HomeNalar PolitikRidwan Kamil Sebenarnya Cawapres Ideal?

Ridwan Kamil Sebenarnya Cawapres Ideal?

Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil (RK) alias Kang Emil menyatakan akan membuka peluang untuk maju dalam kontestasi Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Beberapa pihak menyatakan bahwa RK mempunyai nilai jual yang tinggi untuk posisi calon wakil presiden (cawapres). Apa yang mendasari hal tersebut?


PinterPolitik.com

Nama Ridwan Kamil (RK) – atau biasa disapa sebagai Kang Emil – kembali masuk dalam pembicaraan terkait bursa kandidat calon presiden (capres) dalam pemilihan umum (Pemilu) 2024. Hal ini bermuara pada pernyataannya dalam acara yang diselenggarakan oleh Partai Amanat Nasional (PAN) di Bali. Sosok yang akrab dipanggil Kang Emil itu menyatakan akan membuka peluang untuk maju dalam kontestasi pemilihan presiden (Pilpres) 2024.

Terkait hal ini, pendapat menarik disampaikan peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandes yang memaparkan bahwa, untuk memperebutkan posisi capres, posisi RK belum sekuat Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, dan Prabowo Subianto – ketiga nama yang dinilai mempunyai peluang lebih besar untuk maju sebagai kandidat capres.

Menariknya, Arya melihat nilai jual RK justru ada pada posisi calon wakil presiden (cawapres). Kehadiran RK dianggap bisa melengkapi ketiga kandidat terkuat capres saat ini.

Baca Juga: Ridwan Kamil ‘Suka’ Makan Ulat?

Senada dengan Arya, Sekretaris Jenderal (Sekjen) PAN Eddy Soeparno menilai idealnya sejak awal RK memosisikan dirinya sebagai kandidat cawapres saja. Lebih lanjut, ia menganalogikan RK bak teh botol. “Ibaratnya teh sosro yang apapun makanannya, minumnya teh sosro. Nah dalam kasus ini capresnya boleh siapa saja, tapi cawapresnya harus Ridwan Kamil,” ujar Eddy.

Hal tersebut tentu menjadi menarik untuk dianalisis. Mengapa RK dinilai lebih potensial untuk diusung sebagai wakil presiden daripada untuk menjadi presiden? Bagaimana kalkulasi politik di balik penilaian tersebut?

Lebih Cocok Cawapres?

Munculnya formula “teh botol” dari Sekjen PAN Eddy Soeparno untuk menempatkan RK sedari awal sebagai cawapres memang tampak cukup realistis.

Dalam politik, hal ini dapat dijelaskan melalui konsep cost and benefit analysis dari tulisan Niek Mouter yang berjudul The Politics of Cost-Benefit Analysis. Mouter menjelaskan bahwa politisi idealnya menimbang kerugian (cost) dan keuntungan (benefit) dalam memutuskan tindakan politik mereka. Kalkulasi ini dilakukan agar politisi dapat mencapai tujuan politiknya dengan menimbang keputusan dan tindakannya.

Berangkat dari tulisan Mouter, merujuk pada kalkulasi politiknya, probabilitas RK sebagai kandidat capres untuk diusung di Pilpres 2024 dinilai kecil. Untuk maju sebagai kandidat capres, ia harus memperebutkan kursi tersebut dengan Anies, Ganjar, dan Prabowo.

Dari ketiga nama tersebut, RK memang menjadi salah satu kandidat yang tak memiliki keterikatan dengan partai politik tertentu. Tak seperti Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang juga independen tetapi dapat terbaca arah politiknya berada di seberang pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) dan parpol koalisinya, RK sejauh ini terlihat lebih fleksibel. Namun, kondisi yang serba tanggung ini justru dinilai menyulitkannya untuk memperebutkan posisi capres.

Dari segi probabilitas, peneliti CSIS Arya Fernandes mengungkapkan bahwa berat bagi Gubernur Jawa Barat tersebut untuk menyaingi ketiga nama teratas yang relatif telah stabil dari segi elektabilitas dan juga dinilai telah mempunyai modal politik masing-masing. Namun, lebih lanjut, Arya menilai kehadiran RK sebagai cawapres justru akan sangat dilirik oleh semua kandidat capres.

