HomeHeadlineStrategi “Menggoyang” Jokowi Lewat Sri Mulyani? 

Strategi “Menggoyang” Jokowi Lewat Sri Mulyani? 

Kecil Besar

Dengarkan Artikel Ini:

Audio Ini Dibuat Menggunakan AI

Pasca mundurnya Mahfud MD sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), isu akan adanya menteri lain yang akan menyusul untuk mundur kembali mencuat. Hal ini disinyalir sebagai upaya mendelegitimasi kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Benarkah demikian? 


PinterPolitik.com 

Pasca mundurnya Mahfud MD sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), membuat berkembangnya isu kabinet Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak lagi solid kembali mengemuka. 

Hal itu disebabkan oleh “gosip” mengenai keinginan menteri lain untuk mengajukan pengunduran diri. 

Salah satu menteri yang santer disebut siap untuk mengundurkan diri adalah Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani. Nama Sri Mulyani pertama kali muncul disebut oleh ekonom senior Faisal Basri. 

Pada 18 Januari 2024 lalu, Faisal Basri menyebut Sri Mulyani adalah salah satu menteri yang paling siap untuk mundur dari kabinet setelah merasa situasi kabinet tak lagi kondusif jelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. 

sri mulyani paling berpengaruh di dunia

Namun, Sri Mulyani membantah isu itu saat dikonfirmasi awak media dengan mengatakan jika dirinya akan tetap fokus untuk bekerja sebagai Menkeu. 

Kini, pasca mundurnya Mahfud, isu itu kembali muncul menerpa mantan Managing Director World Bank itu. 

Presiden Jokowi pun telah membantah isu adanya menteri yang akan menyusul Mahfud untuk mengundurkan diri. 

Menurut Presiden Jokowi, para menteri tetap bekerja seperti biasa mengikuti agenda masing-masing. Mantan Wali Kota Solo itu juga menyebut isu ada menteri yang tidak nyaman dengan suasana kabinet sebagai hal yang biasa. 

Lalu, jika Presiden Jokowi merasa para menteri tetap bekerja biasa saja, mengapa isu mundurnya Sri Mulyani kembali muncul pasca hengkangnya Mahfud dari kabinet? 

Sebuah Upaya Delegitimasi? 

Jika benar apa yang dikatakan Presiden Jokowi terkait kabinetnya masih solid, munculnya isu mundurnya Sri Mulyani dari kabinet pemerintahan Presiden Jokowi tampaknya memiliki maksud tertentu. 

Isu ini kiranya semakin diperkeruh oleh pernyataan Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDIP Hasto Kristiyanto pada 30 Januari 2024 lalu, yang menyebut banyak menteri akan mengundurkan diri karena adanya ketidakharmonisan dalam kabinet. 

Menurut Hasto, hal ini diceritakan langsung oleh Menteri Sosial (Mensos) Tri Rismaharini yang merasa sudah tidak nyaman berada di kabinet Presiden Jokowi. 

Hal ini kiranya dipengaruhi karena adanya indikasi ketidaknetralan Presiden Jokowi dalam Pilpres 2024 dengan mendukung pasangan calon (paslon) nomor urut 2 Prabowo-Gibran. 

Melihat runutan kronologi munculnya isu mundurnya beberapa menteri, termasuk Sri Mulyani kiranya memiliki suatu maksud tertentu. Terlebih, posisi Sri Mulyani sebagai Menkeu yang merupakan salah satu posisi vital dalam sebuah kabinet. 

Baca juga :  Jokowi-Luhut Then, Now, and Forever?

Dengan isu mundurnya Sri Mulyani membuat kabinet pemerintahan Jokowi kini seakan adanya “circle dalam circle” di kabinet Jokowi. 

Fenomena “circle dalam circle” ini tidak hanya menciptakan dinamika politik internal yang kompleks, tetapi juga berpotensi memiliki dampak terhadap kinerja pemerintahan secara keseluruhan. 

Ketika para menteri lebih fokus pada persaingan politik internal dan mempertahankan kepentingan kelompoknya masing-masing, hal ini dapat mengganggu koordinasi dan kerja sama di antara mereka.  

Selain itu, fenomena ini juga dapat menciptakan ketidakstabilan politik yang berdampak negatif pada kebijakan publik dan stabilitas negara secara keseluruhan. 

Kabinet yang terbagi-bagi dalam “circle dalam circle” mungkin menghadapi kesulitan dalam mengambil keputusan yang efektif dan menjalankan program-program pemerintah dengan baik. 

Melihat hal ini, kiranya strategi Sun Tzu dalam bukunya yang berjudul The Art of War sedang terlihat dilakukan oleh pihak yang selalu menggemborkan isu ini. Strategi yang dimaksud adalah taktik berperang untuk mengurangi kekuatan musuh. 

