HomeNalar PolitikOrmas Dalam Bisnis Politik

Ormas Dalam Bisnis Politik

Sejauh mana kemesraan Partai politik dan Ormas, dalam lingkaran bisnis politik negeri?


PinterPolitik.com 

[dropcap]S[/dropcap]enin (6/11) lalu, Eduardus Lemanto menulis tentang Ormas dan Bisnis Politik dalam kolom opini Kompas. Dari pemaparannya, lulusan magister STF Driyarkara tersebut menyatakan bahwa peresmian RUU Ormas dirasa belum cukup membendung kericuhan yang akan dilahirkan oleh ormas tertentu di masa depan. Ia berpendapat, pemerintah belum memasukkan elemen penting dari diskursus RUU Ormas, yakni relasi antara partai politik (Parpol), dan bisnis politik yang melatarinya.

Ketiadaan diskursus tersebut, menghilangkan wacana kepentingan keberadaan ormas sebagai Civil Society Organizations (CSO) atau  sebagai perangkat dasar partisipatif masyarakat ke dalam demokrasi. Namun begitu, ketiadaan kekuasaan dan uang dari bisnis politik, juga menurutnya, mustahil untuk membuat sebuah ormas tetap hidup.

Lebih lanjut, Eduardus menulis jika relasi tersebut hanya akan menghasilkan sebuah hubungan politis, di mana ormas akan dieksploitasi kekuatan massanya agar dapat mencengkram pengaruh dan kuasa politik.

Dari pemikiran tersebut, menarik untuk menelusuri bagaimana hubungan ormas dan partai politik dalam negeri. Apakah hubungan antara ormas dengan partai politik selalu terjadi dalam sifat eksploitatif seperti yang disebutkan sebelumnya?

Dari Ormas, Jadi Parpol

Ketika membicarakan ormas, sebagian besar pikiran masyarakat akan tertuju pada Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) atau Front Pembela Islam (FPI). Kedua ormas tersebut memang mendapatkan banyak sorotan beberapa tahun terakhir, karena sepak terjangnya. Namun begitu, bukan berarti ormas yang jarang atau bahkan tak pernah terdengar sama sekali namanya tidak patut diperhitungkan.

Ormas punya kekuatan untuk berubah haluan menjadi sebuah partai politik. Lihat saja Partai Nasional Demokrat (NasDem) dan Partai Perindo. Keduanya sama-sama berawal sebagai ormas yang punya massa cukup besar. Kini, partai tersebut bisa dikatakan memiliki kekuatan dalam panggung politik negeri.

Partai Nasdem misalnya, didirikan pada tahun 2010 oleh Sri Sultan Hamengkubuwono X dan Surya Paloh, ormas NasDem memiliki 3 landasan, yaitu politik solidaritas, ekonomi emansipatif dan partisipatif, serta budaya gotong royong.  Mereka bahkan mengadakan gerakan perubahan dengan nama Gerakan Restorasi.

Namun, belum setahun berdiri sebagai ormas, NasDem sudah berubah dan berganti kulit menjadi sebuah parpol. Bersamaan dengan itu pula, Sultan HB X memutuskan keluar dan menyatakan kekecewaannya. Kini, NasDem sudah tercatat sebagai salah satu partai koalisi pemerintah yang lumayan besar pengikutnya.

Hal yang sama juga terjadi pada Partai Perindo. Ia memiliki nama yang sama saat melakukan deklarasi dan pembacaan manifesto politiknya di Istora, Senayan, pada 2013 lalu. Pendiri ormas Perindo tak hanya Harry Tanoe saja, tetapi juga Yusril Ihza Mahendra, Romli Atmasasmita, dan Ahmad Rofiq.

Sama halnya dengan NasDem, Perindo mengubah diri menjadi partai politik setelah selama dua tahun menjadi ormas. Harry Tanoe yang menjadi aktor utama berdirinya Perindo berkata, pihaknya akan mengambil bagian penting dalam mengembangkan demokrasi di Indonesia, “Partai Perindo akan mengambil bagian penting dalam mengembangkan demokrasi dan mewujudkan pemerintahan yang berkeadilan dan bebas KKN,” jelasnya.

Baca juga :  Selama Masih Megawati, PDIP Pasti Oposisi?
Harry Tanoe dan Surya Paloh (sumber: istimewa)

Kini, baik Surya Paloh dan Hary Tanoe, selain memiliki partai politik juga  merupakan pengusaha media yang acara-acara politiknya mendominasi televisi.

Dari kedua contoh di atas, bentuk eksploitasi parpol kepada ormas, samar terlihat. Bisa dikatakan, ormas yang dibangun belum dieksploitasi seperti teori yang dikeluarkan Eduardus, sebab ormas tersebut sudah mengubah diri menjadi partai politik.

