HomeNalar PolitikPoros Islam PKB: Strategi 'Pendulum'?

Poros Islam PKB: Strategi ‘Pendulum’?

Kecil Besar

PKB beberapa waktu lalu mengumumkan rencana untuk membangun koalisi poros Islam dengan PKS dan PAN. Rencana ini justru menarik reaksi Partai Golkar yang menyatakan ketertarikan mereka untuk bergabung. Permainan politik apa yang sebenarnya tengah dimainkan oleh PKB?


PinterPolitik.com

“History has always been a series of pendulum swings, but the individual doesn’t have to get caught in that.” – Robert Johnson, musisi asal Amerika Serikat (AS)

Kata “strategi” merupakan sebuah kata yang sering digunakan dalam berbagai aspek kehidupan. Saat bermain gim video, misalnya, tentunya dibutuhkan strategi agar dapat memenangkan tantangan dalam permainan yang ada.

Mungkin, bagi yang menggemari gim video yang beraliran simulasi, strategi merupakan sebuah konsep yang penting dan krusial dalam gim yang berjudul Tropico. Sebagai el presidente, pemain diminta memimpin sebuah negara kepulauan di Amerika Latin.

Tentu saja, tantangan-tantangan yang dihadapi tidaklah mudah. Ada beberapa aktor politik yang harus dihadapi – baik secara domestik maupun internasional. Secara domestik, misalnya, pemain harus mengarungi kepentingan yang berbeda-beda dari berbagai kelompok ideologi.

Selain itu, pemain juga harus menghadapi kekuatan-kekuatan asing yang besar pada setiap eranya. Di era Perang Dunia II, misalnya, pemain harus berhadapan dengan kekuatan Blok Sekutu dan Blok Poros (Axis).

Bukan tidak mungkin, permainan-permainan strategi semacam ini juga berlaku di dimensi politik dan pemerintahan di dunia nyata. Pemerintah Indonesia, misalnya, hampir setiap tahun hingga lima tahun selalu menyusun rencana strategis untuk menjalankan tujuan-tujuan kebijakan yang dimilikinya – seperti Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang disusun setiap lima tahun dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) yang disusun setiap 20 tahun.

Strategi pun juga berlaku bagi para aktor politik yang ikut bermain dalam kontestasi ini – mulai dari para calon presiden dan calon wakil presiden potensial hingga partai-partai politik sendiri. Strategi yang jitu akan semakin penting ketika waktu pesta demokrasi semakin mendekat – yang kali ini akan berlangsung pada tahun 2024.

Sejumlah langkah taktis pun tampaknya mulai dilakukan oleh sebuah partai yang identik dengan warna hijau, yakni PKB. Beberapa waktu lalu, partai yang dipimpin oleh Ketua Umum (Ketum) Abdul Muhaimin Iskandar – juga dikenal sebagai Cak Imin dan Gus AMI – mengumumkan ajakan mereka untuk membangun sebuah koalisi poros Islam bersama PKS dan PAN.

Baca Juga: Menag Yaqut dan Amunisi Rahasia PKB

Mau Pak Anies Gabung PKB

Ajakan ini menariknya tidak hanya direspons oleh PKS dan PAN, melainkan juga oleh Partai Golkar. Tentu saja respons dari Golkar yang notabene bukanlah partai Islam ini menimbulkan sejumlah pertanyaan.

Mengapa Golkar bisa merasa tertarik untuk bergabung dengan wacana poros Islam dari PKB? Lantas, strategi permainan apa yang sebenarnya tengah dimainkan oleh partai yang kini menjadikan lebah sebagai “maskot” mereka tersebut?

Mengapa Poros Islam?

Rencana PKB untuk membangun koalisi poros Islam ini bukan tidak mungkin terjadi akibat kecilnya kemungkinan menang partai-partai Islam. Pasalnya, selain pemilihan umum (Pemilu) yang dihelat pada tahun 1955, partai-partai Islam selalu mendapatkan perolehan suara yang lebih kecil dibandingkan partai-partai lain yang berhaluan nasionalis dan sekuler.

