HomeNalar PolitikMenkes Budi Ungkap Kebuntuan Riset

Menkes Budi Ungkap Kebuntuan Riset

Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin mengaku pihaknya hingga kini belum mengetahui apakah mutasi baru virus Sars-CoV-2 asal Inggris sudah masuk ke Indonesia atau belum. Fenomena ini sekali lagi membuktikan ketertinggalan infrastruktur riset nasional jika dibandingkan negara tetangga. Lantas mengapa kebuntuan ini sulit untuk diatasi?


PinterPolitik.com

Presiden Joko Widodo (Jokowi) secara resmi menyetujui perpanjangan masa larangan warga negara asing (WNA) masuk ke Indonesia. Langkah ini diambil oleh pemerintah menyusul merebaknya varian baru virus Sars-CoV-2 asal Inggris yang disebut-sebut jauh lebih menular dari virus yang sudah ada sebelumnya. 

Indonesia sebenarnya bukan satu-satunya negara di dunia yang melarang warga negara asing masuk ke wilayahnya. Jepang sudah lebih dulu memberlakukan larangan serupa sejak akhir tahun lalu untuk mengantisipasi masuknya varian baru pagebluk tersebut ke wilayah yurisdiksi mereka. 

Meski sejumlah negara tetangga terdekat Indonesia, seperti Singapura, Malaysia, hingga Australia telah melaporkan penemuan strain baru tersebut, namun hingga kini pemerintah Indonesia belum melakukannya. Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin mengakui bahwa hingga hari ini pihaknya tak mengetahui apakah varian baru tersebut sudah masuk ke Indonesia atau belum. 

Dalam rapat kerja dengan Komisi IX DPR RI beberapa waktu lalu, Budi menyebut mutasi baru ini hanya bisa dideteksi melalui metode genome sequencing atau pengurutan DNA virus. Namun sayangnya, Indonesia hanya memiliki 12 laboratorium yang mampu melakukan metode tersebut. 

Laboratorium-laboratorium itu dimiliki Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Kementerian Kesehatan, dan sejumlah perguruan tinggi. Pekan lalu, kata Budi, dia telah menandatangani kerja sama dengan Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Bambang Brodjonegoro untuk memformalisasi jaringan laboratorium tersebut.

Mantan Direktur Utama Bank Mandiri itu mengibaratkan strain virus Covid-19 jenis baru ini sebagai teroris. Ia pun menyamakan kementerian yang dipimpinnya itu bak lembaga intelijen yang bertugas memantau pergerakan ‘teroris’ tersebut. 

Terlepas dari analogi itu, yang jelas pengakuan Budi akan keterbatasan kapasitas laboratorium nasional kembali mengafirmasi betapa tertinggalnya infrastruktur riset yang ada di Indonesia. Celakanya, ketertinggalan itu pun kini terbukti menjadi momok yang menghambat upaya-upaya pemerintah dalam penanganan pandemi Covid-19. 

Menyikapi hal ini, maka pertanyaan yang patut untuk dijawab adalah mengapa tertinggalnya pengembangan riset di Indonesia selalu menjadi problematika yang tak kunjung terselesaikan? Apa kira-kira yang menyebabkan hal ini terjadi?

Sejarah Politik Teknologi Indonesia

Tertinggalnya pengembangan riset di Indonesia tentu tak bisa dilepaskan dari rendahnya anggaran yang dialokasikan untuk kebutuhan tersebut. Wakil Presiden Ma’ruf Amin pada Oktober tahun lalu mengakui bahwa anggaran yang dialokasikan pemerintah untuk pengembangan riset hanya sebesar 0,3 persen dari total Produk Domestik Bruto (PDB). 

Sebagai perbandingan, berdasarkan data 2018 saja, negara-negara Asia yang kuat dalam riset dan inovasi seperti Korea Selatan dan Jepang mengalokasikan anggaran 4,3 persen dan 3,5 persen dari PDB mereka untuk kebutuhan tersebut. Sedangkan negara tetangga terdekat Indonesia, seperti Singapura dan Malaysia, juga memiliki alokasi anggaran yang cukup besar yaitu masing-masing sebesar 2,6 persen dan 1,3 persen dari PDB mereka.

Baca juga :  Simpati, ‘Kartu’ Rahasia Prabowo?

Jika ditilik lebih jauh, sejarah pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) di Indonesia memang mengalami pasang surut. Nurhadi dalam tulisannya yang berjudul Iptek dan Politik menilai sebenarnya di masa pemerintahan Soekarno, Indonesia pernah mengenyam era di mana iptek mendapat porsi yang cukup besar. Ketika itu, Ia menilai Soekarno sangat concern pada pengembangan teknologi kelautan dan kedirgantaraan.

