HomeNalar PolitikNegara Butuh Masyarakat Konsumtif?

Negara Butuh Masyarakat Konsumtif?

Sejak terbitnya peraturan Bank Indonesia pada tahun 2009 untuk menciptakan cashless society, perkembangan e-money atau uang elektronik menunjukkan progresivitas yang menjanjikan. Cashless society tidak hanya mengubah metode pembayaran, melainkan juga sebagai upaya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.


PinterPolitik.com

Uang adalah salah satu temuan terbaik umat manusia. Uang telah menjadi objek sekaligus subjek yang mengubah lajur kehidupan manusia dalam tatanan ekonomi.

Seiring dengan perkembangan teknologi, umat manusia terus mengembangkan uang sebagai alat transaksi yang menunjang perekonomian. Saat ini, dunia telah masuk ke era digitalisasi yang diakibatkan perkembangan pesat dari komputer dan internet yang membuat manusia mengembangkan uang menjadi alat transaksi digital yang kita kenal sebagai e-money atau uang elektronik.

Secara sederhana, uang elektronik dapat didefinisikan sebagai alat pembayaran dalam bentuk elektronik yang nilai uangnya disimpan dalam media elektronik tertentu. Cara penggunaanya dengan menyetorkan uang terlebih dahulu kepada penerbit dan disimpan dalam media elektronik sebelum menggunakannya untuk keperluan bertransaksi.

Di Indonesia, munculnya uang elektronik dilatarbelakangi oleh Peraturan Bank Indonesia (BI) Nomor 11/12/PBI/2009 sebagai salah satu pendukung agenda Bank Indonesia untuk menciptakan cashless society. Di sisi lain pemerintah juga memiliki agenda untuk mencapai Masyarakat Digital pada 2020 mendatang yang dilakukan melalui program Go Digital Vision 2020.

BI mencatat, pada tahun 2018 terdapat peningkatan transaksi menggunakan uang elektronik sebesar 163% sepanjang tahun 2017. Pertumbuhan pesat ini kemudian disimpulkan oleh Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara bahwa Indonesia akan mencapai cashless society dalam waktu yang tidak terlalu lama.

Perkembangan progresif uang elektronik tidak hanya memperlihatkan adanya perubahan atau bergantinya metode pembayaran dari cash ke digital, melainkan juga memberi efek pada laju pertumbuhan ekonomi.

Lantas efek seperti apa yang dimaksud, dan bagaimana bisa efek itu terjadi?

Menuju Masyarakat Konsumtif

Perkembangan pesat uang elektronik di Indonesia ditengarai akibat meningkatkan pengguna smartphone atau telepon pintar yang dicatat eMarketer, jumlahnya pada 2018 diprediksi mencapai lebih dari 100 juta orang.Dengan jumlah itu, Indonesia menjadi negara dengan pengguna aktif telepon pintar terbesar keempat di dunia setelah China, India, dan Amerika.

Kenaikan jumlah pengguna telepon pintar berbanding lurus dengan peningkatan jumlah pengguna internet. Ini tidak mengherankan mengingat telepon pintar membuat akses internet menjadi sangat praktis.

Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet (APJII), menemukan bahwa pengguna internet di Indonesia meningkat menjadi 143,26 juta pengguna pada tahun 2017. Jumlah ini meningkat 10,56 juta pengguna dibanding tahun sebelumnya yang mencapai 132,7 juta orang. Kondisi ini membuat penyedia layanan keuangan digital (financial technology/fintech) begitu menjamur karena melihat masyarakat Indonesia sebagai pasar yang sangat menjanjikan.

Baca juga :  Menguak Siasat Retno “Rayu” Prabowo?

Akan tetapi, dibalik euforia penggunaan uang elektronik di tengah masyarakat, beberapa pihak justru melihat banyaknya penyedia layanan keuangan digital yang kerap memberikan diskon dan cashback justru berdampak buruk bagi masyarakat karena akan membuatnya berperilaku konsumtif.

Melihat cara kerja uang elektronik di Indonesia yang bersifat massal, yakni transaksi kecil namun dalam frekuensi yang tinggi tentu memberikan efek psikologis pada masyarakat bahwa transaksi yang mereka lakukan tidak besar, sehingga tidak merasa telah melakukan perilaku konsumtif. Transaksi yang dilakukan pun memang dalam kisaran yang tidak besar, seperti membeli makanan atau untuk keperluan transportasi.