Padahal, seperti yang banyak diamati oleh para peneliti sosio-politik seperti Ariel Heryanto dalam tulisannya yang berjudul Upgraded Piety and Pleasure, ketaatan masyarakat Indonesia terhadap agama Islam mengalami tren peningkatan. Tentu, ini menjadi pertanyaan yang menarik untuk dibahas lebih lanjut.

Baca juga :  Open Loker Cawapres 2029, Puan Maharani? 

Pertanyaan inipun akhirnya berusaha dijawab oleh Catriona Croft-Cusworth dalam tulisannya yang berjudul Why Islamic Parties Don’t Win Indonesian Elections di Lowy Institute yang kurang lebih menjelaskan bahwa kelompok-kelompok Islam sendiri memiliki perbedaan pandangan politik di antara mereka.

Kelompok Muhammadiyah, misalnya, disebut memiliki keterwakilan politik dengan PAN. Sementara, kelompok Nahdlatul Ulama (NU) justru memiliki partai yang berbeda juga, yakni PKB.

Perbedaan keterwakilan politik ini pun juga semakin diperluas dengan kehadiran partai-partai Islam lainnya yang lebih akomodatif dengan dua kelompok besar di Indonesia tersebut. PPP dan PKS, misalnya, dinilai dapat mengincar anggota-anggota yang mengategorikan diri mereka ke NU maupun Muhammadiyah.

Bukan tidak mungkin, akibat perbedaan keterwakilan politik kelompok-kelompok Islam ini menciptakan sebuah “permainan” khusus yang dimainkan oleh partai-partai Islam sendiri. Bisa jadi, mereka pun malah berakhir memperebutkan basis suara yang sama di antara satu sama lain.

Baca Juga: Pencarian Jati Diri Cak Imin

Cinta PKB Gerindra Bersemi di Muktamar

Bila mengacu pada teori permainan (game theory), partai-partai Islam seperti PKB, PAN, PPP, dan PKS selalu memainkan permainan di dua tingkat yang berbeda (two-level game) seperti apa yang dijelaskan oleh Robert D. Putnam dalam tulisannya yang berjudul Diplomacy and Domestic Politics: The Logic of Two-Level Games

Meski teori permainan ini digunakan Putnam untuk menjelaskan bagaimana sebuah negara memainkan dua tingkat permainan dalam waktu bersamaan – yakni dalam permainan domestik dan internasional, konsep ini mungkin juga bisa menggambarkan bagaimana partai-partai Islam saling bersaing di dua game yang berbeda, yakni permainan di basis suara Islam sekaligus permainan dalam memperebutkan pemilik suara dengan partai-partai nasionalis dan sekuler.

Mungkin, inilah yang menjadi alasan Cak Imin dan PKB untuk mempertimbangkan rencana pembangunan poros Islam – sehingga dapat menyelesaikan permainan di satu tingkat terlebih dahulu. Dengan begitu, partai-partai Islam ini dapat lebih berfokus untuk memainkan “permainan” politik yang hadir di antara mereka dan partai-partai nasionalis-sekuler.

Namun, upaya membentuk poros Islam yang benar-benar solid bukanlah perkara mudah. Bisa jadi, partai-partai Islam ini pun harus melalui berbagai kecurigaan di antara kepentingan mereka sendiri – lagipula kepercayaan (trust) merupakan hal yang penting dalam membangun poros ini.

Lantas, apa siasat sebenarnya yang ada di balik wacana poros Islam yang dilontarkan oleh PKB ini? Kemudian, mengapa Golkar yang notabene tidak membawa nilai dan identitas Islam ingin bergabung dengan wacana koalisi ini?

Sebuah Permainan ‘Pendulum’?

