HomeSejarahSarekat Islam dan Asal-usul PKI

Sarekat Islam dan Asal-usul PKI

Sarekat Islam (SI) – sekarang Syarikat Islam – merupakan salah satu organisasi yang mengambil peran dan andil penting dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Namun, bagiamana sebenarnya sejarah organisasi ini? Apakah SI memiliki kaitan sejarah dengan partai kontroversial lain, yakni Partai Komunis Indonesia (PKI)?


PinterPolitik.com

“Mari kita bersama-sama melakukan perlawanan atas ketertindasan, agar semua rakyat Nusantara, tidak lagi dipandang sebagai seperempat manusia”

Kutipan di atas adalah potongan percakapan dari film Guru Bangsa: Tjokroaminoto (2015) karya sutradara Garin Nugroho yang berkisah tentang salah satu tokoh besar bangsa ini, Hadji Oemar Said (H.O.S.) Tjokroaminoto. Ia adalah salah satu simpul besar sejarah negara ini bersama dengan Sarekat Islam (SI) – organisasi yang menjadi bagian penting dari pergerakan dan perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Nyatanya, SI yang sebelumnya bernama Sarekat Dagang Islam (SDI) adalah salah satu organisasi paling awal yang menjadi benih gerakan yang lebih besar untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Seperti apa sejarah organisasi yang hingga saat ini masih berdiri?

Sejarah Sarekat Islam

SI awalnya bernama SDI didirikan pada tanggal 16 Oktober 1905 oleh Haji Samanhudi – seorang pedagang batik asal Surakarta. Ini adalah organisasi yang menaungi pedagang-pedagang pribumi Muslim untuk menghadapi persaingan dengan pedagang Tionghoa maupun pedagang-pedagang asing kala itu. Kesenjangan yang terjadi kala itu memang bersumber dari kebijakan pemerintahan kolonial yang membeda-bedakan kelompok masyarakat berdasarkan identitas kesukuan.

Ada perbedaan di beberapa sumber yang menyebutkan bahwa SDI dengan Samanhudi di dalamnya sebetulnya baru berdiri pada tahun 1911 – terutama ketika Bapak Pers Nasional, Tirto Adhi Soerjo, ikut membuatkan AD/ART organisasi tersebut. Awalnya, organisasi ini berbentuk semacam ormas keamanan bernama Rekso Roemekso yang menjadi cara Samanhudi dan pedagang-pedagang di Solo menghadapi persaingan dengan pedagang Tionghoa – sebelum kemudian mendapatkan badan hukum setelah berubah menjadi SDI Cabang Surakarta. Tirto sendiri adalah orang yang mendirikan SDI di Bogor pada 1909.

SDI kemudian memasuki babak selanjutnya ketika berubah nama menjadi SI di tahun 1912 dengan sosok Tjokroaminoto  sebagai sentral utamanya. Penghapusan kata “dagang” ditujukan untuk melebarkan peran organisasi tersebut tidak hanya ke persoalan ekonomi saja, tetapi juga di bidang politik, sosial dan keagamaan. Tjokroaminoto sendiri berjasa dalam pembentukan badan hukum SI yang kemudian mendapatkan pengakuan pemerintah Hindia Belanda.

Baca Juga: Apa yang Terjadi Bila PKI Berkuasa?

Tokoh yang kita bicarakan ini adalah sosok yang dijuluki sebagai De Ongekroonde van Java alias Raja Tanpa Mahkota di Tanah Jawa – berkaca dari besarnya pengaruh saat itu, mengingat ia adalah tokoh pertama yang dengan berani dan terbuka mencetuskan ide kemerdekaan Indonesia. Ia adalah guru untuk beberapa tokoh besar, di antaranya tokoh kiri seperti Semaoen, Alimin, dan Muso; sosok nasionalis seperti Soekarno; dan tokoh yang Islamis seperti Kartosoewirjo. Beberapa sumber juga menyebutkan bahwa Tan Malaka pernah berguru pada Tjokroaminoto.

SI punya banyak cabang, dan setelah Tjokroaminoto menjadi tokoh utamanya, pusat organisasi ini pindah ke Surabaya. Tjokroaminoto terpilih sebagai Ketua Central Sarekat Islam (CSI) dalam kongres di Yogyakarta pada 1914. Di tahun pertama kepemimpinannya, anggota resmi SI tercatat mencapai 400.000 orang.

