HomeRuang PublikPusaran Militer dalam Pilpres 2024

Pusaran Militer dalam Pilpres 2024

Oleh Daniel Pradina Oktavian

Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 memang masih terlampau lama. Meski begitu, sederet nama dan tokoh mulai muncul untuk menjadi kandidat dalam kontestasi politik tersebut. Di antara nama-nama tersebut, terdapat sosok-sosok yang memiliki pengalaman dalam bidang militer.


PinterPolitik.com

Meski masih dua tahun lagi, bursa calon presiden menjelang Pemilu Serentak 2024 kian memanas. Sejumlah nama masuk dalam daftar survei beberapa lembaga kajian. 

Tak ketinggalan sederet tokoh dari kalangan militer. Sebut saja Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, KSP Moeldoko, Ketum Partai Demokrat AHY, dan Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa.

Berdasarkan nama-nama tersebut, praktis hanya nama Jenderal Andika Perkasa yang masih aktif berdinas. Meskipun telah mendekati masa pensiun, jabatannya sebagai Panglima TNI adalah panggung ideal baginya untuk unjuk kemampuan di hadapan publik. Terlebih, Andika memiliki kedekatan tertentu dengan sosok Jokowi. 

Ia sempat menjadi Danpaspampres dan ditunjuk sebagai KSAD sebelum Presiden Jokowi memilihnya sebagai calon tunggal Panglima TNI di penghujung tahun 2021 lalu. Kini, jika benar ia berambisi menjadi Presiden, ia perlu memanfaatkan masa jabatannya yang kurang dari setahun itu.

Selanjutnya ada nama Prabowo Subianto tentu tak asing lagi. Purnawirawan Bintang Tiga yang kini menjadi Menteri Pertahanan itu tercatat telah tiga kali naik ke panggung pilpres. Namun, tak sekalipun ia memenangkannya. 

Tahun 2024 dianggap sebagai tahun terakhir bagi Prabowo jika masih berambisi menjadi Presiden. Posisinya sebagai Ketum Partai Gerindra tentu masih memberi pengaruh besar dalam memobilisasi pendukung setianya. 

Ia masih menempati posisi teratas dalam jajaran survei bakal capres dari kalangan militer, meskipun ia banyak ditinggalkan pendukungya dari kelompok konservatif. Ia justru harus bersaing ketat dengan Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo yang notabene dari kalangan sipil.

Sebagai mantan Panglima TNI, Moeldoko terbilang masih memiliki karier yang menjanjikan. Posisinya sebagai Kepala Staf Kepresidenan, membuatnya nyaman melakukan beberapa manuver politik. Sebut saja aksinya ketika mencoba mengambil alih kursi Ketum Partai Demokrat dari AHY. 

Kedudukannya di ring satu sebetulnya memicu polemik politik yang panjang, tapi ia tak bergeming. Hingga akhirnya Kongres Luar Biasa yang diadakan simpatisannya dinyatakan tidak sah oleh Kemenkumham. 

Ambisi Moeldoko sepertinya tak berhenti sampai di situ. Ia dinilai masih memiliki harapan lain mencari motor politik yang tepat meski banyak kalangan menilai Moeldoko telah ‘kehabisan bensin’.

Agus Harimurti Yudhoyono atau akrab disapa AHY, tampaknya ingin mencoba peruntungan dalam konstelasi politik nasional. Ia sempat digadang menjadi pasangan Prabowo dalam bursa Pilpres 2019, tapi urung terjadi. 

Baca juga :  TNI-Polri Jabat ASN, Harus "Dilucuti"?

Sejak memutuskan keluar dari TNI pada 2016 dan diikuti kekalahannya pada Pilgub DKI 2017, praktis AHY tak memiliki panggung politik selain posisinya sebagai Ketum Demokrat. Kini, sesudah enam tahun masuk ke dunia politik, AHY terlihat sudah jauh lebih matang. 

Perlahan ia mampu melepaskan diri dari bayang-bayang ayahnya, yang merupakan Presiden ke-6, SBY. Dua tahun terakhir ini sebetulnya waktu yang tepat jika AHY ingin ikut unjuk gigi di depan publik. Terlebih, ia masih bisa memanfaatkan ceruk suara anak muda yang menginginkan kebaruan.