Tak hanya Perindo dan NasDem, Golkar awalnya juga didirikan sebagai wadah berkumpul masyarakat di luar partai politik. Bila melihat sepak terjang Golkar saat ini, tak banyak yang mengira jika partai ini dahulunya dibidani oleh Presiden Soekarno. Ketika menghadapi permasalahan politik di kursi parlemen, Soekarno menggunakan Golongan Karya sebagai kekuatan politiknya.

Dari Golongan Karya, ormas ini berubah nama menjadi Sekretarian Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar) yang juga menggandeng berbagai ormas-ormas lain, seperti ormas nelayan, buruh, dan anggota koperasi. Kini, Golkar dikenal sebagai salah satu partai koalisi terkuat yang bercokol bersama pemerintah.

FPI dan LMP, Bagai Ada dan Tiada

Ikatan erat partai politik dengan ormas, juga terjadi di dalam Partai Berkarya. Partai yang disinyalir mendapat pengaruh besar Tommy Soeharto (baik secara finansial maupun ideologi) ini, diketuai oleh Neneng A. Tutty. Nama Neneng memang tak sefamiliar dan seterkenal Tommy, anak bungsu mantan Presiden yang berkuasa selama lebih dari tiga dekade.

Namun begitu, sepak terjang sebenarnya Neneng sudah malang melintang di dunia partai dan juga ormas. Selain tercatat sebagai ketua Partai Berkarya, Neneng pernah menjabat sebagai Wakil Dewan Pembina dari Laskar Merah Putih (LMP). LMP merupakan ormas bernapaskan militer seperti halnya Pemuda Pancasila. LMP memiliki Dewan Kehormatan ormas yang di dalamnya terdapat nama Prabowo Subianto, Ryamizard Ryacudu, dan Bibit Waluyo.

Pasca meninggalnya Pemimpin LMP sebelumnya, Edy Hartawan, kepemimpinan Laskar Merah Putih dipercayakan pada Neneng untuk periode 2011 – 2016. Namun begitu, menurut keterangan yang didapat melalui catatan sejarah LMP, Neneng sebetulnya hanya bersedia menjabat di bawah Tommy Soeharto. Secara publik pun, Neneng belum pernah mengeluarkan pernyataan dukungannya secara terbuka dengan LMP.

Keterkaitan antara petinggi Partai Berkarya dengan LMP sebagai sebuah ormas, terjadi pula pada FPI dengan Gerindra. Sejak aksi Bela Islam lalu, banyak pihak menuding adanya hubungan antara FPI dengan Gerinda, bahkan juga PKS dalam hal penggalangan massa. Namun, tak ada cukup bukti sahih yang bisa menjadi pembenaran atas dugaan tersebut.

Baca juga :  Simpati, ‘Kartu’ Rahasia Prabowo?

Satu hal yang pasti, Prabowo selaku petinggi Partai Gerindra, kerap diundang dalam acara-acara yang berkaitan dengan FPI, salah satunya Milad FPI ke-19 beberapa bulan lalu. Walaupun tak datang, Prabowo sempat menanggapi permintaan FPI untuk bergerak membela Rohingya di Rakhine. Ia menanggapinya dengan berkata bahwa umat Muslim yang tertindas memang harus dibela, ia juga meminta FPI agar sabar dan menahan emosi.

Dalam acara yang berbeda, yakni acara Halal bi Halal DPD FPI Jakarta, Wakil Sekjen PKS, Mardani Ali Sera, turut hadir dalam acara tersebut. Bahkan ia melaporkan acara secara langsung melalui akun twitter miliknya.

Mengenai hubungannya dengan PKS, jubir FPI juga pernah menyatakan bahwa dibandingkan dengan partai lain di pemerintahan, hanya PKS yang menurutnya bisa diajak bekerja sama. Pernyataannya lantas menelurkan pertanyaan lain, apakah dengan ini FPI akan berganti haluan menjadi partai politik?

Menjawab hal itu, Awit Mashuri, salah satu tokoh berpengruh FPI memberi jawaban bahwa FPI tak akan menjadi partai. Namun begitu, tak menutup kemungkinan bila di masa depan, FPI akan menjadi salah satu bidan kelahiran partai baru.

Parpol, Ormas, dan Bisnis Politik

Ketika meneropong sepak terjang beberapa ormas, tak dapat disangkal jika memang perkumpulan organisasi massa memiliki kekuatan tertentu. Di sisi lain, ungkapan Eduardus ada benarnya pula, bila perkawinan partai politik dan ormas dalam sebuah bisnis politik, dapat mengubah tujuan dan nilai-nilai dasar CSO sebuah ormas.

Ormas Perindo dan NasDem yang kini lebih dikenali sebagai sebuah partai, sudah mantap menancapkan kekuasaannya untuk berebut kue kekuasaan. Visi misi ormas yang bahkan termaktub dalam Gerakan Restorasi, kini tinggal kenangan belaka.

Begitu pula yang terjadi pada parta Golkar. Partai yang berawal dari ormas Sekber Golkar dan memiliki tujuan mewadahi kepentingan masyarakat marjinal, kini pontang panting menjaga elektabilitas partai, sebab petingginya tak berhenti melakukan aksi kontroversial.

