HomeNalar PolitikMenkes Terawan di Ujung Tanduk?

Menkes Terawan di Ujung Tanduk?

Banyak kalangan menilai kualitas kinerja dan performa Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Terawan Agus Putranto, sedang berada di titik terendahnya saat ini. Desakan publik mulai marak agar Presiden Joko Widodo mengganti Terawan dengan sosok lainnya yang lebih kredibel.


PinterPolitik.com

Dalam mengelola dan menangani berbagai persoalan di bidang kesehatan tentu membutuhkan sosok yang benar-benar kredibel dan memiliki pendekatan terbaik dalam pemecahan persoalan tersebut. Presiden Joko Widodo (Jokowi) kemudian menunjuk Terawan Agus Putranto sebagai Menteri Kesehatan (Menkes) Republik Indonesia dalam Kabinet Indonesia Maju periode 2019-2024.

Jokowi sendiri mengaku, Terawan memenuhi kriteria sebagai Menkes, yaitu berpengalaman dalam manajemen anggaran dan personalia di sebuah lembaga serta menimbang dirinya pernah menjabat sebagai ketua International Committee on Military Medicine (ICMM) pada 2016. Lalu Terawan juga dinilai Jokowi sanggup menangani bencana endemik. Pun, Indonesia yang rawan bencana juga tak terlepas dari ancaman penyakit endemik.

Di sisi lain pengamat menilai, penunjukkan menteri-menteri, termasuk Purnawirawan TNI-AD berbintang tiga itu oleh presiden dikarenakan keunikan karakter Jokowi sendiri.

Dari situ kita mungkin dapat memahami bahwa penunjukkan Terawan sebagai Menkes ialah berdasarkan “inovasi” Jokowi mengingat sosok Terawan berasal dari militer yang berbeda dari kebanyakan Menkes sebelumnya. Dan di sisi lain, penunjukkan Menkes yang berasal dari sosok berlatarbelakang militer juga semakin menegaskan karakteristik serta struktur koalisi yang ingin dibangun Jokowi.

Waktu terus bergulir hingga persoalan dalam aspek kesehatan di Indonesiapun kian menjadi tantangan rumit. Melewati 100 hari usia kabinet periode kedua pimpinan Jokowi, Indonesia dalam situasi “terancam” ketika virus Corona (Covid-19) merebak di seantero dunia. Berbagai upaya antisipasi hingga penanganan yang dilakukan pemerintah melalui Kementerian Kesehatan pun mendapat tanggapan beragam dari publik, namun  mayoritas bernada negatif.

Terbaru, kerumitan proses pemeriksaan Covid-19 yang menjadi awal langkah penanganan dinilai sangat rumit. Mulai dari persiapan administrasi dan pencatatan riwayat, proses persetujuan, rangkaian tes, hingga pengujian sampel di laboratorium sangat menguras waktu dan tenaga. Hal itu dikarenakan birokrasi serta infrastruktur yang tidak mendukung. Padahal persoalan presisi waktu adalah salah satu yang esensial dalam penanganan Covid-19.

Atas berbagai masalah penanganan Covid-19 tersebut, tidak mengherankan apabila Terawan kemudian mendapatkan sorotan tajam. Bahkan tekanan untuk mencopot Menkes Terawan terlihat berhembus kencang setelah Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari Kontras, Lokataru, YLBHI, LBH Masyarakat, WALHI, PKBI, YLKI, P2D, Migrant Care, Amnesty International Indonesia, dan PSKH, menilai pandemi Covid-19 tidak ditangani dengan sungguh-sungguh oleh pemerintah, terutama Menkes sebagai orang yang paling bertanggungjawab.

Haris Azhar, Direktur Eksekutif Lokataru bahkan menganggap Menkes menunjukkan sikap pongah, menganggap enteng, anti-sains, dan terus memandang rendah persoalan, sehingga berakibat pada hilangnya kewaspadaan.