Sebetulnya masih ada beberapa nama yang disebut-sebut punya peluang. Ia adalah mantan Kepala BNPB Letjen Purn. TNI Doni Monardo dan KSAD Jenderal TNI Dudung Abdurahman. Namun, kans keduanya dinilai jauh lebih rendah ketimbang nama-nama di atas. 

Doni mulai banyak dikenal publik sejak posisinya sebagai Ketua Satgas Penanggulangan Covid-19. Ia dinilai mampu mengendalikan situasi pandemi meski banyak kebijakan dan keadaan yang simpang siur. 

Sementara, Dudung mulai dikenal sejak ketegasannya mencopot baliho ormas yang dinilainya penuh provokasi. Sayangnya, mereka butuh keajaiban untuk mampu diperhitungkan mengingat Pilpres tinggal dua tahun lagi.

Fenomena kepemimpinan militer dalam ranah sipil memang masih cukup diperhitungkan di negara kita. Itulah terlihat dari masyarakat yang sering kali menginginkan membutuhkan peranan militer dalam beberapa aktivitas publik, misalnya saja kehadiran Babinsa di tingkat desa dalam musyawarah desa. Ataupun di level nasional, pemilihan institusi TNI dalam upaya kolaboratif penanggulangan pandemi Covid-19 sampai saat ini. Bahkan, TNI bersama dengan Polri menjadi garda terdepan penerapan protokol kesehatan di seluruh wilayah di Indonesia. 

Riset yang dilakukan oleh Onder (2010) berjudul What Accounts for Military Intervenstions in Politics: A Cross-National menyebutkan bahwa kuatnya intervensi militer merupakan hal yang biasa di negara demokrasi dan negara totaliter. Bahkan, dalam banyak kasus, militer sering kali memberikan pengaruh yang kuat dalam kebijakan pemerintah dan berpeluang besar mengambil alih institusi-institusi negara atas nama keamanan negara.

Sebagai negara yang pernah dijajah lebih dari 350 tahun, wajar bila Indonesia menempatkan faktor keamanan negara menjadi salah satu hal penting dan prioritas. Sampai saat ini, Kementerian Pertahanan masih menjadi salah satu kementerian dengan anggaran terbesar. Fourney, dalam tulisannya berjudul Congress and the Budgetary Process : The Politics of Military, bahkan menyebut tak ada satu orang pun yang mampu secara signifikan mempengaruhi anggaran militer suatu negara, tak terkecuali presiden.

Baca juga :  Jalan Terjal Sengketa Pilpres 2024

Krusialnya peran militer menjadikannya tak aneh jika kalangan militer masuk ke ranah kepemimpinan sipil melalui pemilu. Secara historis, Indonesia sangat lekat dengan pemimpin-pemimpin berlatar belakang militer. 

Banyak kepala daerah, terutama provinsi-provinsi di Pulau Jawa, dipilih dari kalangan militer. Negara kita juga tercatat dua kali dipimpin kalangan militer, yaitu Soeharto dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). 

Dalam jurnal berjudul Militer dan Pemilu-Pemilu di Indonesia, Sri Yanuarti (2018) menjelaskan dua hal yang perlu dicatat mengenai keterlibatan militer ke dalam pemilihan umum. Pertama adalah militer menjadi bagian integral dari masyarakat dan memiliki tanggung jawab politik dalam tatanan demokrasi dan supremasi hukum dalam negara. Artinya, masuknya militer bukan merupakan sebuah bentuk ancaman terhadap demokrasi. Militer justru dinilai mampu mendorong efisiensi dan efektivitas kinerja pemerintahan. Beberapa negara malah secara kostitusional tidak membatasi peran militer dalam ranah sipil maupun politik.

Kedua adalah perlunya kontrol terhadap militer oleh otoritas pertahanan dalam segala bentuk aktivitas politik. Hal ini dianggap tidak sesuai dengan prinsip akuntabilitas angkatan bersenjata. Menurut Robin Luckman (1996) kemapanan militer dalam hak-hak politik justru akan mengancam demokrasi yang dibangun. Sebab, militer akan tetap enggan melepas hak-hak istimewanya. Selain itu, ia juga menyoroti komitmen yang dibangun pemerintah dalam sistem demokrasi yang tentu menuntut kebebasan sipil.

