BerandaNalar PolitikSengkarut Tarot Lembaga Survei

Sengkarut Tarot Lembaga Survei

Pasca Pilkada 2018, banyak kritikan menerpa lembaga-lembaga survei, terutama akibat hasil survei elektabilitas yang berbeda dengan hasil hitung cepat di beberapa daerah. Nyatanya, tumpang tindih fungsi lembaga survei dan konsultan politik masih menjadi salah satu persoalan utama demokrasi di Indonesia.


PinterPolitik.com

“The poll that matters is the one that happens on Election Day.”

:: Heather Wilson, politisi Amerika Serikat ::

[dropcap]B[/dropcap]icara tentang lembaga survei atau pollster dalam politik memang tidak sama dengan membolak-balikkan buku sejarah tentang para peramal kondang macam Marie Anne Lenomand dari Prancis, Count Cagliastro dari Italia, hingga Edward Kelley dan Dr. John Dee dari Inggris. Satu-satunya persamaan di antara dua profesi yang terpisah antara ekstrem kajian ilmiah versus takhayul percenayangan ini adalah tentang prediksi masa depan.

Lalu, bagaimana jika ramalannya salah? Ramalan bangsa Maya tentang kiamat di 2012 misalnya, pada akhirnya tidak terbukti. Semua orang kemudian melupakannya dan yang tersisa mungkin hanya film berjudul “2012” yang berupaya menggambarkan bagaimana kiamat itu terjadi.

Lain cerita kalau ramalan yang salah itu adalah prediksi lembaga survei tentang siapa calon presiden atau kepala daerah yang terpilih. Pada tahun 1936, The Literary Digest melakukan kesalahan survei untuk memprediksi calon yang menang pada Pemilu Amerika Serikat (AS) karena 2,3 juta sampel yang bias ke Partai Republik dan mendukung Alf Landon sebagai presiden.

Hasil akhir Pemilu yang memenangkan Franklin Delano Roosevelt dari Partai Demokrat, berujung pada tutupnya Digest beberapa waktu kemudian.

Jika demikian, apakah itu berarti hal serupa akan menimpa beberapa lembaga survei di Indonesia akibat hasil survei yang berbeda dengan hitung cepat Pilkada 2018 di beberapa daerah? Para pollster memang sempat dikritik oleh banyak pihak – umumnya dari pihak oposisi pemerintah – akibat kejadian tersebut.

Rata-rata kritik tersebut umumnya berfokus di beberapa daerah yang menjadi lumbung suara, misalnya terkait perolehan suara pasangan Sudrajat-Ahmad Syaikhu di Jawa Barat, serta pasangan Sudirman Said-Ida Fauziah di Jawa Tengah, yang walaupun kalah, tetapi mendapatkan jumlah suara yang cukup tinggi, bahkan meningkat jauh dibandingkan hasil survei beberapa lembaga.

Wakil Ketua DPR, Fadli Zon sampai menyebut bahwa dukun atau cenayang lebih baik dari lembaga survei dalam memprediksi hasil Pilkada.

Menariknya, karena pertarungan di daerah ini punya dimensi politik nasional, isu yang muncul mengerucut menjadi pertarungan antara oposisi melawan pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Apalagi, tuduhan dan selentingan yang menyebut lembaga-lembaga survei tersebut “mendukung pemerintah” berseliweran di media sosial. Beberapa di antaranya menyinggung pertemuan antara Jokowi dengan para pengamat politik dan lembaga survei pada akhir Mei lalu sebagai buktinya.

Akibatnya, wacana yang dibangun menjadi cenderung sentimental dan mengabaikan fakta bahwa survei elektabilitas adalah bagian dari kajian ilmiah dalam proses demokrasi. Meski demikian, netralitas sebuah lembaga survei dan hasil survei yang disajikan seringkali beririsan dengan kepentingan dukungan politik – bahkan hingga finansial – tentu saja menjadi catatan pinggir tersendiri. Lalu, bagaimana seharusnya masyarakat menyikapi keberadaan lembaga survei?