Baca juga :  The Invincible Bahlil and The Philosopher King

Lantas, apakah dengan performa yang ditampilkan Terawan sebagai Menkes sampai sejauh ini akan berujung pada terdepaknya ia dari kabinet Jokowi?

Keputusan Soal Terawan Rawan?

Untuk menjawab pertanyaan di atas ada baiknya kita melihat terlebih dahulu bagaimana sesungguhnya hubungan di antara Jokowi dan Terawan, baik di level profesional maupun di belakang layarnya.

Terawan sendiri merupakan dokter yang tidak asing lagi di lingkungan pejabat dan elite. Trade mark metode terapi “cuci otak” untuk penderita stroke ciptaannya dikenal telah puluhan ribu kali digunakan sejak pertama kali digunakan pada 2005. Mulai dari public figure hingga pejabat kelas atas di republik ini telah menjadi pasien Terawan. Itulah yang menjadikan namanya dikenal di level elite Indonesia.

Melihat track recordnya, secara profesional Jokowi dan Terawan “dipertemukan” saat mantan Wali Kota Solo tersebut menjadi Presiden RI pada 2014. Ketika itu Terawan merupakan dokter kepresidenan di lingkungan Istana Negara yang telah menjabat sejak tahun 2009.

Lalu pada pertengahan 2019, kala RSPAD menjadi tempat pemeriksaan kesehatan resmi bagi para peserta Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, Terawan yang kala itu memimpin rumah sakit tersebut tentu berinteraksi langsung dengan Jokowi sebagai salah satu kandidat.

Lalu, penunjukan Terawan sebagai Menkes juga dilihat sangat lekat kaitannya dengan karakteristik orang-orang berlatarbelakang militer di sekitar Jokowi sejak periode pertama kepresidenan. Mulai dari nama mantan Panglima ABRI Wiranto sebagai Menkopolhukan (2016-2019), Luhut Panjaitan sebagai Menkomarves (2019-kini), mantan Panglima TNI Moeldoko sebagai Kepala Staf Kepresidenan (2018-kini), hingga mantan Panglima Kostrad Prabowo Subianto sebagai Menteri Pertahanan (2019-kini).

Iman Harymawan dalam publikasinya yang berjudul “Why do Firms Appoint Former Military Personnel as Directors? Evidence of Loan Interest Rate in Militarily Connected Firms in Indonesia” menyatakan bahwa keterlibatan sosok berlatarbelakang militer memiliki sejarah panjang dan kontribusi signifikan dalam politik di Indonesia. Sosok berlatarbelakang militer dalam pemerintahan juga memiliki detterence effect atau efek gentar yang menyediakan advantage bagi setiap kebijakan maupun manuver lainnya.

Dari situ kita bisa menarik hipotesis yang cukup kuat bahwa keberadaan sosok-sosok berlatarbelakang militer dalam kabinet serta lembaga di bawah kepemimpinan Jokowi ialah untuk “mengamankan” berbagai kebijakan serta sebagai bentuk efek gentar bagi lawan politiknya.

Dengan demikian, perhitungan matematis serta politis tentu menjadi pertimbangan dasar bagi Jokowi sebelum menetapkan keputusan nasib jabatan Terawan.

Dari sisi citra internal, keputusan mengeluarkan Terawan dari kabinet akan sedikit banyak berpengaruh terhadap stigma peran eks militer dalam pemerintahan.

Baca juga :  Prabowo and the Hero Complex

Jika dibandingkan dengan pencopotan yang pernah dilakukan Jokowi pada periode sebelumnya, nama-nama menteri yang dirombak di tengah jalan dinilai hanya sosok yang tidak membutuhkan pertimbangan rumit (complicated consideration). Selain itu, nama-nama tersebut juga dapat dilihat publik sedikit berseberangan dengan Presiden dalam mengambil kebijakan serta dari sisi kepentingan politik saat itu.

