HomeNalar PolitikPoros Ketiga, Wacana Forever?

Poros Ketiga, Wacana Forever?

“Maka saya usulkan tahap pertama kami lakukan dua poros, supaya muncul empat orang. Berarti empat partai terakomodasi,” Sohibul Iman, Presiden PKS


PinterPolitik.com

[dropcap]W[/dropcap]acana forever. Mungkin inilah kata-kata yang tepat untuk menggambarkan kemungkinan munculnya poros ketiga di Pilpres 2019. Sudah berulang kali politisi negeri ini mengungkapkan wacana tersebut, tetapi hingga  pembukaan pendaftaran tinggal hitungan hari, poros tersebut belum juga terwujud.

Belakangan, wacana teranyar diungkapkan oleh Presiden PKS Sohibul Iman. Mantan Wakil Ketua DPR tersebut mengungkapkan bahwa dirinya membuka opsi poros ketiga untuk bisa mengantar  Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan naik tingkat menjadi presiden.

Selain itu, selentingan kabar poros ketiga juga dikeluarkan oleh kantor berita yang berbasis di Hong Kong, Asia Times. Dalam artikel yang ditulis oleh John McBeth, diungkapkan bahwa Wapres Jusuf Kalla (JK) berminat membuka poros ketiga bersama Partai Demokrat.

Kemunculan poros ketiga bisa saja mengubah konstelasi yang ada jelang Pilpres 2019. Dua kutub utama yaitu kubu petahana Joko Widodo (Jokowi) dan oposisi yang digawangi Prabowo Subianto bisa saja mendapat penantang baru yang sepadan. Tidak hanya itu, secara spesifik, kemunculan poros ketiga bisa saja mengancam peluang Jokowi sebagai petahana.

JK Sebagai Kunci

Majalah Tempo memuat sebuah tajuk utama yang cukup menarik. Halaman sampul majalah tersebut memunculkan ilustrasi wajah JK dengan tulisan “Tiga Pilihan JK”. Tiga pilihan tersebut merujuk pada langkah yang bisa diambil mantan Ketua Umum Partai Golkar tersebut  di Pilpres 2019.

Dari ketiga opsi tersebut, dua opsi yang bisa diambil berpotensi memunculkan poros baru dalam gelaran Pilpres 2019. JK bisa saja kembali turun gelanggang  dan meninggalkan opsi pensiun. Ia bisa saja maju sebagai capres melalui tiket yang diberikan oleh Partai Demokrat.

JK tampaknya bisa meniru langkah yang dilakukan oleh Mahathir Mohamad di Malaysia. Meski berusia cukup uzur, nyatanya Mahathir tetap bisa melenggang menuju kursi Perdana Menteri Malaysia. Kisah sukses di usia senja ala Mahathir ini barangkali bisa menjadi inspirasi JK menuju kursi RI-1.

Opsi lain yang bisa diambil mantan Menko Kesra ini adalah bermain di balik layar  dan memainkan peran sebagai kingmaker. Sosok king yang bisa diantarkan JK menuju Istana Negara disebut-sebut mengarah kepada sosok Anies Baswedan. Hal ini terkait dengan kedekatan khusus antara kedua tokoh tersebut.

Dalam beberapa kesempatan dua kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) ini memang tampak mesra. Beberapa waktu lalu misalnya, Anies tampak menghabiskan hari bersama JK dan pergi dengan menggunakan mobil yang sama. Hal ini belum termasuk cerita-cerita kemesraan lain sebelum itu.

Baca juga :  Siasat Rahasia NasDem Soal Hak Angket? 

Terlepas dari peran apa yang diambil nantinya, kondisi-kondisi tersebut menunjukkan bahwa JK masih memiliki sedikit hasrat untuk berkuasa. Hal ini sejalan dengan pemikiran filsuf kenamaan asal Jerman Friedrich Nietzsche.

Nietzsche pernah mengeluarkan pemikiran tentang will to power atau kehendak berkuasa. Dalam pandangan Nietzsche, will to power adalah pendorong utama dalam manusia untuk mencapai suatu tujuan, ambisi, atau posisi yang lebih baik di dalam hidup. Kehendak berkuasa ini tidak dianggap sesuatu yang buruk atau baik, tetapi lebih dianggap hal yang wajar ada di dalam diri manusia.

Terlihat bahwa meski berusia senja, will to power JK masih tergolong tinggi. Ia masih ingin memiliki peran dalam politik negeri ini. Peran ini bisa saja ia mainkan sebagai tokoh utama, tetapi juga bisa saja sebagai aktor di balik layar. Yang jelas, ia masih punya cukup hasrat untuk tetap berpolitik.

