HomePolitikNatuna, Perubahan Iklim, dan Pangan Perikanan

Natuna, Perubahan Iklim, dan Pangan Perikanan

Oleh Niko Amrullah, Anggota Dewan Pakar Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI)

Kecil Besar

Polemik dan isu sengketa Indonesia-Tiongkok di zona ekonomi eksklusif laut Natuna bisa jadi menggambarkan adanya kepentingan negara asing untuk memenuhi kebutuhan pangannya. Pasalnya, di tengah-tengah perubahan iklim, kebutuhan pangan bisa jadi semakin terancam.


PinterPolitik.com

Dengan adanya ancaman perubahan iklim, tidak mengherankan jika Tiongkok kini tampak berambisi untuk meningkatkan perikanannya di perairan Natuna – meski dengan dalih hukum internasional yang cacat sekalipun. Adapun contoh lainnya yaitu negara-negara pengekspor pangan utama – seperti Amerika Serikat (AS), Kanada, Australia, dan Thailand – akhir-akhir ini mulai membatasi ekspor bahan pangannya demi mengamankan stok pangan nasional mereka.

Dalam kondisi demikian, sungguh disayangkan Visi Indonesia Maju yang digaungkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak mengarah kepada upaya mitigasi dampak perubahan iklim dan ancaman krisis pangan tersebut.

Justru, kelima hal strategis – infrastuktur, SDM, investasi seluas-luasnya, reformasi birokrasi, dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang tepat sasaran – berujung pada orientasi memaksimalkan pertumbuhan ekonomi yang juga masih ditopang oleh energi yang sumbernya masih didominasi batu bara.  Padahal, batu bara ditengarai menjadi salah satu kontributor pemanasan global.

Iklim Berubah

Duapuluh tahun yang lalu, UN Population Fund telah memprediksi bahwa tahun 2050 – akan disertai dengan tambahan populasi sekitar 2,32 miliar jiwa yang tersebar di seluruh dunia – terancam kebutuhan pangannya di bawah tekanan perubahan iklim. Hal ini juga diperkuat oleh International Energy Agency (IEA) dalam laporannya tahun 2019 yang menyebutkan bahwa emisi karbondioksida (CO2) secara global mengalami peningkatan paling tinggi selama 10 tahun terakhir.

Emisi CO2 global tumbuh 1,7% pada 2018 hingga mencapai rekor tertinggi bersejarah 33,1 Gt CO2. Pertumbuhan tersebut merupakan tingkat pertumbuhan tertinggi sejak 2013, dan 70% lebih tinggi dari peningkatan rata-rata sejak 2010.

Pada ertengahan abad 21, populasi manusia diprediksi akan mencapai lebih dari 9 miliar orang. Di sisi lain, perubahan iklim dan penurunan kualitas lingkungan menjadi satu dari sekian tumpukan problem yang berujung pada krisis pangan dunia.

Baca juga :  Dedi Mulyadi's (Blunder) War Against Ormas?

Degradasi lingkungan disertai cuaca ekstrem semakin menyudutkan sumber bahan pangan alami dari darat. Berbagai variasi padi unggulan yang adaptif terhadap perubahan iklim terbentur juga dengan menyempitnya lahan yang berubah fungsi menjadi pemukiman seiring dengan pertumbuhan populasi manusia yang kian bertambah.

Terlebih, FAO (2018) memprediksi bahwa harga pangan akan melambung hingga 12 % pada tahun 2030, salah satu konsekuensinya adalah bertambahnya jumlah orang miskin hingga seratus juta jiwa.

Pangan Perikanan

Maka dari itu, laut menjadi alternatif sumber pangan. Dua pertiga wilayah kedaulatan NKRI adalah sumber pangan yang dapat dioptimalkan guna menopang kedaulatan pangan.

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyebutkan bahwa estimasi potensi sumber daya perikanan mencapai sekitar 12,5 juta ton atau setara dengan 7,3 % total potensi ikan laut dunia, dan hingga kini baru dimanfaatkan melalui usaha perikanan tangkap sebesar 6,6 juta ton atau sekitar 53 %.

Luas lahan pesisir (payau) yang potensial untuk budidaya perikanan (seperti udang, bandeng, kerapu, kepiting soka, dan rumput laut) sekitar 2,96 juta hektar (ha) baru dimanfaatkan sekitar 24% (715 ribu ha). Sementara, potensi perairan laut untuk usaha budidaya perikanan sekitar 12 juta ha dengan pemanfaatan baru mencapai 285 ribu ha atau hanya sekitar 2,36%.

Dua peristiwa teranyar yakni polemik benih lobster dan masuknya nelayan Tiongkok yang dikawal oleh Coast Guard-nya adalah potret bahwa negara-negara lain telah mengincar sumber daya kelautan dan perikanan Indonesia. Mereka menyadari bahwa Indonesia memiliki surplus sumber daya alam namun defisit pengelolaan.

Tak boleh lengah, potensi yang belum dioptimalkan terus didorong untuk dimaksimalkan dalam kerangka kolaborasi dengan masyarakat, bukan malah sebaliknya dengan eksploitasi masyarakat berkedok investasi. Tak sedikit terjadi konflik antara masyarakat dengan korporasi baik di sektor perkebunan maupun kelautan dan perikanan, bahkan berujung pada kriminalisasi rakyat.

Baca juga :  Xi Jinping, Nezha Inside?

Meski investasi akan dibuka seluas-luasnya, hingga aji-aji pamungkas bernama omnibus law dikedepankan, pemerintah tak boleh abai akan fungsi konstitusionalnya, yakni untuk mengelola sumber daya alam sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.