Rizal Ramli misalnya, ia kerap berseberangan dengan sosok lain di kabinet dan pernah juga bersitegang dengan Gubernur DKI Jakarta saat itu, Basuki Tjahaja Purnama soal reklamasi.

Kemudian, Ignasius Jonan, sedikit berbeda kasus, Jonan hanya dirotasi ke pos Menteri ESDM, meski salah satu latarbelakangnya diketahui adalah penolakan terhadap proyek kereta cepat yang digagas Jokowi.

Selain itu, keputusan Jokowi seputar nasib Terawan dinilai akan berdampak pada hubungan, tidak hanya pada kedua tokoh, namun juga faksi “sipil” dan “militer” di Istana. Lalu dari sisi eksternal, publik akan melihat tegas atau tidaknya keputusan Jokowi atas Terawan menanggapi suara lantang dan resistensi kekecewaan atas berbagai tindak tanduk seorang Menteri Kesehatan sampai saat ini.

Akan Dipecat?

Sebenarnya tidak hanya Menkes Terawan yang banyak menuai tekanan untuk segera dicopot namun tidak dilakukan Jokowi. Ada nama Menkumham, Yassona Laoly, yang beberapa waktu lalu membuat kegaduhan sekaligus kekecewaan publik atas tindakan-tindakannya.

Kasus Harun Masiku, Istilah “Menteng-Tanjung Priok”, hingga drama “masuk-keluar-masuk”dari dan ke kursi parlemen dan kursi Menteri membuat geram dan semakin menjatuhkan kepercayaan publik kepadanya. Namun Jokowi bergeming. Yasonna, yang juga merupakan tokoh senior partai utama pengusung Jokowi di Pilpres lalu, masih menjabat sebagai Menkumham sampai detik ini.

Kembali kepada Terawan, saat ini dapat dipastikan pemerintah sedang berjuang keras menghadapi hantaman Covid-19 di Indonesia dengan berbagai cara dan pendekatan terbaik yang dimiliki.

Namun jika saat ini publik melihat belum ada tanda-tanda akan adanya keputusan Presiden Jokowi untuk melakukan pergantian, mungkin dapat dipahami itu sebagai upaya defensif. Pasalnya, Kabinet yang masih seumur jagung akan membuat Jokowi kehilangan kepercayaan di sisi decision making saat membentuk menteri jika segera mengganti Menkes Terawan.

Selain itu, ketika keberadaan Menkes Terawan dipertanyakan mulai jarang terlihat setelah penunjukkan juru bicara penanganan Covid-19, Istana merespon bahwa Menkes masih sering berkoordinasi dengan Presiden dan meminta publik tidak berspekulasi terlalu jauh terkait hal ini.

Dari “gelagat” ini dapat dilihat bahwa keputusan mencopot Terawan dari jabatan Menkes belum akan terjadi dalam waktu dekat. Paling tidak ada tiga kalkulasi yang menguatkan argumen itu.

Pertama, tingkat urgensi penanganan Covid-19 sangat mendesak saat ini dan menjadi prioritas. Jika terjadi pergantian pucuk pimpinan Menkes, akan sedikit banyak berpengaruh terhadap upaya penanganan tersebut.

Kedua, latar belakang militer Menkes menjadi bargaining power tersendiri bagi eksistensinya dalam kabinet Jokowi saat ini yang kental nuansa “Sapta Marga”.

Terakhir, Jokowi tentu tidak ingin dinilai blunder ketika menunjuk Terawan sebagai Menkes.

Di luar itu semua, publik tentu berharap siapapun dan apapun latar belakang seorang Menteri, dapat membawa perubahan ke arah yang lebih baik. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (J61)

► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

spot_imgspot_img

#Trending Article

100 Hari, Prabowo Justru Insecure?

Meski tak serta merta dapat dijadikan generalisir, dengan kinerja 100 hari yang cenderung jamak dinilai belum maksimal, penilaian terhadap bagaimana Presiden Prabowo Subianto memegang kendali nahkoda RI bermunculan. Utamanya, mengenai kemantapan prinsip kepemimpinan Presiden Prabowo di tengah tarik-menarik pengaruh internal maupun eksternal dalam politik kekuasaan.