Baca juga :  Desain Politik Jokowi di Balik Pelantikan AHY? 

Pertama, secara karakteristik sosok RK dinilai bisa melengkapi semua kandidat capres terkuat saat ini. Kedua, dibanding kandidat lain yang sedari awal mengincar posisi cawapres nilai tawar yang dimiliki RK jauh lebih kuat dari segi elektabiliktas.

Sepertinya, hal ini juga telah dipikirkan dengan matang oleh RK. Di beberapa kesempatan, ia terlihat telah memosisikan diri sebagai cawapres.

Baca Juga: Ridwan Kamil Akhirnya Ungguli Sandiaga?

Misalnya dalam acara PAN, RK hanya mengungkap akan maju dalam kontestasi pilpres tanpa spesifik menyebut sebagai capres. Dalam kesempatan lain, bahkan, mantan Wali Kota Bandung tersebut secara terbuka menyatakan akan mendukung capres dari generasinya, seperti Anies dan Ganjar.

Seperti kata Franklin Delano Roosevelt, hampir tak ada yang terjadi secara kebetulan dalam politik. Jika sesuatu terjadi, maka pastilah ia direncanakan sejak awal. Boleh jadi, apa yang diucapkan RK merupakan bagian dari skenario politik itu sendiri dalam kaitannya dengan kalkulasi politik pada Pilpres 2024 mendatang.

Lantas, mengapa posisi RK sebagai cawapres dianggap menarik? Faktor-faktor apa yang mendukung hal tersebut?

Cawapres Ideal?

Terdapat empat faktor yang bisa dijadikan indikator bahwa sosok RK bisa menjadi cawapres ideal. Di antaranya adalah faktor kinerja dan popularitas, faktor demografis, faktor penerimaan publik (acceptance),dan faktor pengalaman internasional.

Pertama, faktor kinerja dan popularitas. Dalam politik diyakini ada hubungan timbal balik antara kinerja dan popularitas, kinerja yang baik biasanya akan berbanding lurus dengan popularitas aktor politik tersebut.

Dari sisi kinerja, RK merupakan salah satu kepala daerah yang menonjol. Saat menjabat sebagai Wali Kota Bandung, misalnya, RK meraih penghargaan sebagai salah satu kepala daerah teladan versi Majalah Tempo.

Dalam konteks yang terdekat, survei yang dilakukan oleh Indikator Politik menobatkan RK sebagai kepala daerah dengan predikat skor komunikasi publik terbaik dalam menangani pandemi Covid-19.  Tentunya, beragam keberhasilan kinerja ini berdampak pada popularitas RK. Namanya selalu masuk kategori kepala daerah terpopuler di Indonesia.

Kedua, faktor demografis. Sebagai Gubernur Jawa Barat – provinsi dengan penduduk terbanyak di Indonesia sekaligus menyumbang 18 persen suara nasional di Pemilu, tentunya hal ini akan sangat menguntungkan bagi RK secara elektoral. RK bisa saja mempunyai peluang besar untuk “mengamankan” suara masyarakat Jawa Barat (Jabar).

Hal ini tentunya menjadi nilai plus tersendiri mengingat secara elektoral suara provinsi ini dinilai sangat krusial dalam menentukan kemenangan kandidat. Ditambah, dari ketiga kandidat capres terkuat saat ini ada, belum ada yang benar-benar bisa “menguasai” Jabar.

Hal ini dapat dijelaskan melalui tulisan Aryn Subhawong yang berjudul A Realistic Look at The Vice Presidency – di mana ia mengatakan bahwa fungsi wapres tidak hanya melakukan pekerjaan eksekutif. Menurut Subhawong, fungsi utama wapres adalah membantu memastikan orang yang tepat untuk menjadi presiden di pemilu.