Mendorong Anies

Sebagaimana disebut di atas, Anies berpotensi dimunculkan sebagai sosok utama dalam poros ketiga. Selain restu dan pengaruh JK, peluang mantan Menteri Pendidikan ini merengkuh kursi presiden adalah melalui keinginan kuat PKS mendukungnya di Pilpres 2019.

PKS tampaknya sangat berhasrat mengusung Anies menjadi capres 2019. Sayangnya, sahabat setia mereka, Partai Gerindra, tidak memiliki keinginan serupa. Mereka tetap bersikeras menawarkan nama Prabowo sebagai satu-satunya opsi capres. Hal ini membuat PKS harus memutar otak agar Anies tetap bisa maju menjadi capres.

Poros Ketiga, Wacana Forever?

Diberitakan bahwa PKS mulai mengontak partai lain sebagai opsi jika koalisi dengan Gerindra gagal terwujud. Salah satu partai yang mereka hubungi adalah Partai Demokrat. Dalam sebuah pertemuan, PKS disebut-sebut mengajak Demokrat untuk mengusung Anies Baswedan. Selain itu, PKB dan PAN juga dikabarkan dilirik oleh partai berlogo padi dan bulan ini.

Langkah tersebut menunjukkan bahwa PKS – dan partai-partai lain yang nantinya memutuskan berkoalisi – menjalankan strategi sebagai presidentialized party. Konsep ini diungkapkan misalnya oleh Koichi Kawamura saat melihat fenomena partai politik di Indonesia.

Karakteristik dari presidentialized party ini berbeda dengan personalized party yang bertumpu pada ketokohan elite pendiri partainya. Partai seperti ini umumnya hanya mengincar kemenangan di Pilpres saja. Dalam kadar tertentu, partai ini hanya berharap pada popularitas figur yang diusung sehingga tidak ragu mengusung tokoh outsider atau orang di luar partai.

Berdasarkan kondisi tersebut, PKS seperti mengharapkan ketokohan Anies Baswedan ketimbang kadernya sendiri. Mereka berharap popularitas Anies yang lebih baik ketimbang kader-kadernya mampu memberi harapan perolehan suara yang lebih besar.

Jika usaha PKS ini berhasil, kemungkinan besar koalisi yang terbentuk adalah vote-seeking coalition seperti yang dikemukakan oleh Kaare Strom. Koalisi yang terbentuk kemungkinan besar hanya ingin memaksimalkan perolehan suara alih-alih berbasis kebijakan atau ideologi. Sejak awal, poros ketiga yang diinginkan PKS ini memang ditargetkan memaksimalkan perolehan suara lawan Jokowi.

Baca juga :  Mustahil Megawati-Paloh Gunakan Hak Angket? 

Poros Ketiga, Jurus Jegal Jokowi

Secara matematis, opsi poros ketiga sangat mungkin terjadi. Baik JK atau Anies masih berpeluang untuk maju memperebutkan tiket menuju Istana. Jika poros tersebut benar-benar terwujud, maka Pilpres 2019 bisa saja berubah suhunya.

Presiden PKS Sohibul Iman mengungkapkan bahwa opsi poros ketiga sengaja terus digelorakan sebagai sebuah strategi untuk menumbangkan Jokowi. Anggota Komisi X DPR tersebut mengambil contoh bagaimana strategi tiga pasangan calon ini dapat berhasil di Pilgub Jakarta 2017.

Sebagaimana diketahui, Pilgub Jakarta 2017 berlangsung selama dua putaran. Di putaran pertama, pasangan petahana sekaligus favorit Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)-Djarot Saiful Hidayat memang unggul. Akan tetapi, di putaran kedua Ahok-Djarot harus tumbang di hadapan pasangan Anies-Sandiaga Uno. Kekalahan Ahok-Djarot disebut-sebut karena suara pasangan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY)-Sylviana Murni yang kandas di putaran pertama beralih ke Anies-Sandiaga.

Jika Pilpres 2019 berlangsung dengan tiga pasangan calon, Jokowi sebagai petahana diprediksi tidak akan menang mudah. Hal ini terkait dengan tipisnya keunggulan mantan Gubernur Jakarta tersebut dalam berbagai survei jelang Pilpres.