Lewat surat kabar SI, Oetusan Hindia, Tjokroaminoto banyak menulis tentang penderitaan kaum pribumi. Gaya-gaya tulisannya ini pun disebut ditiru oleh Soekarno.

Koran tersebut juga menjadi tonggak sejarah penting. Takashi Shiraishi dalam bukunya An Age in Motion: Popular Radicalism in Java, 1912-1926 menyebutkan bahwa koran tersebut awalnya diterbitkan sebagai bentuk perlawanan pedagang Arab dan pribumi Muslim yang menolak beriklan di koran-koran Tionghoa.

Lewat koran ini pula, Aksi Bela Islam pada awal Februari 1918 digalang sebagai respons atas tulisan di majalah Djawi Hiswara yang dianggap menghina Nabi Muhammad. Sebagai dampak aksi tersebut, jumlah anggota SI membengkak menjadi 2,5 juta orang.

Dari SI, Muncul PKI

Makin banyaknya anggota SI ini pada akhirnya melahirkan gesekan yang berujung pada perpecahan. Banyak sumber yang menyebutkan bahwa paham sosialisme dan komunisme mulai masuk ke organisasi tersebut. Tjokroaminoto sendiri sebetulnya disebut ingin menggabungkan sosialisme dengan Islam – hal yang terlihat dari beberapa tulisannya di Oetusan Hindia seperti artikel dalam artikel berjudul “Sosialisme Berdasar Islam”.

Baca Juga: Buya Hamka: Tak Dendam Meski Dipenjara Soekarno

Namun, gesekan pada akhirnya terjadi dengan kelompok-kelompok yang memilih jalan komunisme. Semaoen dan kawan-kawannya dari SI Cabang Semarang dianggap sebagai duri dalam daging oleh petinggi SI lain, seperti Agus Salim dan Abdul Muis.

Akhirnya, atas dorongan Agus Salim dan Abdul Muis, dikeluarkan aturan agar anggota SI tidak boleh rangkap jabatan. Yang merangkap jabatan harus memilih: SI menjadi pilihan satu-satunya atau dipecat. Kebijakan tersebut memang menarget Semaoen dkk yang juga menjadi anggota dari Perserikatan Komunis Hindia – sekalipun juga berdampak pada banyak anggota lain yang merangkap jabatan di tempat lain.

Semaoen, Alimin, Darsono, dan teman-temannya bersikeras tak ingin keluar dari Perserikatan Komunis Hindia. Akhirnya, mereka dipecat secara resmi lewat Kongres di Madiun pada tahun 1923 dan lahirlah SI Merah dan SI Putih. SI Putih beranggotakan Agus Salim dkk di dalamnya berhaluan kanan berpusat di kota Yogyakarta. Sementara, SI Merah berisi Semaoen dkk yang berhaluan kiri dan berpusat di kota Semarang.

Tjokroaminoto pada mulanya adalah penengah di antara kedua kubu tersebut tetapi kemudian lebih condong ke kubu SI Putih. SI Merah kemudian berubah menjadi Sarekat Rakyat yang pada akhirnya menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI).

Lewat Kongres Madiun pula SI berubah menjadi Partai Sarekat Islam atau PSI. Perubahan nama ini untuk makin memfokuskan perjuangan politik organisasi tersebut.

Pada tahun 1929, nama organisasi kembali berubah lagi menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) – nama yang dianggap makin merepresentasikan identitas perjuangan kemerdekaan. Pada tahun itu juga, PSII menggabungkan diri dengan Permufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI).

Baca Juga: Sutan Sjahrir, Korban Kuasa Soekarno?

Setelah Tjokroaminoto wafat pada tahun 1934, PSII mulai terpecah-pecah. Tokoh penting seperti Agus Salim memilih untuk hengkang setelah berselisih dengan adik Tjokroaminoto, Abikoesno Tjokrosoejoso.

Akibat keragaman cara pandang di antara anggota partai, PSII pecah menjadi beberapa partai politik, di antaranya Partai Islam Indonesia yang dipimpin Sukiman, PSII Kartosuwiryo, PSII Abikusno, dan PSII itu sendiri. Perpecahan itu melemahkan PSII dalam perjuangannya.

SI di Masa Kemerdekaan

Pasca-kemerdekaan Indonesia, PSII terus eksis menjadi partai politik. Pada Pemilu 1955, PSII duduk di urutan ke-5 dengan 8 kursi parlemen. Kemudian pada Pemilu 1971, PSII mendapatkan 10 kursi di parlemen – sebelum kemudian di-fusi-kan bersama partai-partai Islam lain ke dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Pada Pemilu 1999, PSII hanya meraih satu kursi di parlemen. Di Pemilu tahun tersebut, ada pula PSII 1905 yang tidak mendapatkan satu kursi pun. Sejak Kongres Nasional ke-35 di Garut pada tahun 2003, nama PSII diganti kembali menjadi Syarikat Islam.