Di sisi lain, untuk menunjang laju pertumbuhan ekonomi, masyarakat memang harus didorong untuk berperilaku konsumtif. Mengenai hal ini, tentu akan terdapat sanggahan yang menyebut bahwa perilaku boros itu tidak baik. Pernyataan itu pada dasarnya tidak salah, tapi tidak tepat sasaran.

Pada hematnya, perilaku konsumsif memang merupakan sifat alamiah manusia. Perilaku ini, didasarkan pada psikologis manusia untuk berperilaku hedonistik dan psikologis scarcity error yakni kondisi di mana manusia kerap salah menimbang kelangkaan dari sesuatu.

Rolf Dobelli dalam bukunya The Art of Thinking Clearly (2013) menerangkan bahwa scarcity error setua usia manusia, artinya ini memang sifat alamiah dari manusia.

Dengan mengguritanya pemberian diskon dan cashback dari penyedia jasa fintech seperti Go-Pay dan Ovo, benar-benar membuat scarcity error bekerja. Ketika menemukan adanya iming-iming diskon atau cashback yang selalu dijalankan dalam rentan waktu tertentu memberi efek bahwa benda atau jasa yang memiliki diskon atau cashback seolah memiliki nilai lebih sehingga sayang untuk tidak dibeli.

Tidak hanya karena diskon dan cashback, kemudahan dan efisiensi transaksi menggunakan uang elektronik juga semakin menarik minat masyarakat dalam menggunakan uang elektronik.

Hal ini membuat efek konsumtif sebenarnya adalah konsekuensi praktis dari penggunaan uang elektronik, dan bukannya dampak buruk.

Dari hal ini akan ditarik pertanyaan, dengan pemerintah mendorong masyarakat untuk menggunakan uang elektronik, apakah menunjukkan pemerintah menginginkan masyarakat untuk berperilaku konsumtif? Bukankah perilaku menabung lebih baik dilakukan?

Dorong Kemajuan Ekonomi

Apabila melihat dari kacamata ekonomi mikro, tentu perilaku menabung atau menyimpang uang (saving money) itu baik karena dapat menciptakan akumulasi kekayaan bagi sang individu. Seperti nasihat yag kerap kita dengar sewaktu kecil, “rajin menabung, pangkal kaya”.

Beda dengan ekonomi mikro, dalam kacamata ekonomi makro, akumulasi kekayaan justru membutuhkan perputaran uang yang masif dan kontinyu. Gamblangnya, perilaku menyimpan uang justru tidak mendorong pertumbuhan ekonomi. Konteks ini membuat nasihat yang kerap kita dengar tersebut menjadi tidak relevan, dan sudah seharusnya diganti dengan “rajin berinvestasi, pangkal kaya”.

Sekarang coba bayangkan kondisi di mana setiap individu atau sebagian besar individu dalam suatu negara memilih menyimpan uangnya dibanding berbelanja, tentu akan membuat perekonomian negara tersebut menjadi stagnan.

Untuk menunjang pertumbuhan ekonomi, perilaku masyarakat memang harus konsumtif. Ini akan membuat instrumen-instrumen ekonomi menjadi hidup dan berkembang. Apabila masyarakat tidak berperilaku konsumtif, industri dan jasa yang tersedia tentu tidak dapat berjalan. Dengan kata lain, perilaku konsumtif masyarakat justru merupakan pasar yang menggiurkan bagi para pelaku usaha.

Dari sisi pemerintah pun ikut andil dalam mendorong daya beli masyarakat dengan aktif memberikan bantuan sosial. Naiknya tingkat daya beli masyarakat juga merupakan indikator dari membaiknya perekonomian suata negara.

Tidak hanya sebagai indikator bagi meningkatnya pendapatan warga negara, itu juga merupakan indikator bagi bergeraknya roda perekonomian.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan bantuan sosial memang meningkat menjadi 52,48% di 2018 dari tahun sebelumnya yang hanya 11,48%. Data Kementerian Keuangan memperlihatkan realisasi bantuan sosial pada 2018 sebesar Rp 83,90 triliun. BPS mencatat, bantuan sosial tersebut berhasil menaikkan daya beli masyarakat sebesar 5,05% pada tahun 2018.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Farida Rohmah dalam tulisannya yang berjudul Perkembangan Uang Elektronik pada Perdagangan di Indonesia, Farida Rohmah meneliti penggunakan data bulanan uang elektronik dari tahun 2009 sampai tahun 2017 menegaskan bahwa pengaruh penggunaan uang elektronik terhadap perdagangan di Indonesia sebesar 43,9%. Dengan demikian, penggunaan uang elektronik memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap perdagangan di Indonesia.

