HomeHeadlineRidwan Kamil dan "Alibaba Way"

Ridwan Kamil dan “Alibaba Way”

Kecil Besar

Dengarkan artikel ini:

Audio ini dibuat menggunakan Ai.

Ridwan Kamil mengusulkan agar setiap mal di Jakarta diwajibkan menampilkan 30 persen produk lokal. Mungkinkah ini adalah gagasan Alibaba Way yang akhirnya berhasil mengglobalkan banyak merek asal Tiongkok?


PinterPolitik.com

“Bisa membuat produk lokal menjadi tuan rumah di negeri-negeri” – Ridwan Kamil (RK), Calon Gubernur Jakarta 2024 Nomor Urut 1

Grand Indonesia, pusat perbelanjaan megah di tengah hiruk-pikuk Jakarta, didirikan untuk mencerminkan kebesaran dan kebanggaan Indonesia. Namun, ironisnya, di balik arsitektur modern yang menjulang itu, toko-toko yang menjual produk asli Indonesia hanya berjumlah segelintir, tersebar di sudut-sudut kecil yang hampir tak terlihat di antara brand internasional yang mendominasi.

Bagi pengunjung yang berkeliling, mungkin sulit menyadari bahwa mereka sedang berada di Jakarta dan bukan di pusat perbelanjaan dunia seperti New York atau Tokyo, karena berbagai brand asing seperti The Foot Locker, yang memajang Nike dan Adidas sebagai dagangan utamanya, menguasai etalase di beberapa lantai. 

Di sisi lain, pengrajin lokal serta merek-merek asli Indonesia harus puas menempati kios-kios kecil atau sekadar muncul dalam pop-up sementara, jauh dari kesan megah yang diberikan kepada toko-toko seperti Sephora, yang menjual kosmetik internasional, atau Zara, yang mendominasi lantai dengan deretan busana cepat dari luar negeri.

Grand Indonesia, sebagai ikon modernitas, seharusnya menjadi simbol kebanggaan bangsa dengan menampilkan keunikan Indonesia, tetapi justru menjadi cerminan ironi yang tajam—“Indonesia yang Besar” malah lebih sibuk mempromosikan produk luar daripada karya anak bangsa sendiri. 

Di antara lorong-lorong mewah yang penuh dengan produk impor, keberadaan barang-barang lokal serasa menjadi tamu undangan yang hanya mendapat ruang di pinggiran, berharap dilirik oleh segelintir orang yang peduli dengan produk Indonesia.

Contoh lainnya, Uniqlo, yang membawa produk fesyen dari Jepang, selalu mendapatkan ruang besar dengan penataan eksklusif, sementara merek fesyen lokal hanya dapat menampilkan produknya dalam porsi kecil yang jauh dari kata dominan. Di sini, kehadiran produk lokal tampak tenggelam di tengah sorotan besar yang ditujukan bagi brand global, mencerminkan betapa terpinggirkannya produk asli negeri sendiri di “rumahnya” yang besar dan megah.

Inilah mungkin mengapa isu ini juga perlu menjadi perhatian di tengah diskursus Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Jakarta 2024 yang selalu mengusung Jakarta sebagai Kota Global. Mengapa kehadiran brand lokal di mal-mal besar seperti ini sebenarnya penting?

Geliat Brand Lokal

Brand lokal di Indonesia telah mengalami pertumbuhan signifikan dalam beberapa tahun terakhir, khususnya melalui kehadiran di pasar online. Merek-merek ini mengandalkan platform e-commerce dan media sosial untuk memperluas jangkauan mereka ke konsumen tanpa harus menanggung biaya tinggi dari penyewaan toko fisik, yang merupakan keuntungan tersendiri dalam persaingan pasar digital.

Namun, kompetisi brand lokal yang hanya terjadi di ruang online membatasi mereka dari segi competitiveness, terutama ketika dibandingkan dengan merek internasional yang memiliki kehadiran offline yang kuat dan infrastruktur ritel yang mapan. 

Dalam buku Competitive Advantage: Creating and Sustaining Superior Performance oleh Michael Porter, disebutkan bahwa keunggulan kompetitif sangat bergantung pada kemampuan suatu merek untuk membangun loyalitas konsumen melalui kehadiran konsisten di berbagai kanal pemasaran, termasuk ruang fisik.