Di era Sun Tzu, taktik ini digunakan dengan cara mencuri logistik musuh, seperti kuda dan bahan makanan. 

Berkaca dari strategi perang yang dikemukakan Sun Tzu, Sri Mulyani yang menjabat sebagai Menkeu kiranya dapat dianalogikan sebagai salah satu kekuatan yang dimiliki Jokowi dalam kabinetnya. 

Dengan segudang pengalamannya, tampaknya wajar jika Sri Mulyani merupakan salah satu menteri andalan Jokowi. Jika, benar Sri Mulyani mengundurkan diri, jelas ini akan berdampak buruk bagi pemerintahan Jokowi. 

Secara tidak langsung, efek mundurnya Sri Mulyani tampaknya akan berpengaruh kepada paslon nomor urut 2 Prabowo-Gibran. 

Meskipun Jokowi belum secara resmi mendukung Prabowo-Gibran, tapi adanya indikasi untuk mengarah kesana sudah telihat. 

Munculnya isu mundurnya Sri Mulyani dari kabinet tampaknya adalah salah satu taktik dari lawan politik Jokowi sebagai upaya mendelegitimasi kekuasaan Jokowi. 

Taktik serupa kiranya pernah dilakukan di Indonesia saat akhir masa jabatan Presiden ke-2 Soeharto saat krisis ekonomi terjadi tahun 1998 lalu. 

Saat itu, 14 menteri Soeharto memutuskan untuk mengundurkan diri secara bersama pada 16 Maret 1998 dan membuat instabilitas politik karena tidak adanya lagi legitimasi pemerintahan Soeharto sehingga menyebabkan adanya peristiwa reformasi. 

Lantas, jika benar Sri Mulyani akan mundur sebagai Menkeu, motivasi apa yang hendak dicapai Sri Mulyani? Serta, apakah mundurnya Sri Mulyani dapat berdampak signifikan terhadap pemerintahan Jokowi? 

benarkah sri mulyani menkeu terbaik

Sri Mulyani “Kuncian” Jokowi? 

Meskipun kabar mundurnya Sri Mulyani sebagai Menkeu sudah dibantah oleh Presiden Jokowi dan Sri Mulyani sendiri, bukan tidak mungkin juga hal itu akan terjadi. 

Hal itu bisa dilihat dari pernyataan Prabowo saat debat calon presiden (capres) yang menyinggung nama Sri Mulyani. 

Baca juga :  Indonesia Thugocracy: Republik Para Preman?

Prabowo saat itu menyatakan rencana kerjanya sudah susun sejak dirinya menjabat sebagai Menhan pada 2019, hanya saja terhambat karena adanya pandemi Covid-19 yang membuat anggaran di kementerian/lembaga harus di-refocusing

Akibatnya, banyak usulan anggaran untuk memenuhi program pertahanan ditolak oleh Sri Mulyani. Padahal, banyak yang menilai pengadaan alutsista itu juga bermuatan politis, yakni menyeimbangkan pengaruh AS dan Tiongkok di Indonesia. 

Hal ini dikaitkan dengan maksud Prabowo yang membeli alutsista dari Barat agar Indonesia tidak terlalu condong ke Tiongkok di era Presiden Jokowi. 

Untuk melihat adanya motif Sri Mulyani jika benar akan mengajukan pengunduran diri, bisa dianalisis dari teori kepentingan pribadi atau rational choice theory. Teori ini mengasumsikan bahwa individu bertindak berdasarkan kepentingan pribadi dan rasionalitas mereka. 

Dalam konteks politik, teori ini menyatakan bahwa para pemimpin politik dan pembuat keputusan cenderung bertindak untuk memaksimalkan keuntungan atau kepentingan pribadi mereka sendiri. 

Anthony Downs dalam bukunya yang berjudul An Economic Theory of Democracy mengajukan konsep teori yang sangat memengaruhi pemikiran politik modern. 

Downs mengusulkan bahwa dalam sistem demokrasi, pemilih dan pemimpin politik bertindak berdasarkan perhitungan rasional atas kepentingan pribadi mereka sendiri, termasuk kepentingan ekonomi dan politik. 

Berkaca dari penjelasan diatas, jika benar Sri Mulyani akan mundur kemungkinan dirinya memiliki kepentingan pribadi dan memaksimalkan keuntungan pribadi. 

Dengan pengalaman dan reputasi yang sudah diakui secara internasional, Sri Mulyani tampaknya justru tak menutup kemungkinan tak ingin terlibat terlalu dalam di keruhnya politik tanah air belakangan ini. 

