HomeNalar PolitikWhat's Next, Ahok?

What’s Next, Ahok?

Vonis hakim itu menjadi pukulan bagi para pendukung Ahok. Mereka yang hadir di sekitar kompleks Kementerian Pertanian (Kementan), Ragunan, Jakarta Selatan sejak pagi tersebut banyak yang menitikkan air mata dan menangis.


PinterPolitik.com

“The more laws, the less justice”- Cicero (106-43 SM), Pengacara Romawi

[dropcap size=big]K[/dropcap]etok palu hakim ketua Dwiarso Budi Santiarto menandai resminya vonis yang dijatuhkan kepada Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. Ahok dihukum 2 tahun penjara dan diminta untuk segera ditahan. Ahok dianggap terbukti secara sah melakukan penodaan agama seperti yang disebutkan dalam Pasal 156a KUHP. Vonis ini lebih berat jika dibandingkan dengan tuntutan Jaksa yang menuntut Ahok dengan dakwaan Pasal 156 KUHP. Jaksa hanya menuntut Ahok dengan hukuman penjara 1 tahun dengan 2 tahun masa percobaan.

Ketok palu itu seolah menjadi akhir dari perjalanan kasus dugaan penistaan agama yang selama lebih dari 6 bulan ini dituduhkan kepada Ahok. Setelah berdikusi dengan tim kuasa hukumnya, Ahok memutuskan untuk mengajukan banding atas putusan tersebut. Maka, babak baru proses hukum ini kembali berlanjut.

Vonis hakim tersebut menjadi pukulan bagi para pendukung Ahok. Mereka yang hadir di sekitar kompleks Kementerian Pertanian (Kementan), Ragunan, Jakarta Selatan sejak pagi tersebut banyak yang menitikkan air mata dan menangis. Sementara di kubu sebelah, para pendemo kontra Ahok bisa tersenyum karena tuntutan mereka akhirnya terpenuhi.

Para pendukung Ahok membawa bunga mawar ke depan gedung pengadilan, situasi yang mirip dengan dukungan untuk mantan Perdana Menteri Thailand, Yingluck Shinawatra, saat diadili pada Agustus 2016 lalu.

Berbagai macam reaksi juga bermunculan, terutama di media sosial. Banyak di antaranya mempertanyakan keputusan hakim yang dinilai tidak adil dan tidak sesuai dengan fakta hukum yang ada. Putusan hakim dinilai telah diintervensi oleh pihak-pihak yang menginginkan agar Ahok dipenjara.

Pengamat politik seperti Direktur Eksekutif Charta Politika, Yunarto Wijaya bahkan menyebut vonis hakim tersebut telah membuktikan bahwa Indonesia lebih menginginkan orang-orang yang bermulut manis ketimbang yang punya integritas.

Ahok pun akhirnya ditahan di Rumah Tahanan (Rutan) Cipinang. Namun, karena massa pendukung Ahok mendatangi Rutan Cipinang, Ahok akhirnya dipindahkan ke Markas Komando (Mako) Brimob Kelapa Dua, Depok. Hal ini tidak lepas dari keberadaan pendukung Ahok yang terus berada di depan Rutan Cipinang.

Baca juga :  Operasi Bawah Tanah Singkirkan PDIP dari Ketua DPR?

What’s Next, Ahok?

Ahok telah mengajukan banding atas vonis hakim tersebut. Karena Ahok telah ditahan, Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tjahjo Kumolo, secara resmi melantik Wakil Gubernur, Djarot Saiful Hidayat untuk menjadi Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur DKI Jakarta. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi kekosongan kekuasaan di pemerintahan DKI Jakarta. Walaupun telah mengajukan banding, Ahok tetap ditahan sesuai dengan keputusan hakim saat itu.

Terkait putusan hakim, pengamat hukum dan pengajar di Universitas Pelita Harapan (UPH), Jamin Ginting mengatakan bahwa jarang terjadi putusan hakim berbeda dengan tuntutan jaksa. Dalam kasus Ahok ini, Jaksa menuntut Ahok dengan menggunakan pasal 156 KUHP, sementara hakim menggunakan pasal 156-a sebagai dasar keputusan. Dalam wawancaranya dengan Metro TV, Jamin menilai hal ini sangat jarang terjadi di mana pertimbangan hukum yang digunakan oleh hakim menggunakan pasal yang berbeda dengan yang dituntut oleh jaksa.

