HomeNalar PolitikUU Ciptaker, Awal Plutokrasi Indonesia?

UU Ciptaker, Awal Plutokrasi Indonesia?

Seri Pemikiran Kishore Mahbubani #18

Covid-19 ternyata memberi dampak sebaliknya untuk para miliarder. Mayoritas miliarder di seluruh dunia mengalami peningkatan jumlah kekayaan yang fantastis beberapa bulan terakhir. Jika ditotal peningkatan kekayaan itu mencapai Rp150 ribu triliun. Sementara pada saat yang sama mayoritas masyarakat lainnya mengalami keterpurukan ekonomi. Di AS misalnya, 40 juta warga menjadi pengangguran. Tak heran, banyak pihak kemudian melihat ini dalam kacamata yang lebih besar terkait potensi pergeseran kekuasaan kepada orang-orang kaya – hal yang sering disebut sebagai plutokrasi. Benarkah demikian?


PinterPolitik.com

“Throughout human history, wise men have warned of the dangers of plutocracy”.

::Kishore Mahbubani, akademisi dan mantan diplomat asal Singapura::

Jelang Pilpres Amerika Serikat (AS) 2020, banyak ekonom dan pengamat politik internasional membuat analisis dan prediksi terkait akan seperti apa negara tersebut di tahun-tahun yang akan datang.

Donald Trump sebagai kandidat petahana memang dihadapkan pada situasi sulit. Pasalnya, simpati publik terhadap dirinya terus menurun, sementara di saat yang sama ia harus membawa negaranya keluar dari krisis kesehatan akibat Covid-19 yang nyatanya juga memberikan dampak ekonomi yang besar. Masyarakat ekonomi menengah ke bawah memang menjadi kelompok yang paling terdampak pandemi ini.

Menariknya, beberapa ulasan yang dibuat di media seperti Business Insider dan The Guardian menyebutkan bahwa di tengah kesulitan yang menimpa sekitar 40 juta warga negara tersebut yang jatuh ke dalam jurang pengangguran, nyatanya para miliarder yang mengisi daftar teratas sebagai orang-orang terkaya di dunia justru mendapatkan keuntungan berlipat dalam beberapa bulan terakhir. Bahkan, total kenaikan kekayaan keseluruhan miliarder tersebut diklaim mencapai angka US$10,2 triliun atau sekitar Rp150 ribu triliun.

Konteks pembalikan situasi terkait keuntungan ekonomi tersebut menarik untuk dilihat pasca hancuranya pasar saham internasional pada Maret 2020 lalu. Selain itu, dengan konteks politik yang terjadi di AS, pertautan antara para orang kaya itu dengan wajah demokrasi di negara yang disebut paling demokratis itu, menjadi sebuah pertaruhan besar.

Hal ini setidaknya diulas secara spesifik oleh akademisi dan mantan diplomat asal Singapura, Kishore Mahbubani. Dalam salah satu artikel yang diterbitkan di The Diplomat, Mahbubani mempertanyakan ulang status AS sebagai sebuah negara demokrasi, sembari memberikan gambar besar bagaimana negara adikuasa itu telah terjun ke dalam sebuah plutokrasi.

Buat yang belum tahu, plutokrasi adalah model pemerintahan di mana kekuasaan dipegang oleh sekelompok orang kaya yang mendapatkan kekuasaannya karena faktor banyaknya harta yang dimilikinya.

Fenomena plutokrasi ini nyatanya juga menarik untuk ditarik ke Indonesia, terutama ketika beberapa waktu terakhir publik diramaikan oleh perdebatan soal Undang-Undang Cipta Kerja yang disebut lebih banyak mengutamakan kepentingan pengusaha – mereka-mereka yang umumnya masuk dalam golongan orang kaya.

Lalu, seperti apa konteks plutokrasi ini dimaknai dan mungkinkah model pemerintahan tersebut akan terjadi di Indonesia?

Kejayaan Plutokrasi dan Matinya Demokrasi

Dalam bukunya Republic, Plato menulis pemikiran gurunya, Socrates, tentang konteks hubungan antara kekayaan dengan politik.

Socrates secara tegas menyebutkan bahwa memilih seorang kapten kapal hanya dari ukuran kekayaannya adalah hal yang berbahaya. Mengatur negara sama seperti mengarungi lautan, dan ukuran kekayaan kadang kala tidak bisa memberikan jaminan kapal – dalam hal ini negara – akan baik-baik saja kalau hal tersebut yang dijadikan patokan.

Baca juga :  PDIP Gabung Prabowo, Breeze atau Hurricane? 

Dalam tulisannya Mahbubani juga mengutip kata-kata Presiden ke-26 AS Theodore Roosevelt Jr. yang menyebutkan bahwa dari segala macam tirani kekuasaan, yang paling tidak menarik dan vulgar adalah yang berhubungan dengan plutokrasi.