Dari Pennsylvania Hingga CSIS

Faktanya, survei elektoral (poll) merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari demokrasi. Catatan tertua tentang survei menjelang Pemilu adalah yang terjadi pada tahun 1824 dan dilakukan oleh The Aru Pennsylvanian (beberapa sumber menyebutnya The Harrisburg Pennsylvanian) di Amerika Serikat (AS).

Baca juga :  Ridwan Kamil, The Future President?

Survei tersebut menyebutkan Andrew Jackson akan memenangkan Pilpres melawan John Quincy Adams di tahun tersebut. Saat itu, hasil survei sesuai dengan hasil pemilu, sehingga meningkatkan popularitas pollster di tahun-tahun berikutnya.

Lalu, pada tahun 1916, survei yang lebih menyeluruh dilakukan oleh The Literary Digest – majalah yang sempat disinggung di awal tulisan. Digest tutup pada 1938 akibat salah memprediksi hasil Pemilu AS dua tahun sebelumnya. Beberapa pollster terkemuka lain, misalnya Gallup yang berdiri tahun 1935, masih beroperasi hingga kini.

Di Indonesia, lembaga survei dan konsultan politik baru menjamur pasca reformasi 1998. Meski demikian, cikal-bakalnya sudah dapat ditelusuri pada berbagai lembaga kajian yang berdiri terlebih dulu.

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang kini berada di bawah Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi adalah salah satunya. Lembaga ini misalnya pernah mengeluarkan survei tentang capres-cawapres menjelang Pilpres 2014 lalu.

Namun, mengingat LIPI punya kajian yang lebih menyeluruh dan posisinya ada di bawah pemerintah, maka agak sulit dikategorikan layaknya lembaga-lembaga survei lain.

Sengkarut Tarot Lembaga Survei

Selain LIPI, lembaga lain yang bisa disejajarkan sebagai pollster adalah Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Indonesia. CSIS adalah think tank yang punya sejarah panjang terhadap berbagai kebijakan politik di era Orde Baru.

Apakah CSIS adalah lembaga survei? Jawabannya juga masih abu-abu, mengingat lembaga yang berdiri pada 1 September 1971 ini awalnya berfungsi sebagai penyedia “cetak biru” pemerintahan Orde Baru.

Saat itu, tokoh-tokoh militer yang menjadi penasihat Soeharto, seperti Ali Murtopo dan Soedjono Hoemardhani, melihat pentingnya mengumpulkan peneliti dan scholar yang bisa ikut merumuskan kebijakan Soeharto. (Baca: Survei CSIS, Benarkah?)

Setelah meredup pasca reformasi, nama CSIS baru muncul lagi setelah Jokowi mencalonkan diri sebagai presiden pada 2014. Peran keluarga Wanandi memang sangat besar dalam CSIS melalui Jusuf Wanandi. Oleh karena itu, ketika saudaranya, Sofyan Wanandi terpilih menjadi staf ahli Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK), banyak pihak yang menganggap CSIS sebagai salah satu aktor penting di balik pemerintahan Jokowi-JK.

Lembaga lain yang berkiprah cukup lama adalah Litbang Kompas yang menjadi pusat dokumentasi harian Kompas. Walaupun menjadi bagian dari perusahaan media, aktivitas divisi yang didirikan pada 1989 ini juga rutin membuat jajak pendapat dan survei, mau tidak mau juga menempatkannya menjadi salah satu pollster. 

Sementara lembaga-lembaga survei lain macam Lembaga Survei Indonesia, Lingkaran Survei Indonesia, Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC), Indo Barometer, Indikator Politik Indonesia, dan lain sebagainya baru berdiri di atas tahun 2000-an. Lembaga Survei Indonesia mungkin menjadi yang tertua karena didirikan pada tahun 2003.

Artinya, jika dibandingkan dengan negara-negara demokrasi macam AS, keberadaan lembaga survei di Indonesia memang baru seumur jagung. Selain itu, lembaga-lembaga tersebut juga sekaligus menjalankan fungsi konsultasi bagi kandidat atau partai yang berkeinginan memenangkan kontestasi politik, termasuk juga menentukan strategi kampanye yang tepat.