Selain itu, menurut Jamin, seharusnya saksi yang tidak menyaksikan langsung peristiwa yang terjadi di Kepulauan Seribu – saat Ahok dianggap menista agama – sebetulnya tidak bisa dipakai kesaksiannya untuk memberatkan hukuman. Saksi yang tidak menyaksikan langsung hanya bisa dipakai dalam kapasitasnya sebagai saksi yang meringankan. Hal ini sesuai dengan keputusan yang pernah dibuat oleh Mahkamah Konstitusi.

Dalam keputusannya, hakim juga menyatakan bahwa apa yang dilakukan Ahok di Kepulauan Seribu tidak berhubungan dengan Pilkada Bangka Belitung, sehingga eksepsi Ahok dan kuasa hukum ditolak. Jamin juga mengatakan bahwa kewenangan Ahok sebagai Gubernur dengan demikian berhenti dan Mendagri akan mengangkat wakil Gubernur sebagai Gubernur definitif hingga masa akhir jabatan.

Menurut Jamin,  saat ini sedang terjadi sejarah, negara beragama berhadapan dengan persoalan agama. Namun, ia meyayangkan putusan hakim yang mengabaikan pertimbangan-pertimbangan dalam tuntutan jaksa, kuasa hukum, dan eksepsi terdakwa.

Selain itu, hakim juga mengabaikan Penetapan Presiden Republik Indonesia/PNPS Nomor 1 Tahun 1965. Ia juga menilai hal ini bisa menjadi preseden hukum, sehingga akan makin banyak orang yang mudah diperkarakan karena dianggap menistakan agama. Hal inilah yang membuat kasus ini mendapat perhatian bahkan oleh lembaga HAM PBB.

Baca juga :  The Presidents’s Sons: Didit vs Gibran

Terkait putusan banding yang diambil oleh Ahok dan kuasa hukumnya, Jamin menilai proses hukum ini akan memakan waktu cukup lama hingga beberapa bulan ke depan. Banding sendiri bisa diartikan sebagai upaya hukum dari pihak yang merasa tidak puas dengan putusan Pengadilan tingkat pertama dan dapat diajukan dalam tenggang waktu 14 hari sejak tanggal putusan itu diberitahukan kepada para pihak dan diajukan kepada Pengadilan Tinggi (Pengadilan tingkat banding) melalui Pengadilan tingkat pertama yang memutuskan perkara tersebut.

Hasil keputusan banding bisa berupa penguatan putusan, perubahan putusan, atau pembatalan putusan. Banding diatur dalam Bab XVII KUHAP. Jika pihak-pihak yang berperkara masih tidak puas dengan hasil putusan banding, masih bisa mengajukan Kasasi ke Mahkamah Agung. Jadi, dengan diajukannya banding, perkara Ahok ini masih terus akan berproses.

Balada Ahok: Sampai Ke Mana?

Putusan hakim yang lebih berat dari tuntutan jaksa merupakan hal yang sangat jarang terjadi – walaupun dalam konteks peradilan, hal tersebut bisa saja terjadi. Namun, pertimbangan yang dipakai oleh hakim dalam kasus Ahok ini semakin menguatkan indikasi bahwa nuansa politik dalam putusan tersebut memang sangat kental.

Putusan tersebut juga mendatangkan reaksi bukan hanya dari dalam negeri saja, tetapi juga dari luar negeri. Beberapa anggota parlemen Malaysia, misalnya Charles Santiago, mengatakan bahwa hal ini bisa berdampak pada posisi Indonesia dan ASEAN secara keseluruhan. Apalagi Indonesia selama ini dikenal sebagai negara yang sangat menjunjung tinggi toleransi antar umat beragama.