Tentunya, dalam sebuah permainan, tidak semua pemain memiliki sumber dan kekuatan yang sama. Ini pun berlaku dalam permainan video gim seperti Tropico yang mana setiap kelompok politik dapat memberikan keuntungan yang berbeda-beda bagi pemain.

Pertimbangan seperti inilah yang mungkin tengah dipikirkan secara matang oleh Cak Imin dan PKB. Seperti permainan pada umumnya, Pemilu juga menjadi sebuah permainan yang memiliki hadiah atau prize yang dikejar oleh para pemain yang saling bersaing – yakni upaya untuk mendapatkan kursi parlemen yang dapat berujung pada pengaruh partai untuk menentukan calon presiden (capres) yang akan maju di Pemilihan Presiden (Pilpres).

Baca juga :  Sejauh Mana “Kesucian” Ahok?

Bila mengacu pada teori permainan yang telah diungkapkan di atas, upaya untuk memajukan capres oleh para partai politik merupakan sebuah perhitungan matematis. Salah satu syarat bagi partai politik untuk bisa mencalonkan presiden adalah ambang batas presiden (presidential threshold).

Baca Juga: Siasat Cak Imin Capres 2024?

Cak Imin dan Koalisi Bandul

Aturan soal ambang batas presiden ini diatur dan tertuang dalam Pasal 222 Undang-Undang (UU) No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) yang mensyaratkan bahwa pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik untuk memenuhi ambang batas perolehan kursi minimum 20 persen atau 25 persen dari suara sah pada Pemilu sebelumnya.

Dalam arti lain, semakin banyak partai politik yang terlibat dalam sebuah koalisi, semakin besar juga kesempatan bagi partai-partai tersebut untuk dapat mengusung pasangan capres dan calon wakil presiden (cawapres). Mungkin, inilah mengapa Golkar pun tertarik untuk bergabung dengan wacana koalisi poros Islam ala PKB – mengingat partai berlambang pohon beringin tersebut sudah secara mantap akan mencalonkan Ketum Golkar Airlangga Hartarto.

Namun, ketertarikan Golkar pada wacana tersebut memunculkan pertanyaan lain. Apakah mungkin wacana ini menjadi semacam strategi tersendiri bagi Cak Imin dan partai yang dipimpinnya, PKB?

Bila dianalogikan dalam politik internasional, ada sejumlah klasifikasi atas negara-negara berdasarkan kekuatan yang mereka miliki, yakni: negara kuat (great powers), negara sedang (middle powers), dan negara kecil (small powers). Bukan tidak mungkin, penggolongan berdasarkan kekuatan ini juga dapat diterapkan dalam game domestik satu ini – mengingat partai politik juga merupakan entitas yang memiliki sumber dan kekuatan untuk dimobilisasi.

Katakanlah, game ambang batas ini kini diisi oleh great powers seperti PDIP (128 kursi), Golkar (85), dan Gerindra (78). Sementara, pada tingkat menengah, terdapat sejumlah partai seperti Nasdem (59), PKB (58), PAN (44), dan PPP (19).

Partai-partai menengah seperti PKB mungkin tidaklah bisa memiliki kekuatan sebesar PDIP, Golkar, dan Gerindra. Namun, ini bukan berarti PKB tidak penting dan tidak memiliki daya tawar – mengingat jumlah kursi yang mereka miliki bisa saja membantu partai-partai besar ini untuk mengusung calon mereka.

Daya tawar (leverage) seperti inilah yang bisa jadi tengah digunakan oleh PKB – beserta partai-partai menengah lainnya yang diwacanakan untuk membangun poros Islam bersama seperti PAN dan PPP. Ini membuat PKB bisa menjalankan sebuah strategi “pendulum” yang bisa membuat mereka berayun di antara kepentingan partai-partai besar.