Tarot Pollster, Monetizing Pilihan Politik

Peran sebagai jasa konsultan menjadi salah satu sumber pemasukan lembaga survei. Wakil Presiden Eksekutif firma konsultan politik Lincoln Strategy Group asal AS, Dan Centinello dalam sebuah kolom di US News menyebutkan bahwa ada dilema yang sangat besar terjadi pada lembaga-lembaga survei, ketika harus mempublikasikan hasil survei tanpa mengabaikan kepentingan klien yang mereka bantu.

Hal inilah yang menyebabkan seringkali posisi lembaga survei beririsan dengan kampanye dan pembentukan opini publik untuk kemenangan calon tertentu. Sejarawan dan kritikus AS, Arthur Schlesinger Jr. pernah menyebut bahwa keberadaan lembaga survei justru melahirkan profesi baru yang disebutnya sebagai electronic manipulators. Istilah tersebut tentu saja cukup sarkastis, namun seringkali menggambarkan kenyataan yang ada.

Baca juga :  Anies Pasti Canggung Mengelola Militer?

Hal serupa juga ditulis oleh jurnalis dan aktivis Sidney Blumenthal dalam bukunya The Permanent Campaign. Ia menyebutkan bahwa para konsultan politik seringkali punya posisi yang sangat kuat dalam pengambilan kebijakan partai-partai politik, bahkan menggantikan elit-elit lama yang seharusnya berkuasa menentukan kebijakan politik organisasi.

Blumenthal yang karier tertingginya adalah menjadi penasihat politik Presiden Bill Clinton menyebutkan bahwa keberadaan teknologi survei dan komputer akan mengubah arah kampanye partai politik dan menentukan kemenangan. Dalam konteks lokal Indonesia, argumen ini mungkin bisa dilihat pada kemenangan PAN di 10 provinsi pada Pilkada 2018 setelah merekrut konsultan bertangan dingin, Eep Saefulloh Fatah.

Jika berkaca sedikit ke belakang, Pilpres 2014 lalu mungkin menjadi saat-saat ketika lembaga-lembaga survei mulai disorot. Saat itu, 4 lembaga survei – Puskaptis, LSN, IRC, dan JSI – dilaporkan ke polisi karena mengeluarkan hasil hitung cepat memenangkan pasangan Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa, berbeda dibanding lembaga survei lain yang memenangkan Jokowi-JK.

Publikasi itu sempat membuat masyarakat terpecah, sekaligus menimbulkan pertanyaan terkait netralitas lembaga-lembaga tersebut. Banyak kali, persoalan netral atau tidak netral ini bergantung pada pendanaan.

Keilmiahan metodologi dan hasil survei mungkin tidak perlu dipertanyakan dan menjadi pertanggungjawaban profesionalisme lembaga-lembaga tersebut. Namun, bagaimana hasil survei tersebut dibahasakan kepada publik sering menjadi titik berat penilaian yang sesungguhnya.

Pada titik ini, yang “dijual” oleh lembaga-lembaga survei adalah wacana dan perspektif. Misalnya, lembaga survei bisa memunculkan nama tokoh tertentu dalam hasil surveinya dan sekalipun tokoh tersebut tidak punya elektabilitas yang tinggi, hal tersebut bisa digunakan sebagai dasar pemberitaan di media massa untuk meningkatkan popularitas yang bersangkutan.

Contohnya, tokoh seperti Budi Gunawan (BG), Syahrul Yasin Limpo, hingga KH Asad Said Ali akan mendapatkan legitimasi politik yang lebih besar ketika namanya muncul dalam hasil survei, sekalipun masyarakat mungkin tidak banyak mengenal mereka dan elektabilitas mereka hanya ada di bawah 1 persen.

Dalam konteks ini, lembaga survei menggunakan bandwagon effect dan underdog effect untuk pembentukan wacana tersebut. Bandwagon effect adalah ‘efek ikut-ikutan’ yang menunjukkan kecenderungan pemilih untuk ikut memilih tokoh yang tertinggi dalam hasil survei. Sementara sebaliknya, underdog effect adalah efek kecenderungan mendukung tokoh yang dianggap underdog atau tidak diperhintungkan.