Soekarno juga tak segan-segan menyekolahkan putra-putri terbaik bangsa untuk menempuh pendidikan tinggi di luar negeri. Selain itu, Soekarno juga disebut memiliki ambisi membuat proyek-proyek besar demi membuktikan kepada dunia bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa berteknologi tinggi. 

Nurhadi menyebut Iptek terus mengalami perkembangan hingga memasuki era Orde Baru. Namun ketika Soeharto mengambil alih kekuasaan, Ia justru memanfaatkan pengembangan iptek semata untuk menunjang kekuasaannya. Hal ini kemudian menyebabkan pengembangan iptek harus sejalan dengan kemauan politik pemerintah. 

Riset Belum Merdeka?

Anthony C. Lopez dalam tulisannya yang berjudul Why Science and Politics Don’t Mix menyebut bahwa ilmuwan dan pengambil kebijakan sebenarnya memiliki hubungan yang tak bisa dipisahkan. 

Ilmuwan menghasilkan pengetahuan yang dapat digeneralisasikan oleh para pembuat kebijakan untuk membuat keputusan yang memaksimalkan kesejahteraan atas nama komunitas politik. Singkatnya, pembuat kebijakan dapat membuat keputusan yang lebih baik ketika mereka memiliki informasi yang memadai. 

Dalam konteks Indonesia pun, pembuat kebijakan faktanya memiliki relasi yang cukup kental dengan para ilmuwan. Innaya Rakhmani dan Zulfa Sakhiyya dalam riset mereka yang dipublikasikan di The Conversation mengatakan bahwa sebenarnya 92,9 persen pejabat mengaku bahwa mereka menggunakan produk riset, seperti karya ilmiah, kertas kerja, presentasi, dan esai dalam proses pengambilan kebijakan. 

Ini sejalan dengan pengakuan 66,7 persen peneliti yang juga menyebut bahwa mereka pernah menerima permintaan saran ahli dari pemerintah dan 93,5 persen peneliti tersebut bahkan pernah menjadi anggota dewan penasihat kebijakan di tingkat pusat. 

Namun sayangnya hubungan antara sektor riset, terkhusus riset-riset ilmu sosial, dan pembuat kebijakan tidak diiringi dengan kualitas dan kebebasan akademis yang memadai. 

Meski rezim Orde Baru telah terjungkal sejak 1998, namun kenyataannya tradisi politik Soeharto yang kerap memanfaatkan riset dan ilmu pengetahuan untuk menjustifikasi kepentingan-kepentingan politiknya disebut masih dipraktikan hingga kini. 

Mereka menyebut sejak pertengahan 2000-an, tema-tema riset sosial tunduk pada selera pasar. Hal ini semakin diperparah dengan sikap pemerintah Indonesia yang tidak memberi dukungan memadai untuk riset dasar. Alhasil, universitas sering menerima riset pesanan untuk menambah pemasukan.

Karena menjadi sumber pemasukan bagi universitas negeri dan swasta, riset didikte oleh apa yang bisa dijual untuk kepentingan pasar politik, industri/swasta, pemerintah, ataupun donor.

Baca juga :  Iran vs Israel, PD III Sudah Dimulai?

Di titik ini, maka yang menjadi pertanyaan serius adalah, mengapa praktik pemanfaatan riset hanya untuk kepentingan politik semata ini terus terpelihara hingga saat ini?

Peran Kapitalis?

Merujuk pada studi Innaya Rakhmani dan Zulfa Sakhiyya dalam ulasan sebelumnya yang menyebut bahwa tema-tema riset sosial tunduk pada selera pasar, maka sulit untuk tak mencurigai bahwa ada peran kapitalis dalam fenomena mandeknya pengembangan riset di Indonesia. 

Sebab, jika hubungan antara ilmuwan dan pembuat kebijakan terjalin ideal, sebagaimana dalil Anthony C. Lopez tadi, maka pemerintah dapat mengambil keputusan yang berkontribusi positif pada kesejahteraan warganya. Jika hal ini terwujud, bukan tak mungkin kesetaraan di tengah masyarakat akan tercipta. 

Konsep kesetaraan sendiri bisa dibilang merupakan batu sandungan bagi sistem kapitalisme. Sebab, sistem tersebut berjalan di atas ketidaksetaraan yang terus terpelihara. 

Tejvan Pettinger dalam tulisannya yang berjudul Problems of Capitalism mengatakan bahwa manfaat kapitalisme secara naluriah memang tak didistribusikan secara adil. Kekayaan cenderung bertambah untuk sebagian kecil dari populasi. 

Ini berarti bahwa permintaan barang mewah seringkali terbatas pada sebagian kecil dari kelas angkatan kerja. Sifat kapitalisme dapat menyebabkan ketimpangan ini terus meningkat.

