Dengarkan artikel berikut:
Megawati disebut menugaskan sang putri, Puan Maharani, untuk melakukan lobi dan pendekatan ke kubu Prabowo sebagai pemenang Pemilu. Hasil lobi-lobi ini disebut akan menjadi penentu jadi atau tidaknya Megawati bertemu Prabowo. Namun, keberhasilan lobi-lobi politik ini bisa berpengaruh pada posisi politik Jokowi – sosok yang beberapa waktu ini berseberangan dengan Mega – dalam konteks pengaruhnya pada pemerintahan Prabowo di periode berikutnya.
Pernyataan Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDIP Said Abdullah yang menyebut Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri menugaskan sang putri yang juga Ketua DPR RI Puan Maharani untuk menjalin lobi politik dengan kubu Prabowo Subianto menyiratkan pesan penting.
Bagi kebanyakan orang ini mungkin dianggap jadi bagian dari lobi-lobi biasa yang terjadi pasca Pemilu. Kubu yang menang akan berusaha mencapai konsensus dengan kubu yang kalah agar pemerintahan yang baru bisa dibangun tanpa tentangan berarti dari kubu oposisi atau yang kalah.
Bahkan, pada titik paling ekstrem, bisa saja kubu yang kalah dirangkul untuk bersama-sama membentuk pemerintahan baru. Kasus Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo di Pilpres 2019 bisa menjadi salah satu penegasnya. Prabowo yang kalah dirangkul untuk menjadi bagian dari pemerintahan Jokowi yang baru.
Dengan demikian, Puan yang nota bene oleh banyak pihak disebut mewakili “keahlian” dari sang ayah, Taufiq Kiemas, yang mampu jadi penghubung ke banyak pihak, membawa misi yang sangat penting yang akan mempengaruhi dinamika politik dalam beberapa waktu ke depan.
Persoalannya, jika Prabowo mendekat ke PDIP dan Mega, akan ada satu elite yang bisa saja kehilangan pengaruh politiknya. Dialah Presiden Jokowi, sosok yang mendukung Prabowo dalam kontessi elektoral yang sudah lewat. Jokowi yang “menempatkan? Sang putra sulung, Gibran Rakabuming Raka, sebagai pasangan Prabowo, tentu saja punya pengaruh yang besar dalam kemenangan Prabowo. Masalahnya, Prabowo diprediksi tak akan mau terlalu berada di bawah bayang-bayang Jokowi.
Dengan demikian, keberadaan Megawati dan PDIP bisa menjadi perimbangan kekuatan bagi Prabowo. Apalagi, status Jokowi saat ini tak punya partai politik. Jika nanti sudah tak menjabat, otomatis posisi politik Jokowi akan melemah dengan sendirinya.
Pertanyaannya tentu saja adalah apakah operasi yang dijalankan oleh Puan Maharani ini akan berhasil?
Risalah Enemy dan Friend
Fenomena Prabowo, Jokowi dan Megawati ini setidaknya bisa kita bedah dengan menggunakan salah satu ungkapan paling terkenal dalam sejarah politik: “We have no eternal allies, and we have no perpetual enemies. Our interests are eternal and perpetual”. Ini adalah kata-kata yang diungkapkan oleh Lord Palmerston, negarawan asal Inggris yang menjabat sebagai Perdana Menteri negara tersebut antara tahun 1855 sampai 1859.
Kata-kata yang ia ungkapkan di hadapan House of Commons pada 1 Maret 1848 itu setidaknya bermakna bahwa dalam politik tak ada kawan dan musuh yang abadi. Semua bisa berubah dari kawan menjadi musuh, dan dari musuh menjadi kawan. Yang abadi hanyalah kepentingan. Karena kepentingan itulah yang mengubah posisi orang.
Pernyataan “tak ada teman yang abadi, tak ada musuh yang abadi” dari Lord Palmerston bisa kita kaitkan dengan pandangan jenderal perang Prussia, Carl von Clausewitz (1780-1831) tentang hubungan antara musuh dan teman yang saling melengkapi. Baik Palmerston maupun Clauswitz menggambarkan sifat dinamis dari hubungan interpersonal, politik, dan militer.