Selain itu, ketika Jokowi mendapatkan tingkat kepuasan 57 persen misalnya, jika lembaga yang melakukan survei punya tujuan mendukung Jokowi, maka perpektif yang dimunculkan adalah pujian dan optimisme.

Sementara, jika tujuan lembaga tersebut adalah menjatuhkan citra Jokowi – katakanlah untuk kepentingan klien dari oposisi – maka perpektif yang dimunculkan adalah: “57 persen memang tinggi, tetapi belum aman karena masih banyak masyarakat yang tidak puas dan ingin ganti presiden”.

Wacana dan perspektif yang demikian akan menjadi bumbu-bumbu pemberitaan yang pada ujungnya akan menentukan berhasil atau tidaknya tujuan pollster bersangkutan. Oleh karena itu, masyarakat memang perlu lebih cerdas melihat hasil survei karena – seperti kata Heather Wilson di awal tulisan ini – yang paling penting bukan surveinya, tetapi suara yang terkumpul di hari pemilihan. (S13)

spot_imgspot_img

#Trending Article

“Gorengan” Isu HAM Anies-Ganjar Tak Laku?

Isu pelanggaran HAM dan visi-misi terkait selalu muncul, setidaknya di tiga edisi Pilpres terakhir. Kali ini, kubu Prabowo Subianto yang kerap disudutkan kiranya bisa...

Ridwan Kamil, The Future President?

Prabowo Subianto menyebut Ridwan Kamil berpotensi jadi tokoh di buku sejarah Indonesia. Mungkinkah jadi the future president di masa depan?

Qatar, Pemimpin Baru Negara Arab?

Peran Qatar dalam kawasan Timur Tengah (Timteng) tampaknya tidak bisa dipandang sebelah mata. Negara ini kini menjadi salah satu negara Arab yang menjadi pemain...

Apa Itu Contract Farming Yang Dipakai Anies Lawan Jokowi-Prabowo?

Anies mengusung gagasan menarik terkati persoalan pangan. Ia menyebutnya sebagai contract farming. Program ini disebutnya akan menggantikan food estate yang menjadi program andalan Presiden...

Perang Dunia Ketiga di Tangan Jepang? 

Di balik tensi-tensi geopolitik yang sekarang terjadi, masih tersimpan bayang-bayang potensi konflik di Selat Taiwan. Sebagai salah satu sekutu Amerika Serikat (AS) yang paling krusial, bagaimana peran yang akan dipegang Jepang dalam potensi eskalasi geopolitik ini? 

PAN PAN PAN, Paling Prabowo-Gibran?

PAN berubah dari parpol yang identik dengan intelektualitas Muhammadiyah menjadi parpol gemoy. PAN sudah jadi yang paling Prabowo-Gibran?

Pemilih Bimbang Perlu Belajar Machiavellianisme?

Swing dan undecided voters masih menghantui Pemilu 2024. Tidak sedikit di antara mereka yang bingung memilih karena melihat semua kandidat “sama buruknya”. Bagaimana kita bisa merubah pola pikir yang seperti ini? 

Pengorbanan Iriana Pasang Badan Untuk Jokowi-Gibran?

Nama Ibu Negara Iriana Jokowi memang jadi salah satu yang paling banyak yang dibicarakan dalam beberapa waktu terakhir, utamanya di seputaran Pilpres 2024. Pasalnya,...

More Stories

Pengorbanan Iriana Pasang Badan Untuk Jokowi-Gibran?

Nama Ibu Negara Iriana Jokowi memang jadi salah satu yang paling banyak yang dibicarakan dalam beberapa waktu terakhir, utamanya di seputaran Pilpres 2024. Pasalnya,...

Apa Itu Contract Farming Yang Dipakai Anies Lawan Jokowi-Prabowo?

Anies mengusung gagasan menarik terkati persoalan pangan. Ia menyebutnya sebagai contract farming. Program ini disebutnya akan menggantikan food estate yang menjadi program andalan Presiden...

Gemoy Effect Prabowo Seperti Bongbong Marcos di Filipina?

Kata “gemoy” menjadi istilah yang tengah naik daun dalam beberapa waktu terakhir, utamanya dikaitkan dengan kampanye Prabowo Subianto. Demam gemoy membuat citra Prabowo menjadi...