HomeNalar PolitikPrabowo Dijebak Dokumen AS?

Prabowo Dijebak Dokumen AS?

Deklasifikasi dokumen rahasia AS membuka luka lama tentang keterlibatan Prabowo dalam penghilangan paksa aktivis di tahun 1998.


PinterPolitik.com

[dropcap]P[/dropcap]rabowo Subianto tampaknya tinggal selangkah lagi akan kembali maju sebagai capres dalam gelaran pesta demokrasi 2019 nanti. Partai Gerindra yang ia pimpin tampak teguh akan mencalonkan dirinya di 2019 nanti. Sinyal positif juga ditunjukkan partai-partai lain yang siap berkoalisi untuk mendukung dirinya.

Meski demikian, beberapa hari jelang pendaftaran capres, mantan Danjen Kopassus ini terkena isu tidak sedap. Dugaan kasus yang menghantuinya di masa lalu kini dibuka kembali. Tidak tanggung-tanggung, isu ini tidak berasal dari sosok sembarangan, tetapi berasal dari negeri Paman Sam, Amerika Serikat (AS).

Sebanyak 34 dokumen rahasia milik Kedutaan Besar (Kedubes) AS di Indonesia dideklasifikasi. Dokumen-dokumen tersebut mengungkap sejumlah isu jelang reformasi. Salah satu yang dibuka adalah soal keterlibatan Prabowo dalam penghilangan paksa aktivis di tahun 1998.

Beredarnya dokumen rahasia tersebut tentu bisa menjadi ganjalan bagi peluang Prabowo menuju Istana Negara. Secara spesifik, dokumen tersebut juga bisa menimbulkan tanda tanya soal keterlibatan AS dalam Pilpres 2019. Adakah campur tangan negeri adikuasa tersebut dalam langkah pencapresan Prabowo?

Membuka Luka Lama

Deklasifikasi dokumen rahasia AS muncul bagai petir di siang bolong. Bagaimana tidak, pengungkapan dokumen tersebut terjadi di detik-detik menjelang gelaran Pilpres 2019. Penyebaran dokumen itu seperti mencari dan mengambil waktu yang tepat.

Ada banyak hal yang terungkap dari deklasifikasi dokumen tersebut. Umumnya, dokumen berisi pembicaraan staf Kedubes AS dengan tokoh Indonesia atau laporan staf Kedubes terkait kondisi terkini di Indonesia saat itu.

deklasifikasi dokumen rahasia

Secara khusus, deklasifikasi dokumen rahasia AS itu menyebutkan peran Prabowo dalam penghilangan paksa aktivis. Kala itu, Prabowo masih aktif sebagai prajurit dan menjabat sebagai Komandan Jenderal (Danjen) Kopassus. Keterlibatan Prabowo terungkap melalui percakapan antara staf politik Kedubes AS dengan pimpinan organisasi mahasiswa.

Pada percakapan itu, pimpinan organisasi mahasiswa tersebut menyebutkan bahwa penghilangan paksa dilakukan oleh Grup 4 Kopassus, berdasarkan informasi dari Kopassus sendiri. Dalam dokumen tersebut, dijelaskan bahwa Grup 4 Kopassus masih berada dalam kontrol efektif Prabowo.

Dokumen itu juga menuliskan bahwa penghilangan paksa memang diperintahkan oleh Prabowo. Prabowo sendiri memberi perintah semacam itu atas titah dari Presiden Soeharto. Meski begitu, jika merujuk pada dokumen yang ada, tuduhan tersebut hanya bersumber dari satu narasumber saja.

Sebenarnya, isu HAM Prabowo bukanlah barang yang benar-benar baru. Nyaris setiap ia hendak melaju sebagai kandidat baik capres maupun cawapres, isu tersebut selalu berhembus. Pada Pilpres 2014 silam misalnya, isu penculikan aktivis oleh Prabowo juga membahana. Isu seperti ini menjadi serangan khusus kepadanya terkait dengan komitmen penegakan HAM jika ia menjadi presiden.

Meski demikian, sejauh ini belum ada yang benar-benar bisa membuktikan secara keseluruhan peran sang jenderal dalam berbagai peristiwa jelang reformasi. Akibatnya, isu tersebut hanya menjadi isu yang hilang muncul di saat jelang Pilpres saja tanpa pengusutan tuntas.

Baca juga :  Elon Musk dan Dimulainya Era Feudalisme Teknologi 

Kondisi ini disoroti oleh kader-kader Gerindra, partai tempat Prabowo bernaung. Menurut mereka, isu tersebut adalah hal usang yang terus-menerus didaur ulang. Selain itu, mereka juga mempertanyakan kesahihan sumber dokumen rahasia tersebut. Mereka menuding dokumen tersebut tidak memiliki bukti bahkan dianggap hoaks.

Bentuk Intervensi?