Lord Palmerston menyoroti bahwa hubungan manusia tidaklah statis. Meskipun seseorang dapat dianggap sebagai teman pada suatu waktu, situasi atau kepentingan yang berubah dapat mengubah dinamika hubungan tersebut. Sebaliknya, seseorang yang dianggap sebagai musuh pada satu waktu bisa menjadi sekutu di waktu yang lain.
Pernyataan Palmerston mencerminkan kebijaksanaan untuk tidak terlalu terikat pada label “teman” atau “musuh”, tetapi untuk memahami bahwa hubungan antara individu atau negara bisa berubah seiring waktu.
Di sisi lain, pandangan Carl von Clausewitz menekankan fleksibilitas dan penyesuaian strategi dalam menghadapi dinamika hubungan musuh dan teman. Meskipun, ia banyak berbicara dalam konteks perang, namun pemaknaanya soal relasi teman dan musuh ini bisa juga dipakai secara umum.
Menurutnya, pemahaman yang cermat tentang perubahan dalam hubungan antara musuh dan teman penting untuk mencapai kemenangan yang berkelanjutan dalam perang. Clausewitz menyoroti bahwa musuh hari ini bisa menjadi teman besok, dan sebaliknya. Oleh karena itu, strategi militer harus mampu menyesuaikan diri dengan perubahan ini untuk mencapai keunggulan dalam pertempuran.
Kedua pandangan ini memberikan pemahaman yang mendalam tentang sifat dinamis dari hubungan manusia, politik, dan militer. Karena politik itu sendiri bisa kita analogikan sebagai perang dan pertarungan gagasan, maka tak heran jika konteks perubahan teman dan musuh ini menjadi sangat relevan untuk dilihat.
Elaborasi soal relasi teman dan musuh ini memang berlaku untuk Prabowo, Jokowi dan Megawati. Siapa yang menyangka Megawati yang di 2014 dan 2019 menjadi sekutu dan teman Jokowi, berubah menjadi “musuh” Jokowi di 2024. Siapa pula yang menyangka Prabowo yang jadi musuh Jokowi di 2014 dan 2019 bisa berubah menjadi sekutu Jokowi pasca Pilpres 2019 dan di Pilpres 2024.
Menebak Nasib Jokowi
Persoalannya tinggal akan seperti apa nasib Jokowi pasca tak lagi menjabat. Berharap pada pengaruh politik Gibran sebagai daya tawar di pemerintahan Prabowo agaknya sulit. Pasalnya, posisi wakil presiden bukanlah posisi yang kuat jika presiden masih kuat menjabat. Daya tawarnya berbeda dibandingkan katakanlah dengan partai besar yang ada di parlemen yang bisa “menghambat” pembuatan undang-undang atau kebijakan tertentu.
Dengan demikian, pilihan paling masuk akal bagi Jokowi adalah mengupayakan adanya partai politik yang bisa ia kontrol. Bukan rahasia lagi jika Golkar menjadi partai yang digadang-gadang akan menjadi tempat sang presiden berlabuh. Jika Jokowi bisa bergabung dengan Golkar dan mempengaruhi kepemimpinan partai ini, maka posisi politiknya masih akan berpengaruh.
Namun, perlu menjadi catatan bahwa Golkar adalah partai yang diisi oleh banyak tokoh alias banyak “pemegang saham”. Lobi-lobi politiknya akan sengit dan penuh tantangan. Apalagi dari sosok-sosok yang sudah lama ada di partai beringin itu.
Opsi lain – yang mungkin akan sulit terwujud – adalah Jokowi mendirikan partai politik sendiri, atau ikut “nebeng” ke partai sang putra, Kaesang Pangarep, yaitu di Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Masalahnya, PSI tak lolos parlemen pusat sehingga akan sulit menancapkan pengaruhnya.
Pada akhirnya, analisis-analisis ini masih menjadi kemungkinan-kemungkinan terkait dinamika politik di beberapa waktu mendatang. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (S13)