Bukan tidak mungkin, permainan “pendulum” ini malah dipertahankan oleh PKB kini dan hingga ke depannya – menjadikannya sebagai partai yang justru memiliki daya tawar unik bak middle power dalam sebuah “permainan” politik. Mungkin, strategi inilah yang akan diambil oleh Cak Imin dan PKB bila mereka kini tengah bermain Tropico – berayun ke sana dan kemari untuk mendapatkan keuntungan optimal di antara kekuatan-kekuatan yang ada. (A43)

Baca Juga: Baliho Cak Imin Bukan untuk Nyapres?


► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Sejauh Mana “Kesucian” Ahok?

Pasca spill memiliki catatan bobrok Pertamina dan dipanggil Kejaksaan Agung untuk bersaksi, “kesucian” Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok seolah diuji. Utamanya, terkait pertaruhan apakah dirinya justru seharusnya bertanggung jawab atas skandal dan kasus rasuah perusahaan plat merah tempat di mana dirinya menjadi Komisasis Utama dahulu.

Teror Soros, Nyata atau “Hiperbola”? 

Investor kondang George Soros belakangan ramai dibincangkan di media sosial. Apakah ancaman Soros benar adanya, atau hanya dilebih-lebihkan? 

Begitu Sulit Sri Mulyani

Kementerian Keuangan belum juga memberikan paparan kinerja APBN bulan Januari 2025.

Mitos “Hantu Dwifungsi”, Apa yang Ditakutkan?

Perpanjangan peran dan jabatan prajurit aktif di lini sipil-pemerintahan memantik kritik dan kekhawatiran tersendiri meski telah dibendung sedemikian rupa. Saat ditelaah lebih dalam, angin yang lebih mengarah pada para serdadu pun kiranya tak serta merta membuat mereka dapat dikatakan tepat memperluas peran ke ranah sipil. Mengapa demikian?

Inikah Akhir Hidup NATO?

Perbedaan pendapat antara Amerika Serikat (AS) dan negara-negara anggota Organisasi Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) belakangan terlihat semakin kentara. Apa maknanya?

Apocalypse Now Prabowo: Sritex dan Tritum Konfusianisme

Badai PHK menghantui Indonesia. Setelah Sritex menutup pabriknya dan menyebabkan 10 ribu lebih pekerja kehilangan pekerjaan, ada lagi Yamaha yang disebut akan menutup pabrik piano yang tentu saja akan menyebabkan gelombang pengangguran.

Tiongkok Pesta Thorium, Bisa Pantik “Perang”? 

Dunia dihebohkan dengan kabar bahwa Tiongkok berhasil menemukan cadangan thorium yang jumlahnya diprediksi bisa menghidupi kebutuhan energi negara tersebut selama 60 ribu tahun. Kira-kira, apa dampak geopolitik dari hal ini? 

Ini Akhir Cerita Thohir Brothers?

Mega korupsi Pertamina menguak dan mulai terarah ke Menteri BUMN, Erick Thohir, dan sang kakak, Garibaldi atau Boy Thohir. Utamanya, terkait jejaring kepentingan personal dan politik yang bisa saja akan menjadi pertimbangan Presiden Prabowo Subianto kelak atas sebuah keputusan. Benarkah demikian?

More Stories

Siasat Ahok “Bongkar” Korupsi Pertamina

Ahok tiba-tiba angkat bicara soal korupsi Pertamina. Mengacu pada konsep blame avoidance dan UU PT, mungkinkah ini upaya penghindaran?

Dari Deng Xiaoping, Sumitro, hingga Danantara

Presiden Prabowo Subianto telah resmikan peluncuran BPI Danantara pada Senin (24/2/2025). Mengapa mimpi Sumitro Djojohadikusumo ini penting?

Andai Indonesia Jadi Negara Federasi

Bagaimana jika Indonesia seperti Majapahit, tanpa batas tegas? Apakah itu membawa kejayaan atau justru kehancuran di era global ini?