Sebenarnya, deklasifikasi dokumen rahasia AS tidak bisa dianggap remeh. Mau tidak mau, pengungkapan rahasia besar intelijen tersebut tetap dapat memiliki dampak dan konsekuensi. Dalam beberapa kasus, deklasifikasi dokumen rahasia ini menjadi bagian dari strategi Washington untuk mengatur hubungan dengan dunia luar.

Pentingnya hal tersebut tergambar misalnya melalui istilah declassification diplomacy atau diplomasi deklasifikasi. Beberapa pengamat menyebut bahwa AS berupaya untuk menciptakan pertemanan dengan membuka luka-luka lama.

Istilah tersebut umumnya untuk menggambarkan kebijakan pemerintahan Bill Clinton dan Barack Obama untuk membuka sejumlah dokumen lama terkait operasi AS di negara tertentu. Langkah tersebut dianggap sebagai “goodwill”atau niat baik dalam diplomasi mereka.

Di mata sebagian orang, langkah tersebut bisa dianggap sebagai langkah apologis AS untuk memperbaiki  hubungan dengan negara lain yang diungkap luka lamanya. Meski begitu, deklasifikasi dokumen rahasia itu juga bisa berarti AS kembali melakukan intervensi. Pendapat seperti itu diungkapkan misalnya oleh Christopher Sabatini dari Columbia University.

Pendapat senada diungkapkan oleh Peter Kornbluh dari National Security Archive. Menurutnya, pembukaan dokumen-dokumen lama tersebut memang digunakan secara proaktif sebagai alat dalam kebijakan luar negeri AS. Hal ini terutama berlaku saat masa pemerintahan Obama.

Sementara, pemerintahan Donald Trump disebut-sebut tidak banyak melakukan langkah seperti pendahulunya ini. Meski begitu, bukan berarti strategi semacam ini akan benar-benar hilang di masa pemerintahan Trump. Apalagi, kepentingan AS dalam beberapa kasus tidak hanya diwakili oleh presiden saja. Agensi-agensi khusus seperti Central Intelligence Agency (CIA) dan National Security Agency (NSA) diketahui kerap memiliki langkah tersendiri.

Terlihat bahwa deklasifikasi dokumen rahasia tidak dapat dipahami hanya sebagai upaya pengungkapan fakta semata. Di dalamnya kerapkali ada unsur kepentingan dari pihak yang berkuasa di AS. Jika meminjam kata-kata Sabatini, pembukaan dokumen tersebut bisa memiliki unsur intervensi AS terhadap negara lain.

Tidak Restui Prabowo?

Berdasarkan pendapat tersebut, bisa saja ada yang menyimpulkan bahwa deklasifikasi yang terjadi saat ini adalah bentuk dari intervensi AS terhadap Indonesia. Dalam konteks ini, publik bisa menduga bahwa negara adidaya itu memiliki upaya untuk menjegal Prabowo di Pilpres 2019.

Jika diperhatikan, waktu pengungkapan dokumen rahasia ini tergolong tidak lazim. Biasanya, dokumen akan dideklasifikasi secara otomatis jika telah mencapai 25 tahun dari pelaksanaan operasi. Dalam deklasifikasi kasus Prabowo, pengungkapan justru berjalan lebih cepat dari biasanya.

Baca juga :  Prabowonomics: Jurus ‘Lompatan Katak’?

Kondisi ini bisa saja menjadi indikasi bahwa AS tidak memberikan restu kepada Ketua Umum Partai Gerindra tersebut. Sebagaimana kerap dikisahkan, AS memang hampir selalu terlibat dalam pergantian rezim di berbagai negara. Umumnya, calon yang terpilih adalah calon yang mendapat restu dari mereka.

Jika benar deklasifikasi dokumen rahasia ini adalah langkah intervensi Washington, maka Prabowo bisa saja akan kesulitan menuju kursi RI-1. Bisa saja ini hanya menjadi langkah awal dan AS akan menyiapkan langkah-langkah berikutnya untuk menjegal Prabowo.

Kondisi tersebut tentu akan menguntungkan bagi lawan Prabowo. Sejauh ini belum terlihat siapa sosok individu yang direstui oleh Washington. Meski begitu, lawannya tersebut dapat memperoleh tambahan dukungan yang cukup berbahaya bagi peluang Prabowo.

Saat berbicara tentang AS dan operasinya, sebenarnya negara tersebut tidak bisa dilihat sebagai sebuah entitas tunggal. Jika membicarakan intervensi, maka ada tiga entitas utama yang perlu diperhatikan yaitu State Department, CIA, dan NSA.

Sejauh ini, belum ada pernyataan resmi dari Pemerintah AS terkait dengan deklasifikasi dokumen rahasia tersebut. Baik Kementerian Luar Negeri maupun Kedubes AS di Indonesia sama-sama belum memberikan pernyataan khusus. Padahal, biasanya jika deklasifikasi dilakukan dengan maksud menjaga hubungan luar negeri, pemerintah AS akan melakukan pengumuman resmi.