Kemudian, dari segi bonus demografi, RK juga diuntungkan dengan predikat politisi yang “dekat” dengan kaum milenial dan pemilih pemula. Lembaga Indikator Politik menyebut mantan Wali Kota Bandung ini adalah politisi yang paling banyak diikuti oleh generasi milenial di internet. Hal ini tentu sangat menguntungkan secara elektoral, sebab Komisi Pemilihan Umum (KPU) sendiri memprediksi jumlah pemilih pemula pada pemilu 2024 mencapai angka 40 persen.

Baca juga :  Hikmahanto Menhan, Prabowo Ideal Statesman?

Baca Juga: Ridwan Kamil, Titisan Soekarno?

Ketiga, faktor penerimaan publik (acceptance). RK merupakan salah satu politisi yang dianggap bisa dekat dengan semua kalangan politik. Terkait hal ini, Jeffrey Hutton dalam artikel yang ia tulis di South China Morning Post menyebut salah satu keunggulan RK adalah kemampuannya untuk menjalin hubungan dengan berbagai kelompok – di antaranya adalah kelompok Islam dan kelompok nasionalis.

Hal ini tampak misalnya dari kepiawaiannya untuk menjalin hubungan dengan kelompok Islam. Dalam berbagai kesempatan, RK kerap kali menunjukkan kemesraan dengan kelompok-kelompok ulama ataupun santri.

Meski dekat dengan kelompok Islam, RK juga tidak dijauhi oleh kelompok-kelompok yang lebih sekuler. Dalam beberapa kasus, ia bahkan tidak ragu menunjukkan keberpihakannya pada isu-isu yang dianggap sensitif bagi kaum beragama. Kemampuan dekat dengan semua kalangan itu membuat ia cukup solid dalam membendung beragam isu politik dari dua sisi.

Di sisi lain, RK dianggap tidak akan sulit membangun pergaulan dengan dunia internasional. Seperti yang diketahui, RK merupakan peraih gelar master di bidang desain urban dari University of California Berkeley, Amerika Serikat (AS) – salah satu institusi pendidikan yang cukup disegani dan disebut paling berpengaruh di dunia.

RK memulai karier profesional sebagai arsitek di AS. Selagi mengambil S-2 di universitas tersebut, ia bekerja paruh waktu di Departemen Perencanaan Kota Berkeley.

Setelah itu, ia mendirikan PT Urbane Indonesia – sebuah firma arsitektur internasional asal Indonesia yang fokus mengerjakan beberapa proyek arsitektur di luar negeri seperti AS, Singapura, dan Hong Kong. Salah satu karyanya yang mendunia adalah Marina Water Bay Waterfornt di Singapura.

Saat menjabat sebagai Wali Kota Bandung, RK berhasil membangun hubungan dengan investor dari mancanegara – khususnya tiga negara yang telah disebutkan tadi – sehingga Kota Bandung saat itu mendapat berbagai macam penghargaan dan bantuan dari dunia internasional.

Dalam konteks ini, RK juga berpeluang mengulangi hegemoni lulusan Berkeley yang pernah memiliki sejarah panjang di negeri ini. Seperti yang kita ketahui pada masa Orde Baru, lulusan kampus yang berdiri pada tahun 1868 itu menguasai berbagai posisi strategis pemerintahan, hingga mendapat julukan “Mafia Berkeley”. Berkeley sendiri memang dikenal mempunyai jaringan alumni yang sangat kuat di dunia khususnya di bidang ekonomi dan politik.

Jurnalis Strait Times Jeffrey Hutton menyebutkan bahwa kondisi-kondisi tersebut membuat RK tidak akan kesulitan untuk mendapatkan “restu” dari negara-negara luar, khususnya AS. Apalagi, hal ini didukung oleh citranya yang toleran dan pluralis yang akan membuat RK lebih mudah untuk mengkapitalisasi hubungan dengan dunia internasional ketimbang kandidat lain.