Sejak kongres tersebut, eksistensi dan pergerakan Syarikat Islam yang masih ada dan tetap bertahan hingga saat ini. Organisasi ini kini dipimpin oleh mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Hamdan Zoelva.

Melalui keputusan tertinggi organisasi tersebut, Syarikat Islam kembali ke khittah-nya sebagai gerakan dakwah ekonomi. Pada akhirnya, Syarikat Islam – atau Sarekat Islam – akan selalu diingat sebagai salah satu organisasi besar yang berjasa untuk pergerakan kemerdekaan Indonesia.

Baca Juga: Narasi Pembubaran MUI, Islamofobia?


► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Ebook Promo Web Banner
spot_imgspot_img

#Trending Article

Anomali PSI: Gagal Karena Kuasa Jeffrie Geovanie?

Kegagalan PSI untuk lolos ke parlemen pusat dalam dua gelaran Pemilu berturut-turut memang menimbulkan pertanyaan besar.

Puan-Mega, Ada ‘Perang Sipil’ PDIP? 

Berbeda dari Megawati Soekarnoputri, Puan Maharani belakangan tunjukkan gestur yang lebih lembut kepada pemerintah dan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Mengapa demikian?

Ketua DPR, Golkar Lebih Pantas? 

Persaingan dua partai politik (parpol) legendaris di antara Partai Golkar dan PDIP dalam memperebutkan kursi Ketua DPR RI mulai “memanas”. Meskipun secara aturan PDIP paling berhak, tapi beberapa pihak menilai Partai Golkar lebih pantas untuk posisi itu. Mengapa demikian?

The Tale of Two Sons

Jokowi dan SBY bisa dibilang jadi presiden-presiden yang berhasil melakukan regenerasi politik dan sukses mendorong anak-anak mereka untuk terlibat di dunia politik.

Lolos “Seleksi Alam”, PKS-PKB Seteru Abadi?

Berkaca pada hasil Pileg 2024, PKB dan PKS agaknya akan menjadi dua entitas politik yang akan terlibat dalam persaingan ceruk suara pemilih Islam ke depan. Terlebih di saat PAN seakan telah melepaskan diri dari karakter Islam dan PPP harus “terdegradasi” dari kancah legislatif nasional.

Jokowi Makin Tak Terbendung?

Presiden Joko Widodo (Jokowi) dirumorkan meminta jatah menteri dari pemerintahan Prabowo Subianto. Apakah Jokowi makin tak terbendung?

Elon Musk dan Dimulainya Era Feudalisme Teknologi 

Perusahaan teknologi raksasa seperti Apple dan Starlink semakin memiliki keterikatan dengan dinamika politik. Jika pola ini terjaga, akan seperti apa pengaruhnya terhadap dunia politik di masa depan? 

Prabowonomics: Jurus ‘Lompatan Katak’?

Program makan siang dan susu gratis ala Prabowo merupakan jenis school feeding program. Mungkinkah ini jadi kunci penting Prabowonomics?

More Stories

Partai vs Kandidat, Mana Terpenting Dalam Pilpres 2024?

Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) tampak cukup bersaing dengan tiga purnawirawan jenderal sebagai kandidat penerus Prabowo Subianto sebagai Menteri Pertahanan (Menhan). Namun, di balik ingar bingar prediksi iitu, analisis proyeksi jabatan strategis seperti siapa Menhan RI berikutnya kiranya “sia-sia” belaka. Mengapa demikian?

Mencari Rente Melalui Parte: Kepentingan “Strongmen” dalam Politik

Oleh: Noki Dwi Nugroho PinterPolitik.com Berbicara mengenai "preman", yang terbersit di benark sebagian besar orang mungkin adalah seseorang dengan badan besar yang erat dengan dunia kriminalitas....

Adu Wacana Digital di Pilpres 2024: Kemana Hak-Hak Digital?

Oleh: M. Hafizh Nabiyyin PinterPolitik.com Hilirisasi digital. Ramai-ramai orang mengetikkan istilah tersebut di mesin pencari pasca debat calon wakil presiden (cawapres) yang dihelat 22 Desember 2023...