Brand internasional seperti Nike, Zara, dan Uniqlo, yang memiliki jaringan toko di pusat perbelanjaan besar, menciptakan kesan eksklusivitas dan keandalan yang sulit ditandingi oleh brand lokal yang hanya berinteraksi dengan konsumen secara virtual. 

Tanpa kehadiran offline yang solid, brand lokal menghadapi kesulitan dalam menciptakan persepsi nilai tambah dan kepercayaan yang menjadi faktor penting dalam loyalitas konsumen, sesuai dengan konsep yang dikemukakan Porter mengenai daya saing kompetitif.

Keterbatasan kehadiran offline ini juga berdampak pada branding jangka panjang, karena interaksi fisik memberikan pengalaman langsung yang memperkuat asosiasi positif dan keinginan konsumen untuk kembali membeli. Tanpa pengalaman ini, brand lokal harus bersaing ketat dalam harga, sering kali menawarkan diskon besar untuk menarik perhatian, yang pada akhirnya melemahkan daya saing mereka secara keseluruhan.

Lantas, pelajaran apa yang dapat diambil untuk pengambil kebijakan di Indonesia, khususnya bagi para kandidat Pilkada Jakarta 2024? Bagaimana strategi yang tepat?

 
 
 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

 

A post shared by PinterPolitik.com (@pinterpolitik)

The ‘Alibaba Way’?

Pada Debat Kedua Pilkada Jakarta 2024 yang berlangsung Minggu, 27 Oktober 2024, kandidat gubernur Jakarta nomor urut dua, Ridwan Kamil (RK), memaparkan sebuah gagasan menarik yang mendapatkan perhatian publik terkait pengembangan ekonomi lokal di ibu kota. 

RK mengusulkan agar Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jakarta memberlakukan kebijakan yang mewajibkan setiap mal di Jakarta untuk menampilkan produk lokal dengan porsi minimal 30 persen sebagai bagian dari strategi mendukung pengusaha lokal, meningkatkan daya saing produk dalam negeri, serta memperkuat identitas dan kebanggaan kota.

Gagasan RK ini menjadi penting karena dapat meningkatkan eksposur brand lokal di tengah dominasi produk internasional di pusat-pusat perbelanjaan Jakarta. Usulan tersebut relevan jika dikaitkan dengan konsep New Retail yang dipopulerkan oleh Alibaba, yaitu model bisnis yang menggabungkan pengalaman belanja online dan offline untuk memberikan interaksi yang lebih mendalam antara konsumen dan produk yang dibeli. 

Dalam konsep New Retail, toko fisik tidak hanya menjadi tempat berbelanja secara langsung tetapi juga berfungsi sebagai titik distribusi dan penjualan digital, yang memungkinkan konsumen untuk berbelanja produk lokal secara lebih mudah dan fleksibel di dunia digital maupun di toko fisik.

New Retail yang diterapkan Alibaba telah berhasil mengubah cara konsumen berbelanja di Tiongkok dengan memperkenalkan jaringan supermarket modern seperti Hema. Di Hema, konsumen tidak hanya bisa membeli produk langsung di toko, tetapi juga bisa memesan secara online untuk pengantaran cepat atau mengambil produk di toko fisik, menciptakan kenyamanan berbelanja yang lebih personal. 

Dalam bukunya Smart Business: What Alibaba’s Success Reveals about the Future of Strategy, Ming Zeng menjelaskan bahwa pendekatan New Retail ini tidak hanya memperkuat keterlibatan konsumen dengan produk tetapi juga menciptakan ekosistem yang mendukung inovasi dan kolaborasi antara retailer dan produsen.

Jika kebijakan seperti yang diusulkan RK diterapkan, mal-mal besar di Jakarta, seperti Grand Indonesia, akan memiliki kesempatan untuk merepresentasikan nilai budaya dan produk lokal secara lebih nyata. Dengan menampilkan produk-produk lokal sebanyak 30 persen dari keseluruhan toko, mal di Jakarta tidak hanya menjadi pusat komersial tetapi juga tempat di mana identitas lokal diperkenalkan dan dirayakan oleh para pengunjung, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. 