Anies-Mahfud Perlu “Dikantongi” Prabowo? 

Eks-rival Prabowo Subianto dalam Pemilihan Presiden 2024 (Pilpres 2024), yakni Anies Baswedan dan Mahfud MD belakangan semakin menunjukkan gestur positif terhadap Prabowo. Apakah seharusnya Prabowo merangkul mereka? 

Prabowo, Amartya Sen, dan Orde Baru

Program Makan Siang Bergizi (MBG) alias makan siang gratis yang kini sudah dijalankan oleh pemerintahan Prabowo Subianto nyatanya punya visi yang serupa dengan program Pemberian Makanan Tambahan Anak Sekolah (PMT-AS) yang merupakan program di era Orde Baru.

Hasto vs Jokowi, Benarkah Prabowo AFK?

Tak berkomentar atau memberikan statement khusus menjadi hal normatif yang kiranya tepat dilakukan Presiden Prabowo Subianto terhadap intrik panas kasus Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto yang berhadapan langsung dengan Joko Widodo. Padahal, drama yang dibumbui video skandal pejabat itu berkelindan dengan proyeksi stabilitas politik dan pemerintahan ke depan.

Prabowo and the Hero Complex

Kisah seorang pahlawan (hero) selalu menciptakan inspirasi di hati banyak orang. Mengapa makna ini begitu berarti bagi Presiden Prabowo Subianto?

Mengapa Era Keemasan Sains Orba Hilang? 

Indonesia sempat alami euforia sains dan imajinasi yang tinggi ketika awal hingga pertengahan Orde Baru. Mengapa tren tersebut tiba-tiba hilang? 

The Invincible Bahlil and The Philosopher King

Dengarkan artikel ini: Meski kerap dikritik dan dianggap kontroversial, nyatanya sosok Bahlil Lahadalia harus diakui jadi inspirasi bagi banyak orang. Meniti karier dari pelosok,...

Menguak “Beban” Erick Pecat STY

Pemecatan pelatih Timnas Sepak Bola Pria Indonesia oleh PSSI meninggalkan interpretasi karena dua untaian frasa “mencurigakan” yang terujar dari Erick Thohir dan anak Shin Tae-yong, yakni “dinamika kompleks” dan “perlakuan PSSI”. Bahkan, sesuatu hingga ke ranah yang bertendensi politis. Benarkah demikian?

More Stories

100 Hari, Prabowo Justru Insecure?

Meski tak serta merta dapat dijadikan generalisir, dengan kinerja 100 hari yang cenderung jamak dinilai belum maksimal, penilaian terhadap bagaimana Presiden Prabowo Subianto memegang kendali nahkoda RI bermunculan. Utamanya, mengenai kemantapan prinsip kepemimpinan Presiden Prabowo di tengah tarik-menarik pengaruh internal maupun eksternal dalam politik kekuasaan.

Hasto vs Jokowi, Benarkah Prabowo AFK?

Tak berkomentar atau memberikan statement khusus menjadi hal normatif yang kiranya tepat dilakukan Presiden Prabowo Subianto terhadap intrik panas kasus Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto yang berhadapan langsung dengan Joko Widodo. Padahal, drama yang dibumbui video skandal pejabat itu berkelindan dengan proyeksi stabilitas politik dan pemerintahan ke depan.

Menguak “Beban” Erick Pecat STY

Pemecatan pelatih Timnas Sepak Bola Pria Indonesia oleh PSSI meninggalkan interpretasi karena dua untaian frasa “mencurigakan” yang terujar dari Erick Thohir dan anak Shin Tae-yong, yakni “dinamika kompleks” dan “perlakuan PSSI”. Bahkan, sesuatu hingga ke ranah yang bertendensi politis. Benarkah demikian?