Senada, Jerry Z. Muller dalam publikasinya yang berjudul Capitalism and Inequality: What the Right and the Left Get Wrong mengatakan kapitalisme memang telah membuka lebih banyak peluang untuk pengembangan potensi manusia. Namun sayangnya, tidak semua orang dapat memanfaatkan sepenuhnya peluang atau kemajuan tersebut. 

Hambatan formal atau informal terhadap kesetaraan kesempatan, misalnya, secara historis memblokir sejumlah golongan penduduk, seperti perempuan, minoritas, dan orang miskin, untuk mendapatkan manfaat penuh dari kapitalisme. Intinya, Ia menyebut bahwa ketimpangan dan ketidakamanan adalah ciri-ciri abadi kapitalisme. 

Berangkat dari sini, maka bisa disimpulkan bahwa kemajuan perkembangan riset di Indonesia bisa saja terbentur oleh kepentingan kaum kapitalis. Sebab, jika perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam negeri mengalami kemajuan yang sangat pesat, bukan tak mungkin Indonesia bisa melepaskan ketergantungan dari para kapitalis yang selama ini bercokol dalam dinamika politik dan perekonomian nasional. 

Pada akhirnya, benar tidaknya ada peran kaum kapitalis dalam terhambatnya perkembangan riset di dalam negeri adalah asumsi teoretis yang tentunya terbuka untuk diperdebatkan. Namun di titik ini, setidaknya bisa disepakati bahwa pemerintah seharusnya mulai sadar untuk menaruh perhatian lebih terhadap sektor riset dan perkembangan teknologi. 

Pandemi Covid-19 yang telah terjadi selama setahun terakhir ini sudah selayaknya dijadikan pelajaran bahwa sektor riset adalah sesuatu yang sangat fundamental dan tak bisa diabaikan begitu saja. (F63)


► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

spot_imgspot_img

#Trending Article

Strategi Erick Thohir Menangkan Timnas?

Timnas U-23 lolos ke babak semifinal di Piala Asia U-23 2024. Mungkinkah ini semua berkat Ketum PSSI Erick Thohir? Mengapa ini juga bisa politis?

Iran Punya Koda Troya di Bahrain? 

Iran sering dipandang sebagai negara yang memiliki banyak proksi di kawasan Timur Tengah. Mungkinkah Bahrain jadi salah satunya? 

“Sepelekan” Anies, PKS Pura-Pura Kuat?

Telah dua kali menyatakan enggan mengusung Anies Baswedan di Pilkada Jakarta 2024, PKS kiranya sedang mempraktikkan strategi politik tertentu agar daya tawarnya meningkat. Namun di sisi lain, strategi itu juga bisa saja menjadi bumerang. Mengapa demikian?

Gibran, Wapres Paling Meme?

Usai MK bacakan putusan sengketa Pilpres 2024, Gibran Rakabuming Raka, unggah fotonya sendiri dengan sound berjudul “Ahhhhhh”.

The Battle of Javanesia 2: Proxy War Jokowi vs Prabowo di Pilkada 2024

Pilkada serentak 2024 akan jadi panggung pertaruhan partai politik dan elite nasional untuk menentukan siapa yang jejaring kekuasaannya mampu merambah hingga ke level terbawah.

Triad, Grup Mafia Penguasa Asia?

Kelompok mafia tidak hanya ada di negara-negara Barat, di Asia, sebuah kelompok yang disebut Triad kerap disamakan dengan mafia-mafia ala Italia. Bagaimana sejarahnya?

Manuver Mardiono, PPP “Degradasi” Selamanya?

Kendati belakangan berusaha tetap membawa PPP eksis di kancah perpolitikan nasional dengan gestur merapat ke koalisi Prabowo-Gibran, Muhamad Mardiono agaknya tetap akan cukup sulit membawa PPP bangkit jika tak membawa perubahan signifikan. Mengapa demikian?

Simpati, ‘Kartu’ Rahasia Prabowo?

Prabowo meminta relawan dan pendukungnya untuk tidak berdemo agar jaga perdamaian dan tensi politik. Apakah ini politik simpati ala Prabowo?

More Stories

Dibenturkan, Nadiem Tetap Tak Terbendung?

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim kembali mendapat sorotan. Kali ini draf Peta Jalan Pendidikan 2020-2035 yang tak mencantumkan frasa agama dipersoalkan oleh...

Benci Produk Asing, Anomali Nasionalisme Jokowi?

Pernyataan terbaru Presiden Jokowi soal benci produk asing terus menuai polemik. Banyak pihak menilai Presiden punya standar ganda karena pemerintah sendiri masih melakukan impor...

Puan Sulit Taklukkan Ganjar?

Sejumlah analis dan pengamat memprediksi PDIP akan mengusung Prabowo-Puan dalam Pilpres 2024 mendatang. Namun prospek tersebut kini terancam dengan tingginya elektabilitas Gubernur Jawa Tengah,...