Setya Novanto, ketua Umum Golkar saat ini (sumber: istimewa)

Dengan demikian, hubungan antara partai politik dan ormas dalam skema bisnis politiknya, memang terbukti menjauhkan ormas dari nilai-nilai CSO, yang sejatinya terletak pada kesejahteraan rakyat dalam demokrasi, bukan hanya kepentingan segelintir kelompok saja. Namun, seperti apa yang dikatakan Pengamat Hukum Tata Negara, Indra Perwira, gelombang radikalisasi yang disemai oleh ormas berhaluan konservatif, belum mampu menggantikan ideologi Pancasila.

Dengan demikian, persamaan yang dilakukan Eduardus ketika meneropong ormas di Indonesia dengan apa yang terjadi pada gerakan NAZI di Jerman serta pembantaian di Rwanda, terlalu melompat jauh. Hubungan ormas dan partai politik di Indonesia akan melahirkan eksploitasi ideologi, sebab tujuan ormas mau tak mau harus selaras dengan partai politik, yakni keuntungan kapital sosial maupun ekonomi. (Berbagai Sumber/A27)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Anies Kalah Karena Tak Lawan Politik Identitas?

Pasangan Anies-Cak Imin harus mengakui keunggulan Prabowo-Gibran yang keluar sebagai pemenang Pilpres 2024. Di atas kertas, Anies yang secara track record dan citra publik begitu menjanjikan untuk jadi Presiden RI, nyatanya belum mampu meraih peruntungan di Pilpres kali ini. Pertanyaannya adalah mengapa demikian? Benarkah ini karena posisi Anies yang tak tegas melawan fabrikasi isu politik identitas yang kerap diarahkan padanya?

Benua Asia, Propaganda Terbesar Kolonialisme?

Benua Asia adalah benua terbesar dan terkaya di dunia. Namun, sebagai sebuah wilayah yang kerap dipandang homogen, Asia sebetulnya memiliki keberagaman yang begitu tinggi di antara kawasan-kawasannya sendiri. Mungkinkah lantas Benua Asia yang kita kenal bukanlah Benua Asia yang sesungguhnya?

Selama Masih Megawati, PDIP Pasti Oposisi?

Sinyal kuat bergabungnya Partai NasDem dan PKB, ditambah keinginan PKS untuk pula merapat ke koalisi Prabowo-Gibran, membuat Megawati Soekarnoputri dan PDIP dinilai akan mengambil sikap teguh nan luhur sebagai penyeimbang pemerintah. Namun, pada praktiknya, itu akan berjalan setengah hati. Benarkah demikian?

Strategi Erick Thohir Menangkan Timnas?

Timnas U-23 lolos ke babak semifinal di Piala Asia U-23 2024. Mungkinkah ini semua berkat Ketum PSSI Erick Thohir? Mengapa ini juga bisa politis?

Iran Punya Koda Troya di Bahrain? 

Iran sering dipandang sebagai negara yang memiliki banyak proksi di kawasan Timur Tengah. Mungkinkah Bahrain jadi salah satunya? 

“Sepelekan” Anies, PKS Pura-Pura Kuat?

Telah dua kali menyatakan enggan mengusung Anies Baswedan di Pilkada Jakarta 2024, PKS kiranya sedang mempraktikkan strategi politik tertentu agar daya tawarnya meningkat. Namun di sisi lain, strategi itu juga bisa saja menjadi bumerang. Mengapa demikian?

Gibran, Wapres Paling Meme?

Usai MK bacakan putusan sengketa Pilpres 2024, Gibran Rakabuming Raka, unggah fotonya sendiri dengan sound berjudul “Ahhhhhh”.

The Battle of Javanesia 2: Proxy War Jokowi vs Prabowo di Pilkada 2024

Pilkada serentak 2024 akan jadi panggung pertaruhan partai politik dan elite nasional untuk menentukan siapa yang jejaring kekuasaannya mampu merambah hingga ke level terbawah.

More Stories

Jangan Remehkan Golput

Golput menjadi momok, padahal mampu melahirkan harapan politik baru. PinterPolitik.com Gelaran Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2018 tunai sudah. Kini giliran analisis hingga euforia yang tersisa dan...

Laki-Laki Takut Kuota Gender?

Berbeda dengan anggota DPR perempuan, anggota DPR laki-laki ternyata lebih skeptis terhadap kebijakan kuota gender 30% untuk perempuan. PinterPolitik.com Ella S. Prihatini menemukan sebuah fakta menarik...

Menjadi Pragmatis Bersama Prabowo

Mendorong rakyat menerima sogokan politik di masa Pilkada? Prabowo ajak rakyat menyeleweng? PinterPolitik.com Dalam pidato berdurasi 12 menit lebih beberapa menit, Prabowo sukses memancing berbagai respon....