Pada praktiknya, ekonom peraih hadiah Nobel, Joseph Stiglitz menerjemahkan plutokrasi sebagai sistem pemerintahan dari 1 persen masyarakat, untuk 1 persen masyarakat dan oleh 1 persen masyarakat. Angka 1 persen ini mengacu pada jumlah bagian dari masyarakat yang memiliki kekayaan berlimpah. Apa yang disebutkan Stiglitz tersebut merupakan plesetan dari definisi demokrasi sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.

Terkait AS, menurut Mahbubani sendiri negara tersebut mulai bergerak menuju plutokrasi ketika di tahun 1980-an Presiden Ronald Reagan mengeluarkan salah satu pernyataan paling terkenalnya yang menunjuk pemerintah sebagai sumber dari berbagai persoalan yang ada. Pemerintah pun akhirnya didorong keluar dari ekonomi dan negara akhirnya masuk ke fase bergantung sepenuhnya pada pasar.

Akibatnya, relasi ekonomi dengan pengusaha di dalamnya menjadi sangat kuat. Ini kemudian mempengaruhi dinamika politik di negara tersebut di kemudian hari. Pasalnya, melemahkan peran pemerintah dianggap secara tidak langsung melemahkan equality of opportunity atau kesamaan kesempatan.

Ini juga memperkuat politik uang dalam berbagai bidang kehidupan. Bahkan konteks “uang berbicara dalam politik” ini juga terasa karena aktivitas lobi yang melibatkan pengusaha adalah hal yang lumrah dan dianggap legal dalam dunia politik di AS.

Dalam pandangan Mahbubani, dampaknya mulai terlihat jelas dalam Social Progress Index beberapa waktu terakhir di mana AS menjadi satu-satunya negara maju utama dengan kemerosotan kesejahteraan masyarakatnya di berbagai bidang. Hal ini tentu kontras karena dalam daftar miliarder yang ada di dunia, mayoritasnya justru berasal dari negara ini. Bahkan, di tengah peliknya persoalan penanganan Covid-19, para miliarder ini justru mengalami peningkatan jumlah kekayaan, berdasarkan data yang dihimpun dari Forbes.

Orang terkaya di dunia Jeff Bezos misalnya, mengalami peningkatan jumlah kekayaan mencapai US$66 miliar atau sekitar Rp975 triliun hanya dalam kurun waktu April hingga September 2020. Kekayaan Bill Gates yang ada di posisi ketiga terkaya di dunia naik US$13 miliar atau sekitar Rp192 triliun di periode yang sama. Mark Zuckerberg naik US$30,3 miliar atau Rp447 triliun, dan Elon Musk naik US$43,4 miliar atau sekitar Rp641 triliun.

Jumlah kenaikan ini tentu saja sangat signifikan. Bahkan jika ditotal seluruh orang kaya yang masuk kelompok miliarder alias yang kekayaannya di atas US$ 1 miliar, maka peningkatan kekayaan mereka selama pandemi Covid-19 meningkat hingga US$10,2 triliun atau Rp 150 ribu triliun.

Hal ini tentu kontras dengan kondisi mayoritas masyarakat di dunia. Di AS sendiri misalnya, sekitar 40 juta warganya telah jadi pengangguran di saat sulit seperti sekarang. Ketimpangan ekonomi ini juga diprediksi akan terus memburuk di waktu-waktu yang akan datang.

Baca juga :  Hype Besar Kabinet Prabowo

Pasalnya, sejak market crash terjadi pada Maret 2020 lalu sebagai akibat dari merebaknya Covid-19, para miliarder inilah yang punya kapabilitas membeli equity saham-saham yang anjlok tersebut. Katakanlah hotel-hotel yang harus merugi dan bangkrut kemudian bisa dibeli asetnya secara murah oleh orang-orang kaya ini. Begitupun dengan sektor-sektor usaha yang lain.

Makin bertambahnya kekayaan para miliarder ini pada akhirnya akan terasa dampaknya pada negara – yang saat ini mayoritas ada dalam fase krisis terburuk – karena pengambilan kebijakan negara juga akan dipengaruhi oleh kelompok orang-orang kaya ini.

Perlahan tapi pasti, negara akan diambil alih oleh orang-orang kaya dan kemudian demokrasi dengan sendirinya akan makin bergeser pada model kekuasaan yang dikooptasi plutokrasi. Masyarakat boleh jadi yang memilih langsung presiden, namun yang menentukan nama dan wajah siapa yang ada dalam kertas suara adalah para orang kaya ini.

Lalu, bagaimana dengan konteks yang terjadi di Indonesia?