Selain itu, budidaya perikanan perlu terus didorong di tengah tingkat pemanfaatannya yang masih rendah. Fasilitasi dalam bentuk akses permodalan, manajemen usaha, dan pemasaran menjadi hal yang diperlukan untuk menggenjot produksi budidaya perikanan.

Perikanan tangkap juga perlu ditingkatkan kualitas tata kelolanya. Mulai dari perizinan, konflik ruang nelayan besar dan nelayan kecil, hingga praktik perdagangan yang adil pada tingkat nelayan.

Lebih lanjut, tingkat akurasi pengetahuan tradisional para nelayan tidak bisa dipandang sebelah mata sebagai informasi pelengkap dalam adaptasi perubahan iklim. Keuneunong – salah satu pengetahuan tradisional nelayan di Aceh dalam menentukan masa bercocok tanam maupun masa melaut – memiliki tingkat akurasi hingga 85 % bila disandingkan dengan perhitungan BMKG.

Begitupun dengan pengetahuan-pengetahuan tradisional lainnya seperti Sasi di Maluku, Awig-awig di NTB, Lilifuk di NTT, Mane’e di Sulawesi Utara, Petik laut di Banyuwangi, dan berbagai kekayaan budaya bahari lainnya sebagai bentuk kearifan masyarakat dalam menjaga kelestarian sumber pangan perikanan perlu diperhitungkan.

“Ojo dumeh, eling lan waspodo,” begitu Ki Semar memberikan petuah agar bangsa ini tak jumawa dengan berlimpahnya sumber daya kelautan dan perikanannya karena bangsa lain pun tak segan untuk memanfaatkannya jika kita tak sanggup mengelolanya dengan baik. Politik luar negeri yang ofensif di laut – dibarengi dengan perbaikan tata kelola perikanan domestik –akan menjadi benteng kedaulatan pangan perikanan kita.

Tulisan milik Niko Amrullah, Anggota Dewan Pakar Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI).

“Disclaimer: Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.”

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

spot_imgspot_img

#Trending Article

Anies-Gibran Perpetual Debate?

Respons dan pengingat kritis Anies Baswedan terhadap konten “bonus demografi” Gibran Rakabuming Raka seolah menguak kembali bahwa terdapat gap di antara mereka dan bagaimana audiens serta pengikut mereka bereaksi satu sama lain. Lalu, akankah gap tersebut terpelihara dan turut membentuk dinamika sosial-politik tanah air ke depan?

Korban Melebihi Populasi Yogya, Rusia Bertahan? 

Perang di Ukraina membuat Rusia kehilangan banyak sumber dayanya, menariknya, mereka masih bisa produksi kekuatan militer yang relatif bisa dibilang setimpal dengan sebelum perang terjadi. Mengapa demikian? 

Aguan dan The Political Conglomerate

Konglomerat pemilik Agung Sedayu Group, Aguan alias Sugianto Kusuma, menyiapkan anggaran untuk program renovasi ribuan rumah.

Hasto Will be Free?

Dengarkan artikel ini? Audio ini dibuat menggunakan AI. Interpretasi terbuka saat Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDIP Hasto Kristiyanto tampil begitu percaya diri dan justru sumringah di tengah...

Rusia dan Bayang-Bayang “Rumah Bersama Eropa”

Di masa lampau, Rusia pernah hampir jadi pemimpin "de facto" Eropa. Masih mungkinkah hal ini terjadi?

Jokowi & UGM Political Lab?

Gaduh ijazah UGM Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) yang selalu timbul-tenggelam membuka interpretasi bahwa isu tersebut adalah "kuncian" tertentu dalam sebuah setting manajemen isu. Akan tetapi, variabel UGM sendiri juga sangat menarik, mengingat sebuah kampus nyatanya dapat menjadi inkubator bagi aktor politik di masa depan mengaktualisasikan idenya mengenai negara.

Nadir Pariwisata: Kita Butuh IShowSpeed

Kondisi sektor pariwisata Indonesia kini berada di titik nadir. Di balik layar kebijakan dan pernyataan resmi pemerintah, para pelaku industri perhotelan sedang berjuang bertahan dari badai krisis.

Prabowo dan Lahirnya Gerakan Non-Blok 2.0?

Dengan Perang Dagang yang memanas antara AS dan Tiongkok, mungkinkah Presiden Prabowo Subianto bidani kelahiran Gerakan Non-Blok 2.0?

More Stories

Kerajaan-Kerajaan Ter-Epic: Dari Majapahit Hingga Dinasti Habsburg

https://youtu.be/1WxhA5Ojve8 Pinterpolitik.com – Dari Majapahit hingga Habsburg, ini adalah beberapa kerajaan yang meraih kejayaan di masanya dan meninggalkan banyak warisan dalam sejarah peradaban manusia. Berikut PinterPolitik merangkum...

Ini Strategi Putin Meraih Stabilisasi?

Oleh: Muhammad Ferdiansyah, Shafanissa Arisanti Prawidya, Yoseph Januar Tedi PinterPolitik.com Dalam dua dekade terakhir, nama Vladimir Putin telah identik dengan perpolitikan di Rusia. Sejak periode awal...

Pesta Demokrasi? Mengkritisi Pandangan Pemilu

Oleh: Noki Dwi Nugroho PinterPolitik.com Sejak kemerdekaannya pada Agustus 1945, pendiri bangsa Indonesia berkonsensus untuk menjadikan wilayah bekas jajahan Kerajaan Belanda yang bernama Hindia Belanda ini...