi dari pihak-pihak terkait. (D74) 

https://www.youtube.com/watch?v=RcWboiCuHT8
spot_imgspot_img

#Trending Article

Anies Kalah Karena Tak Lawan Politik Identitas?

Pasangan Anies-Cak Imin harus mengakui keunggulan Prabowo-Gibran yang keluar sebagai pemenang Pilpres 2024. Di atas kertas, Anies yang secara track record dan citra publik begitu menjanjikan untuk jadi Presiden RI, nyatanya belum mampu meraih peruntungan di Pilpres kali ini. Pertanyaannya adalah mengapa demikian? Benarkah ini karena posisi Anies yang tak tegas melawan fabrikasi isu politik identitas yang kerap diarahkan padanya?

Benua Asia, Propaganda Terbesar Kolonialisme?

Benua Asia adalah benua terbesar dan terkaya di dunia. Namun, sebagai sebuah wilayah yang kerap dipandang homogen, Asia sebetulnya memiliki keberagaman yang begitu tinggi di antara kawasan-kawasannya sendiri. Mungkinkah lantas Benua Asia yang kita kenal bukanlah Benua Asia yang sesungguhnya?

Selama Masih Megawati, PDIP Pasti Oposisi?

Sinyal kuat bergabungnya Partai NasDem dan PKB, ditambah keinginan PKS untuk pula merapat ke koalisi Prabowo-Gibran, membuat Megawati Soekarnoputri dan PDIP dinilai akan mengambil sikap teguh nan luhur sebagai penyeimbang pemerintah. Namun, pada praktiknya, itu akan berjalan setengah hati. Benarkah demikian?

Strategi Erick Thohir Menangkan Timnas?

Timnas U-23 lolos ke babak semifinal di Piala Asia U-23 2024. Mungkinkah ini semua berkat Ketum PSSI Erick Thohir? Mengapa ini juga bisa politis?

Iran Punya Koda Troya di Bahrain? 

Iran sering dipandang sebagai negara yang memiliki banyak proksi di kawasan Timur Tengah. Mungkinkah Bahrain jadi salah satunya? 

“Sepelekan” Anies, PKS Pura-Pura Kuat?

Telah dua kali menyatakan enggan mengusung Anies Baswedan di Pilkada Jakarta 2024, PKS kiranya sedang mempraktikkan strategi politik tertentu agar daya tawarnya meningkat. Namun di sisi lain, strategi itu juga bisa saja menjadi bumerang. Mengapa demikian?

Gibran, Wapres Paling Meme?

Usai MK bacakan putusan sengketa Pilpres 2024, Gibran Rakabuming Raka, unggah fotonya sendiri dengan sound berjudul “Ahhhhhh”.

The Battle of Javanesia 2: Proxy War Jokowi vs Prabowo di Pilkada 2024

Pilkada serentak 2024 akan jadi panggung pertaruhan partai politik dan elite nasional untuk menentukan siapa yang jejaring kekuasaannya mampu merambah hingga ke level terbawah.

More Stories

Benua Asia, Propaganda Terbesar Kolonialisme?

Benua Asia adalah benua terbesar dan terkaya di dunia. Namun, sebagai sebuah wilayah yang kerap dipandang homogen, Asia sebetulnya memiliki keberagaman yang begitu tinggi di antara kawasan-kawasannya sendiri. Mungkinkah lantas Benua Asia yang kita kenal bukanlah Benua Asia yang sesungguhnya?

Iran Punya Koda Troya di Bahrain? 

Iran sering dipandang sebagai negara yang memiliki banyak proksi di kawasan Timur Tengah. Mungkinkah Bahrain jadi salah satunya? 

Triad, Grup Mafia Penguasa Asia?

Kelompok mafia tidak hanya ada di negara-negara Barat, di Asia, sebuah kelompok yang disebut Triad kerap disamakan dengan mafia-mafia ala Italia. Bagaimana sejarahnya?