Mengintip Pasca Jokowi

Undang-Undang Cipta kerja yang telah disahkan dan mendapatkan penolakan dari masyarakat boleh jadi adalah salah satu wajah benturan kepentingan antar kelas – buruh vs pengusaha. Jika menggunakan piramida masyarakat, maka pengusaha akan identik dengan orang-orang kaya yang menduduki tempat lancip paling tas.

Dengan demikian, boleh jadi UU Ciptaker ini akan menjadi jalan masuk bagi makin kuatnya posisi orang-orang kaya dalam konteks hubungan kekuasaan dengan mayoritas masyarakat.

Dalam bahasa yang lebih sederhana, Indonesianis dari Northwestern University, Jeffrey Winters menyebutnya sebagai oligarki – sekalipun secara definisi oligarki lebih luas dibandingkan plutokrasi. Dengan kondisi ekonomi di tengah pandemi yang mulai sulit seperti saat ini, posisi orang-orang kaya ini akan menjadi sangat sentral, bahkan bisa akan sangat menentukan jalannya pemerintahan secara keseluruhan.

Sosok Budi Hartono misalnya, sebagai orang terkaya di Indonesia saat ini. Ia juga menjadi salah satu miliarder yang justru mengalami peningkatan kekayaan di tengah pandemi. Antara April hingga September 2020, kekayaannya naik US$3,6 miliar atau sekitar Rp53 triliun. Miliarder lain seperti Sri Prakash Lohia yang kekayaannya naik US$1 miliar atau Rp14 triliun. Demikianpun dengan beberapa miliarder asal Indonesia lainnya.

Sementara pada saat yang sama, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) memprediksi pandemi Covid-19 di tahun ini akan meningkatkan jumlah pengangguran hingga 11 juta jiwa. Jumlah tersebut bisa lebih tinggi lagi jika kondisi ekonomi tidak kunjung membaik di waktu-waktu yang akan datang.

Terkait plutokrasi, ini akan jadi tantangan besar untuk Presiden Jokowi di sisa waktu kekuasaannya. Titik terjauhnya adalah tentu saja di Pilpres 2024. Jika kebijakan seperti UU Ciptaker ini masih akan dilanjutkan dengan produk yang serupa, maka tidak heran jika di 2024 mendatang konteks siapa yang akan berkuasa akan bergantung pada money power alias  kekuatan kekayaan.

Setidaknya kita mulai bisa belajar dari apa yang terjadi di AS. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (S13)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Prabowo & Trump: MAGA vs MIGA? 

Sama seperti Donald Trump, Prabowo Subianto kerap diproyeksikan akan terapkan kebijakan-kebijakan proteksionis. Jika benar terjadi, apakah ini akan berdampak baik bagi Indonesia? 

The War of Java: Rambo vs Sambo?

Pertarungan antara Andika Perkasa melawan Ahmad Luthfi di Pilgub Jawa Tengah jadi panggung pertarungan besar para elite nasional.

Menguji “Otot Politik” Andika Perkasa

Pilgub Jawa Tengah 2024 kiranya bukan bagaimana kelihaian politik Andika Perkasa bekerja di debutnya di kontestasi elektoral, melainkan mengenai sebuah hal yang juga lebih besar dari sekadar pembuktian PDIP untuk mempertahankan kehormatan mereka di kandang sendiri.

Menyoal Kabinet Panoptikon ala Prabowo

Pemerintahan Prabowo disebut memiliki kabinet yang terlalu besar. Namun, Prabowo bisa jadi memiliki kunci kendali yakni konsep "panoptikon".

Tidak Salah The Economist Dukung Kamala?

Pernyataan dukungan The Economist terhadap calon presiden Amerika Serikat, Kamala Harris, jadi perhatian publik soal perdebatan kenetralan media. Apakah keputusan yang dilakukan The Economist benar-benar salah?

Ridwan Kamil dan “Alibaba Way”

Ridwan Kamil usulkan agar setiap mal di Jakarta diwajibkan menampilkan 30 persen produk lokal. Mungkinkah ini gagasan Alibaba Way?

Hype Besar Kabinet Prabowo

Masyarakat menaruh harapan besar pada kabinet Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.

Rahasia Kesaktian Cak Imin-Zulhas?

Dengarkan artikel ini: Audio ini dibuat menggunakan AI. Di tengah kompetisi untuk tetap eksis di blantika politik Indonesia, Zulkifli Hasan dan Muhaimin Iskandar tampak begitu kuat...

More Stories

The War of Java: Rambo vs Sambo?

Pertarungan antara Andika Perkasa melawan Ahmad Luthfi di Pilgub Jawa Tengah jadi panggung pertarungan besar para elite nasional.

Hype Besar Kabinet Prabowo

Masyarakat menaruh harapan besar pada kabinet Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.

Koalisi Titan: Sentripetalisme Konsensus Demokrasi Prabowo

Prabowo Subianto resmi melantik 48 menteri yang akan mengisi Kabinet Merah Putih yang dipimpinnya.