Pilpres diprediksi akan berlangsung hingga ke putaran kedua. Di putaran pertama, Jokowi sebagai petahana bisa saja unggul. Akan tetapi, pertarungan sebenarnya bisa saja baru dimulai di putaran kedua. Seperti diungkapkan Sohibul Iman, kandidat yang tidak berhasil lolos ke putaran kedua kemungkinan besar akan mendukung kandidat penantang Jokowi dan menyatukan kekuatan mereka.

Tampak bahwa Jokowi akan dikonstruksikan sebagai common enemy atau musuh bersama. Secara sosiologis, menurut Lewis A. Coser, musuh bersama dapat memunculkan kohesi di dalam kelompok. Kelompok tersebut akan bersatu untuk mengalahkan sosok musuh bersama. Rasa saling melindungi dan saling menguatkan akan muncul seiring dengan hadirnya sosok musuh bersama.

Berdasarkan kondisi tersebut, wacana munculnya poros ketiga dapat dipandang sebagai sesuatu yang bisa mengancam kans Jokowi. Baik JK atau Anies sebagai figur sentralnya, sama-sama berpotensi mengurangi suara petahana tersebut terutama jika Pilpres berlangsung hingga dua putaran.

Yang jelas, jika memang ingin mengalahkan Jokowi, parpol-parpol harus serius menggarap poros ketiga tersebut. Jika tidak, poros ketiga lagi-lagi hanya akan jadi wacana forever. (H33)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Anomali PSI: Gagal Karena Kuasa Jeffrie Geovanie?

Kegagalan PSI untuk lolos ke parlemen pusat dalam dua gelaran Pemilu berturut-turut memang menimbulkan pertanyaan besar.

Puan-Mega, Ada ‘Perang Sipil’ PDIP? 

Berbeda dari Megawati Soekarnoputri, Puan Maharani belakangan tunjukkan gestur yang lebih lembut kepada pemerintah dan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Mengapa demikian?

Ketua DPR, Golkar Lebih Pantas? 

Persaingan dua partai politik (parpol) legendaris di antara Partai Golkar dan PDIP dalam memperebutkan kursi Ketua DPR RI mulai “memanas”. Meskipun secara aturan PDIP paling berhak, tapi beberapa pihak menilai Partai Golkar lebih pantas untuk posisi itu. Mengapa demikian?

The Tale of Two Sons

Jokowi dan SBY bisa dibilang jadi presiden-presiden yang berhasil melakukan regenerasi politik dan sukses mendorong anak-anak mereka untuk terlibat di dunia politik.

Lolos “Seleksi Alam”, PKS-PKB Seteru Abadi?

Berkaca pada hasil Pileg 2024, PKB dan PKS agaknya akan menjadi dua entitas politik yang akan terlibat dalam persaingan ceruk suara pemilih Islam ke depan. Terlebih di saat PAN seakan telah melepaskan diri dari karakter Islam dan PPP harus “terdegradasi” dari kancah legislatif nasional.

Jokowi Makin Tak Terbendung?

Presiden Joko Widodo (Jokowi) dirumorkan meminta jatah menteri dari pemerintahan Prabowo Subianto. Apakah Jokowi makin tak terbendung?

Elon Musk dan Dimulainya Era Feudalisme Teknologi 

Perusahaan teknologi raksasa seperti Apple dan Starlink semakin memiliki keterikatan dengan dinamika politik. Jika pola ini terjaga, akan seperti apa pengaruhnya terhadap dunia politik di masa depan? 

Prabowonomics: Jurus ‘Lompatan Katak’?

Program makan siang dan susu gratis ala Prabowo merupakan jenis school feeding program. Mungkinkah ini jadi kunci penting Prabowonomics?

More Stories

Membaca Siapa “Musuh” Jokowi

Dari radikalisme hingga anarko sindikalisme, terlihat bahwa ada banyak paham yang dianggap masyarakat sebagai ancaman bagi pemerintah. Bagi sejumlah pihak, label itu bisa saja...

Untuk Apa Civil Society Watch?

Ade Armando dan kawan-kawan mengumumkan berdirinya kelompok bertajuk Civil Society Watch. Munculnya kelompok ini jadi bahan pembicaraan netizen karena berpotensi jadi ancaman demokrasi. Pinterpolitik Masyarakat sipil...

Tanda Tanya Sikap Gerindra Soal Perkosaan

Kasus perkosaan yang melibatkan anak anggota DPRD Bekasi asal Gerindra membuat geram masyarakat. Gerindra, yang namanya belakangan diseret netizen seharusnya bisa bersikap lebih baik...