Momen ini yang bisa saja berkorelasi dengan kesan bahwa isu mundurnya Sri Mulyani secara tak langsung menjadi instrumen lawan politik Jokowi untuk mendelegitimasi kekuasaannya. 

Tapi, meskipun posisi Sri Mulyani dalam kabinet pemerintahan Jokowi cukup vital, mundurnya Sri Mulyani dari posisi Menkeu tampaknya tidak akan berdampak terlalu signifikan jika Presiden Jokowi berhasil menemukan pengganti yang sepadan hingga masa akhir jabatannya. 

Hal itu bisa dilihat dari peristiwa mundurnya Sri Mulyani sebagai Menkeu di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk menjadi Managing Director World Bank pada 2010 lalu. 

Saat itu, SBY seolah berhasil menunjuk Agus Martowardojo sebagai pengganti yang pas untuk posisi Menkeu. Padahal, saat itu pemerintahan SBY juga sedang diterpa panasnya isu Bank Century. 

Menarik kiranya untuk ditunggu kebenaran soal isu mundurnya Sri Mulyani dari posisi Menkeu, termasuk dampak yang akan dihasilkan terhadap pemerintahan Presiden Jokowi. (S83) 

spot_imgspot_img

#Trending Article

Premanisme, Indonesia’s Economic Cerberus?

Persoalan premanisme di Indonesia dipercaya rugikan perekonomian hingga ribuan triliun rupiah. Bagaimana cara mengatasi masalah pelik ini?

Rajai G20: Prabowo the Grassroot General

Approval rating Prabowo jadi yang tertinggi di antara para pemimpin negara-negara G20. Angkanya menyentuh 81 persen.

Hikayat Adi Hidayat, Tanpa Siasat?

Gerakan Indonesia Menanam (GERINA) menjadi instrumen yang kian membentuk impresi kedekatan Ustaz Adi Hidayat dengan elite politik-pemerintahan saat ini. Hubungan di antara para aktor tersebut kiranya cukup krusial dalam menjadi salah satu variabel pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Mengapa demikian?

‘Engagement’ Trap: Gibran’s Rise and Fall?

Citra dan sosok Gibran Rakabuming lahir dari engagement di media sosial. Mungkinkah Gibran kini akan berakhir juga dengan jebakan engagement?

Anies and The Democracy’s “Devil’s Advocate”

Anies Baswedan belakangan ini melempar argumen tandingan soal bonus demografi Indonesia, topik yang baru-baru ini dibahas oleh Gibran Rakabuming Raka, Wakil Presiden Indonesia. Mungkinkah Anies berusaha mengambil peran sebagai “pemantik” diskursus dalam demokrasi Indonesia, persis seperti Rocky Gerung di era Presiden Joko Widodo (Jokowi) dulu?

Never Downplay Prabowo’s Tactics?

Gerakan masif dan terstruktur pemerintahan Presiden Prabowo Subianto di bidang pembangunan dan pangan mulai terlihat. Menariknya, TNI seolah menjadi pivot penggerak dalam gagasan terkait hal itu. Lalu, mengapa hal ini dilakukan Presiden Prabowo?

Prabowo-Jokowi: Too Close Too Much Trouble

Kedekatan Prabowo dan Jokowi rupa-rupanya tak disukai banyak pihak, terutama oleh faksi-faksi politik di lingkaran politik koalisi Prabowo sendiri.

Prabowo’s Men: Penyambung Lidah Presiden

Presiden Prabowo menunjuk Mensesneg Prasetyo Hadi sebagai juru bicara (jubir). Mengapa penyambung lidah presiden ini punya peran penting?

More Stories

Ketua DPR, Golkar Lebih Pantas? 

Persaingan dua partai politik (parpol) legendaris di antara Partai Golkar dan PDIP dalam memperebutkan kursi Ketua DPR RI mulai “memanas”. Meskipun secara aturan PDIP paling berhak, tapi beberapa pihak menilai Partai Golkar lebih pantas untuk posisi itu. Mengapa demikian?

Anies “Alat” PKS Kuasai Jakarta?

Diusulkannya nama Anies Baswedan sebagai calon gubernur (cagub) DKI Jakarta oleh PKS memunculkan spekulasi jika calon presiden (capres) nomor urut satu ini hanya menjadi “alat” untuk PKS mendominasi Jakarta. Benarkah demikian?

Pemilu 2024, Netralitas Jokowi “Diusik” PBB? 

Dalam sidang Komite Hak Asasi Manusia (HAM) PBB, anggota komite Bacre Waly Ndiaye mempertanyakan netralitas Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait lolosnya Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden (cawapres) dari Prabowo Subianto. Lalu, apa yang bisa dimaknai dari hal itu?