Saat ini situasi sosial-politik masyarakat Indonesia terpecah ke dalam dua kubu. Situasi ini akan semakin menjadi-jadi dan bertambah buruk jika tidak ada penyelesaian dan rekonsiliasi di tingkat nasional. Jadi, pertanyaannya mungkin bukan ‘what’s next Ahok’, tetapi ‘what’s next Indonesia’?

Keputusan hakim bisa dianggap sebagai pertimbangan yang paling baik di antara semua kemungkinan terburuk, setidak-tidaknya untuk mencegah hal-hal yang lebih buruk terjadi. Namun, jika situasi seperti ini terus-terusan terjadi, maka kedaulatan hukum di negara ini akan menjadi tanda tanya besar. Peradilan akan tunduk pada tekanan kelompok dan oleh karenanya tersandera kepentingan-kepentingan kelompok-kelompok tersebut.

Dengan demikian, apa yang dikatakan Cicero di awal bahwa ‘semakin banyak hukum, semakin hilang keadilan’ akan menjadi bab-bab baru kajian hukum di ruang-ruang kuliah hukum dan hiasan pada diktat-diktat professor hukum. (S13)

 

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Iran Punya Koda Troya di Bahrain? 

Iran sering dipandang sebagai negara yang memiliki banyak proksi di kawasan Timur Tengah. Mungkinkah Bahrain jadi salah satunya? 

“Sepelekan” Anies, PKS Pura-Pura Kuat?

Telah dua kali menyatakan enggan mengusung Anies Baswedan di Pilkada Jakarta 2024, PKS kiranya sedang mempraktikkan strategi politik tertentu agar daya tawarnya meningkat. Namun di sisi lain, strategi itu juga bisa saja menjadi bumerang. Mengapa demikian?

Gibran, Wapres Paling Meme?

Usai MK bacakan putusan sengketa Pilpres 2024, Gibran Rakabuming Raka, unggah fotonya sendiri dengan sound berjudul “Ahhhhhh”.

The Battle of Javanesia 2: Proxy War Jokowi vs Prabowo di Pilkada 2024

Pilkada serentak 2024 akan jadi panggung pertaruhan partai politik dan elite nasional untuk menentukan siapa yang jejaring kekuasaannya mampu merambah hingga ke level terbawah.

Triad, Grup Mafia Penguasa Asia?

Kelompok mafia tidak hanya ada di negara-negara Barat, di Asia, sebuah kelompok yang disebut Triad kerap disamakan dengan mafia-mafia ala Italia. Bagaimana sejarahnya?

Manuver Mardiono, PPP “Degradasi” Selamanya?

Kendati belakangan berusaha tetap membawa PPP eksis di kancah perpolitikan nasional dengan gestur merapat ke koalisi Prabowo-Gibran, Muhamad Mardiono agaknya tetap akan cukup sulit membawa PPP bangkit jika tak membawa perubahan signifikan. Mengapa demikian?

Simpati, ‘Kartu’ Rahasia Prabowo?

Prabowo meminta relawan dan pendukungnya untuk tidak berdemo agar jaga perdamaian dan tensi politik. Apakah ini politik simpati ala Prabowo?

Sembako Siap Melambung Akibat Iran? 

erang Iran-Israel diprediksi akan berdampak besar pada ekonomi Indonesia. Mengapa demikian? 

More Stories

The Battle of Javanesia 2: Proxy War Jokowi vs Prabowo di Pilkada 2024

Pilkada serentak 2024 akan jadi panggung pertaruhan partai politik dan elite nasional untuk menentukan siapa yang jejaring kekuasaannya mampu merambah hingga ke level terbawah.

Siasat Megawati Pengaruhi Para Hakim MK

Megawati mengirimkan pengajuan diri menjadi amicus curiae atau “sahabat pengadilan” yang merupakan pendapat hukumnya kepada para Hakim MK terkait sengketa Pilpres 2024.

Diskualifikasi Gibran: Putusan Terbaik atau Terburuk MK?

Opsi mendiskualifikasi Gibran sebagai cawapres, tetapi tetap mengesahkan kemenangan Prabowo adalah pilihan yang tengah didiskusikan oleh banyak pihak menuju pembacaan putusan MK terkait sengketa Pilpres 2024.