Maka kita bersama tahu, peluang militer dalam tatanan politik Indonesia masih sangat terbuka. Sebagai negara demokrasi, Indonesia tentu tak boleh menutup kemungkinan bagi siapa saja untuk masuk menjadi pilihan rakyat untuk menjadi pemimpin. Ini pun berlaku bagi kalangan militer. Asalkan, sudah mengundurkan diri dari instansi kemiliterannya. Sebab, negara kita telah menyepakati pemisahan ruang antara sipil dan militer setelah lamanya rezim Orde Baru yang dinilai otoriter dan mengekang kebebasan sipil. 

Tentu, kini keadaan berbeda. Kita tak bisa serta merta menilai calon-calon berlatar belakang militer akan mengantar kita kepada masa-masa seperti Orde Baru. Tapi dengan pengalaman yang ada, kita patut menilai dengan cerdas siapa calon pemimpin yang akan tetap menjaga amanah reformasi, yaitu prinsip demokrasi yang seluas-luasnya bagi rakyat. 


Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.


Profil-Ruang-Publik-Daniel-Pradina-Oktavian

Banner Ruang Publik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

spot_imgspot_img

#Trending Article

Anomali PSI: Gagal Karena Kuasa Jeffrie Geovanie?

Kegagalan PSI untuk lolos ke parlemen pusat dalam dua gelaran Pemilu berturut-turut memang menimbulkan pertanyaan besar.

Puan-Mega, Ada ‘Perang Sipil’ PDIP? 

Berbeda dari Megawati Soekarnoputri, Puan Maharani belakangan tunjukkan gestur yang lebih lembut kepada pemerintah dan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Mengapa demikian?

Ketua DPR, Golkar Lebih Pantas? 

Persaingan dua partai politik (parpol) legendaris di antara Partai Golkar dan PDIP dalam memperebutkan kursi Ketua DPR RI mulai “memanas”. Meskipun secara aturan PDIP paling berhak, tapi beberapa pihak menilai Partai Golkar lebih pantas untuk posisi itu. Mengapa demikian?

The Tale of Two Sons

Jokowi dan SBY bisa dibilang jadi presiden-presiden yang berhasil melakukan regenerasi politik dan sukses mendorong anak-anak mereka untuk terlibat di dunia politik.

Lolos “Seleksi Alam”, PKS-PKB Seteru Abadi?

Berkaca pada hasil Pileg 2024, PKB dan PKS agaknya akan menjadi dua entitas politik yang akan terlibat dalam persaingan ceruk suara pemilih Islam ke depan. Terlebih di saat PAN seakan telah melepaskan diri dari karakter Islam dan PPP harus “terdegradasi” dari kancah legislatif nasional.

Jokowi Makin Tak Terbendung?

Presiden Joko Widodo (Jokowi) dirumorkan meminta jatah menteri dari pemerintahan Prabowo Subianto. Apakah Jokowi makin tak terbendung?

Elon Musk dan Dimulainya Era Feudalisme Teknologi 

Perusahaan teknologi raksasa seperti Apple dan Starlink semakin memiliki keterikatan dengan dinamika politik. Jika pola ini terjaga, akan seperti apa pengaruhnya terhadap dunia politik di masa depan? 

Prabowonomics: Jurus ‘Lompatan Katak’?

Program makan siang dan susu gratis ala Prabowo merupakan jenis school feeding program. Mungkinkah ini jadi kunci penting Prabowonomics?

More Stories

Partai vs Kandidat, Mana Terpenting Dalam Pilpres 2024?

Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) tampak cukup bersaing dengan tiga purnawirawan jenderal sebagai kandidat penerus Prabowo Subianto sebagai Menteri Pertahanan (Menhan). Namun, di balik ingar bingar prediksi iitu, analisis proyeksi jabatan strategis seperti siapa Menhan RI berikutnya kiranya “sia-sia” belaka. Mengapa demikian?

Mencari Rente Melalui Parte: Kepentingan “Strongmen” dalam Politik

Oleh: Noki Dwi Nugroho PinterPolitik.com Berbicara mengenai "preman", yang terbersit di benark sebagian besar orang mungkin adalah seseorang dengan badan besar yang erat dengan dunia kriminalitas....

Adu Wacana Digital di Pilpres 2024: Kemana Hak-Hak Digital?

Oleh: M. Hafizh Nabiyyin PinterPolitik.com Hilirisasi digital. Ramai-ramai orang mengetikkan istilah tersebut di mesin pencari pasca debat calon wakil presiden (cawapres) yang dihelat 22 Desember 2023...