Hal ini terjadi misalnya pada kasus pembukaan dokumen Dirty War di Argentina dan Augusto Pinochet di Cile. Menteri Luar Negeri saat itu John Kerry menyampaikan secara langsung rekaman kepada pemimpin-pemimpin di masing-masing negara.

Berdasarkan kondisi tersebut, publik bisa saja berasumsi bahwa deklasifikasi ini bukan berasal dari pemerintah AS secara langsung. Hal ini berarti ada pihak lain yang menarik pelatuk, jika benar deklasifikasi ini adalah bagian dari intervensi.

Jika melihat kiprah National Security Archive yang membuka dokumen tersebut, publik akan melihat ini sebagai lembaga nirlaba. Lembaga ini diketahui hidup melalui sokongan dana sejumlah yayasan seperti Ford Foundation, Carnegie Corporation of New York, William and Flora Hewlett Foundation, dan lain-lain.

Salah satu lembaga donor, Ford Foundation kerap dituduh memiliki kaitan dengan CIA. Disebutkan bahwa keterlibatan CIA pada lembaga donor itu sangat besar. Mantan pimpinan Ford Foundation, John J. McCloy disebut-sebut mempekerjakan agen CIA di lembaga tersebut dan membuat bagian khusus untuk menjalankan permintaan CIA.

Berdasarkan kondisi tersebut, publik bisa saja berasumsi bahwa deklasifikasi dokumen rahasia yang merugikan Prabowo ini diarsiteki oleh CIA. Intervensi dalam hal ini tidak dilakukan oleh pemerintah AS, melainkan agensi rahasia Negeri Paman Sam tersebut.

Tentu, semua itu masih perlu dibuktikan. Akan tetapi, sangat alamiah jika publik mulai bertanya-tanya dan berasumsi akibat bola panas yang digulirkan oleh dokumen tersebut. Jika benar AS sudah terlibat, maka Pilpres 2019 nanti bisa menjadi pertarungan yang menarik. (H33)

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Anomali PSI: Gagal Karena Kuasa Jeffrie Geovanie?

Kegagalan PSI untuk lolos ke parlemen pusat dalam dua gelaran Pemilu berturut-turut memang menimbulkan pertanyaan besar.

Puan-Mega, Ada ‘Perang Sipil’ PDIP? 

Berbeda dari Megawati Soekarnoputri, Puan Maharani belakangan tunjukkan gestur yang lebih lembut kepada pemerintah dan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Mengapa demikian?

Ketua DPR, Golkar Lebih Pantas? 

Persaingan dua partai politik (parpol) legendaris di antara Partai Golkar dan PDIP dalam memperebutkan kursi Ketua DPR RI mulai “memanas”. Meskipun secara aturan PDIP paling berhak, tapi beberapa pihak menilai Partai Golkar lebih pantas untuk posisi itu. Mengapa demikian?

The Tale of Two Sons

Jokowi dan SBY bisa dibilang jadi presiden-presiden yang berhasil melakukan regenerasi politik dan sukses mendorong anak-anak mereka untuk terlibat di dunia politik.

Lolos “Seleksi Alam”, PKS-PKB Seteru Abadi?

Berkaca pada hasil Pileg 2024, PKB dan PKS agaknya akan menjadi dua entitas politik yang akan terlibat dalam persaingan ceruk suara pemilih Islam ke depan. Terlebih di saat PAN seakan telah melepaskan diri dari karakter Islam dan PPP harus “terdegradasi” dari kancah legislatif nasional.

Jokowi Makin Tak Terbendung?

Presiden Joko Widodo (Jokowi) dirumorkan meminta jatah menteri dari pemerintahan Prabowo Subianto. Apakah Jokowi makin tak terbendung?

Elon Musk dan Dimulainya Era Feudalisme Teknologi 

Perusahaan teknologi raksasa seperti Apple dan Starlink semakin memiliki keterikatan dengan dinamika politik. Jika pola ini terjaga, akan seperti apa pengaruhnya terhadap dunia politik di masa depan? 

Prabowonomics: Jurus ‘Lompatan Katak’?

Program makan siang dan susu gratis ala Prabowo merupakan jenis school feeding program. Mungkinkah ini jadi kunci penting Prabowonomics?

More Stories

Membaca Siapa “Musuh” Jokowi

Dari radikalisme hingga anarko sindikalisme, terlihat bahwa ada banyak paham yang dianggap masyarakat sebagai ancaman bagi pemerintah. Bagi sejumlah pihak, label itu bisa saja...

Untuk Apa Civil Society Watch?

Ade Armando dan kawan-kawan mengumumkan berdirinya kelompok bertajuk Civil Society Watch. Munculnya kelompok ini jadi bahan pembicaraan netizen karena berpotensi jadi ancaman demokrasi. Pinterpolitik Masyarakat sipil...

Tanda Tanya Sikap Gerindra Soal Perkosaan

Kasus perkosaan yang melibatkan anak anggota DPRD Bekasi asal Gerindra membuat geram masyarakat. Gerindra, yang namanya belakangan diseret netizen seharusnya bisa bersikap lebih baik...