Kemudian, ketika ditinjau dari segi ekonomi makro, penggunaan uang elektronik akan mendorong konsumsi dan permintaan masyarakat terhadap barang dan jasa yang pada gilirannya berpotensi mendorong aktivitas sektor riil khususnya pada sektor perdagangan barang dan jasa.

Pada akhirnya, kita menjumpai bahwa agenda cashless society yang dicanangkan pemerintah bertujuan untuk menyuburkan para pelaku industri dan jasa yang efeknya diharapkan dapat mendorong lajur perekonomian ke arah yang lebih baik. (R53)

► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

spot_imgspot_img

#Trending Article

Anies-Ganjar Harus Cegah Tragedi 2019 Terulang

Jelang pengumuman hasil Pilpres 2024 oleh KPU, banyak pihak mewanti-wanti soal peluang kembali terjadinya kerusuhan seperti di Pilpres 2019 lalu.

Jokowi “Akuisisi” Golkar?

Presiden Joko Widodo (Jokowi) disebut ingin menempatkan orangnya menjadi ketum Golkar. Mungkinkah ini cara Jokowi "akuisisi" Golkar?

Pemilu 2024, Netralitas Jokowi “Diusik” PBB? 

Dalam sidang Komite Hak Asasi Manusia (HAM) PBB, anggota komite Bacre Waly Ndiaye mempertanyakan netralitas Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait lolosnya Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden (cawapres) dari Prabowo Subianto. Lalu, apa yang bisa dimaknai dari hal itu?

Mayor Teddy, Regenerasi Jenderal Berprestasi?

Proyeksi karier apik, baik di militer maupun setelah purna tugas nantinya eksis terhadap ajudan Prabowo Subianto, Mayor Inf. Teddy Indra Wijaya pasca dipromosikan menjadi Wakil Komandan Batalyon Infanteri Para Raider 328 Kostrad. Sosok berlatar belakang mililter yang "familiar" dengan politik dan pemerintahan dinilai selalu memiliki kans dalam bursa kepemimpinan bangsa di masa mendatang.

Biden ‘Setengah Hati’ Selamati Prabowo?

Presiden Amerika Serikat Joe Biden akhirnya beri selamat kepada Prabowo Subianto. Namun, mungkinkah hanya 'setengah hati' selamati Prabowo?

Benarkah PDIP Jadi Oposisi “Lone Wolf”? 

Wacana oposisi pemerintahan 2024-2029 diprediksi diisi oleh partai politik (parpol) yang kalah dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024, yakni PDIP, PKB, PKS, Partai NasDem, dan PPP. Namun, rencana itu tampaknya akan berantakan dan menimbulkan probabilitas meninggalkan PDIP sebagai satu-satunya parpol oposisi di pemerintahan 2024-2029. Mengapa demikian?

Prabowo Perlu Belajar dari Qatar? 

Prabowo Subianto digadangkan akan membawa gaya diplomasi yang cukup berbeda dengan apa yang diterapkan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Namun, jika Prabowo benar-benar ingin membuat Indonesia lebih berpengaruh di dunia internasional, mungkin ada baiknya kita berkaca dan belajar dari pencapaian diplomasi Qatar. 

Anomali Jokowi

Posisi politik Presiden Jokowi saat ini masih sangat kuat. Bahkan bisa dibilang Jokowi adalah salah satu presiden yang tidak mengalami pelemahan kekuasaan di akhir masa jabatan yang umumnya dialami oleh para pemimpin di banyak negara.

More Stories

Ganjar Kena Karma Kritik Jokowi?

Dalam survei terbaru Indonesia Political Opinion, elektabilitas Ganjar-Mahfud justru menempati posisi ketiga. Apakah itu karma Ganjar karena mengkritik Jokowi? PinterPolitik.com Pada awalnya Ganjar Pranowo digadang-gadang sebagai...

Anies-Muhaimin Terjebak Ilusi Kampanye?

Di hampir semua rilis survei, duet Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar selalu menempati posisi ketiga. Menanggapi survei yang ada, Anies dan Muhaimin merespons optimis...

Kenapa Jokowi Belum Copot Budi Gunawan?

Hubungan dekat Budi Gunawan (BG) dengan Megawati Soekarnoputri disinyalir menjadi alasan kuatnya isu pencopotan BG sebagai Kepala BIN. Lantas, kenapa sampai sekarang Presiden Jokowi...