Grand Indonesia, yang dibangun dengan nama yang mencerminkan kebesaran Indonesia, akan dapat benar-benar menjadi simbol “Grand Indonesia” yang sejati, bukan hanya sekadar bangunan megah dengan dominasi merek asing.

Selain itu, kehadiran produk lokal dalam porsi yang signifikan juga memiliki dampak ekonomi yang besar karena dapat meningkatkan permintaan terhadap produk lokal dan menciptakan kesempatan bagi pengusaha kecil dan menengah untuk berkembang. Kebijakan ini berpotensi meningkatkan daya saing produk lokal secara keseluruhan dan memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap kualitas produk dalam negeri. Bukan begitu? (A43)


Baca juga :  Epik! Kisah Negara "Immortal", Etiopia
spot_imgspot_img

#Trending Article

Hati-Hati “Dinamit” Aceh

Pemerintah akhirnya memutuskan Aceh sebagai provinsi yang berhak atas wilayah 4 pulau yang sempat diperebutkan dengan Sumatera Utara.

Ini Rahasia Arsitektur Perang Dunia III? 

Sejumlah ahli mulai menilai bahwa konflik di Ukraina dan Timur Tengah mungkin bukan sekadar ketegangan regional biasa—bisa jadi itu tanda bahwa Perang Dunia III sudah dimulai diam-diam. Jika melihat sejarah, akumulasi konflik kecil bisa jadi pemicu bencana global besar. 

KL to Tehran: Mossad’s New Playground?

Saling balas rudal di antara Israel dan Iran menguak operasi Mossad di dalamnya. Dan menariknya, saat berbicara lembaga telik sandi negeri Ben Gurion, Malaysia juga kiranya tak bisa dilepaskan dari kausalitas. Mengapa demikian?

Politik Dua Kepala di Jakarta

Presiden Prabowo “mencari” Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung dalam forum ICI ketika berbicara tentang proyek Giant Sea Wall di perairan Jakarta – proyek yang...

Mahfud The Shadow Dissent Gibran?

Diskursus pemakzulan Gibran Rakabuming Raka agaknya diwarnai oleh interpretasi tajam dari seorang “hakim konstitusi bayangan” setelah Mahfud MD turun gunung dan bisa saja memiliki signifikansi dan pengaruh tersendiri. Mengapa demikian?

Political Mimicry: Dari Anies, Jokowi, Hingga Risma

Gaya komunikasi politik Jokowi, Anies, dan Risma, dianggap jadi acuan keunikan berpolitik di Indonesia. Mungkinkah mereka telah ciptakan sesuatu yang disebut: political mimicry?

Prabowo-SBY: Tomorrow’s Legacy

Di balik momen saling puji Prabowo dan SBY di Universitas Pertahanan, tersirat warisan besar dua jenderal: menjadikan pendidikan sebagai medan strategis. Kedisiplinan, nasionalisme, dan karakter menjadi jawaban mereka atas disrupsi generasi cemas dan krisis moral di era digital.

Blok ROJALIS: Magnet Pertahanan Baru?

Untuk pertama kalinya sejak Orde Baru, industri pertahanan Indonesia terlihat mulai berporos ke Prancis, Turki, dan Italia. Mungkinkah ini awal terbentuknya poros pertahanan baru yang bisa kita sebut: The Rojalis Block?

More Stories

Menertawakan ‘Kesenjangan’ Bersama TikTok

Pernah sebut transportasi umum sebagai shuttle bus? Mungkin, humor ini benar-benar gambarkan kesenjangan sosial, seperti yang ramai di TikTok.

Didit Hediprasetyo, the Designer ‘Prince’?

Bagi Didit Hediprasetyo, kecakapannya di dunia estetika bukanlah batasan. Kemampuannya justru menembus batas-batas, termasuk batas politik.

Lady Gaga: ‘Bad Romance’ Indonesia-Singapura?

Dibandingkan Indonesia, Taylor Swift dan Lady Gaga lebih memilih konser di Singapura. Mengapa ini jadi "bad romance” Indonesia-Singapura?