Pada akhirnya, berdasarkan pada beberapa faktor di atas, bukan tidak mungkin RK memiliki modal politik yang cukup ideal untuk maju sebagai cawapres. Ia dianggap merupakan sosok yang memenuhi kriteria “Nasains” (Nasionalis, Agamis, dan Insan Bisnis) sehingga siapa pun kandidat capres yang menggandengnya akan memperoleh keuntungan politik yang cukup besar. (A72)

Baca Juga: Ridwan Kamil ‘Cocok’ Gubernur DKI?

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Anies-Ganjar Harus Cegah Tragedi 2019 Terulang

Jelang pengumuman hasil Pilpres 2024 oleh KPU, banyak pihak mewanti-wanti soal peluang kembali terjadinya kerusuhan seperti di Pilpres 2019 lalu.

Jokowi “Akuisisi” Golkar?

Presiden Joko Widodo (Jokowi) disebut ingin menempatkan orangnya menjadi ketum Golkar. Mungkinkah ini cara Jokowi "akuisisi" Golkar?

Pemilu 2024, Netralitas Jokowi “Diusik” PBB? 

Dalam sidang Komite Hak Asasi Manusia (HAM) PBB, anggota komite Bacre Waly Ndiaye mempertanyakan netralitas Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait lolosnya Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden (cawapres) dari Prabowo Subianto. Lalu, apa yang bisa dimaknai dari hal itu?

Mayor Teddy, Regenerasi Jenderal Berprestasi?

Proyeksi karier apik, baik di militer maupun setelah purna tugas nantinya eksis terhadap ajudan Prabowo Subianto, Mayor Inf. Teddy Indra Wijaya pasca dipromosikan menjadi Wakil Komandan Batalyon Infanteri Para Raider 328 Kostrad. Sosok berlatar belakang mililter yang "familiar" dengan politik dan pemerintahan dinilai selalu memiliki kans dalam bursa kepemimpinan bangsa di masa mendatang.

Biden ‘Setengah Hati’ Selamati Prabowo?

Presiden Amerika Serikat Joe Biden akhirnya beri selamat kepada Prabowo Subianto. Namun, mungkinkah hanya 'setengah hati' selamati Prabowo?

Benarkah PDIP Jadi Oposisi “Lone Wolf”? 

Wacana oposisi pemerintahan 2024-2029 diprediksi diisi oleh partai politik (parpol) yang kalah dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024, yakni PDIP, PKB, PKS, Partai NasDem, dan PPP. Namun, rencana itu tampaknya akan berantakan dan menimbulkan probabilitas meninggalkan PDIP sebagai satu-satunya parpol oposisi di pemerintahan 2024-2029. Mengapa demikian?

Prabowo Perlu Belajar dari Qatar? 

Prabowo Subianto digadangkan akan membawa gaya diplomasi yang cukup berbeda dengan apa yang diterapkan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Namun, jika Prabowo benar-benar ingin membuat Indonesia lebih berpengaruh di dunia internasional, mungkin ada baiknya kita berkaca dan belajar dari pencapaian diplomasi Qatar. 

Anomali Jokowi

Posisi politik Presiden Jokowi saat ini masih sangat kuat. Bahkan bisa dibilang Jokowi adalah salah satu presiden yang tidak mengalami pelemahan kekuasaan di akhir masa jabatan yang umumnya dialami oleh para pemimpin di banyak negara.

More Stories

Mengapa Megawati “Kultuskan” Soekarno?

Megawati Soekarnoputri mengusulkan agar pembangunan patung Soekarno di seluruh daerah. Lantas, apa tujuan dan kepentingan politik yang ingin diperoleh Megawati dari wacana tersebut?  PinterPolitik.com Megawati Soekarnoputri...

Mungkinkah Jokowi Tersandera Ahok?

Nama Basuki Tjahaja Purnama (BTP) alias Ahok kembali menjadi perbincangan publik setelah Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengaku mantan wakilnya di DKI Jakarta itu punya...

PKS Mulai “Gertak” Anies?

Majelis Syuro PKS telah memutuskan untuk menyiapkan Salim Segaf Al-Jufri sebagai kandidat yang dimajukan partai dalam kontestasi Pilpres 2024. Apa strategi PKS di balik...