HomeHeadlineLuhut Terlalu Percaya Diri, Berbahaya?

Luhut Terlalu Percaya Diri, Berbahaya?

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Panjaitan meminta kepada presiden yang terpilih nanti untuk tidak berbicara mengenai masalah perubahan. Luhut mengklaim bahwa Indonesia sudah berada di jalur yang tepat untuk menjadi negara berpenghasilan tinggi (high income country). Lalu, mengapa Luhut tampak begitu percaya diri? Serta, apa makna pernyataan Luhut? 


PinterPolitik.com 

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Panjaitan mengklaim Indonesia sudah berada di jalur yang tepat. 

Dia mengatakan bahwa Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah menemukan pola untuk masuk kelompok negara berpenghasilan tinggi (high income country). 

Menurutnya, pola tersebut dapat dilihat dari aspek bonus demografi, kekayaan alam, downstream industry atau hilirisasi hingga digitalisasi. 

Atas dasar itu, Luhut meminta kepada siapapun presiden selanjutnya yang terpilih nanti untuk tidak berbicara mengenai perubahan. 

Dia meminta agar presiden baru nanti hanya menyempurnakan dan mempercepat prosesnya, bukan untuk melakukan perubahan yang signifikan. Luhut khawatir jika tidak fokus maka tujuan tersebut tidak akan tercapai. 

Luhut juga menekankan bahwa Indonesia tidak akan bisa jadi negara maju jika tidak ada kebijakan pembangunan yang berkelanjutan dari satu presiden ke presiden lainnya. 

luhut jadi sedih…

Dengan maksimal jabatan presiden adalah 10 tahun untuk dua periode, menurutnya itu tidak akan cukup untuk menjadikan Indonesia negara hebat jika tidak melaksanakan kebijakan yang berkesinambungan. 

Luhut mencontohkan negara Tiongkok yang tidak instan dalam membangun negara. Menurutnya, “Negeri Tirai Bambu” itu bahkan harus melewati 40 tahun secara konsisten untuk bisa menjadi salah satu kekuatan ekonomi dunia saat ini. 

Sebagai informasi, saat ini Indonesia masuk ke dalam golongan negara upper-middle income alias negara berpenghasilan menengah keatas berdasarkan Pendapatan Nasional Bruto (PNB) alias Gross National Income (GNI) per kapita. 

Melansir data Badan Pusat Statistik (BPS), perekonomian Indonesia pada 2022 dihitung berdasarkan PNB atas dasar harga berlaku mencapai Rp 19.588,4 triliun dan PNB per kapita mencapai Rp71 juta atau US$ 4.783,9. 

Bank Dunia sendiri tahun 1997 membuat empat klasifikasi negara berdasarkan pendapatan per kapitanya. Yakni, low income kurang dari US$ 1.035 (Rp15,4 juta), lower-middle income US$ 1.036 (Rp15,5 juta)-US$ 4.045 (Rp60,5 juta), upper middle income US$ 4.046 (Rp60,6)-US$ 12.535 (Rp187,5 juta), dan high income lebih dari US$ 12.535. 

Melihat fakta tersebut, sebenarnya Indonesia masih cukup jauh untuk mencapai kategori high income country sesuai klasifikasi Bank Dunia. Ditambah fakta yang terjadi di masyarakat bahwa pertumbuhan ekonomi yang selama ini dibanggakan oleh pemerintah belum terlalu berdampak pada kehidupan masyarakat. 

Lantas, melihat fakta tersebut, mengapa Luhut dengan percaya diri menyebut Indonesia tidak memerlukan perubahan dan sudah berada di jalur yang tepat untuk menjadi high income country

Baca juga :  Kenapa PDIP PDKT ke Khofifah?
mahfud ingin anies dijaga

Luhut Mungkin Narsistik? 

Setiap pemerintahan sebuah negara tentu mengutamakan optimisme untuk bisa memajukan negaranya. Namun, yang perlu diketahui, rasa optimis tersebut harus sesuai dengan kebijakan dan program yang direalisasikan. 

Jika tidak sesuai, maka rasa optimis yang berlebihan tersebut boleh jadi dikatakan sebagai sifat narsisistik sebuah pemerintahan. Hal itu bisa berujung negatif dan cenderung menjadikan pemerintahan tersebut menjadi “arogan”. 

Arogansi itu yang kemudian akan mendorong pemerintahan tersebut mencari sebuah pengakuan eksternal atas keberhasilan dan kebesaran negaranya. 

Aleksandra Cichocka dan Aleksandra Cislak menjelaskan fenomena tersebut dalam tulisan mereka yang berjudul Nationalism as Collective Narcissism. Mereka mengatakan politik yang berkembang saat ini memang lebih didorong oleh kebutuhan akan pengakuan atas kebesaran bangsanya. 

Dalam literatur psikologis, kebutuhan akan penghargaan bangsa ditangkap oleh konsep narsisme kolektif, yaitu kepercayaan akan kebesaran dalam kelompok yang bergantung pada pengakuan eksternal. Narsisme kolektif dikaitkan dengan dukungan untuk kebijakan populis nasional. 

Bahkan, Seth A. Rosenthal dan Todd L. Pittinsky dalam publikasinya berjudul Narcissistic Leadership menjelaskan lebih detail tentang bagaimana seorang pemimpin bisa dikatakan narsistik. 

Narsisme secara negatif adalah kepribadian yang melibatkan perspektif egois, sebagai superior untuk kekuatan pribadi. Salah satu ciri pemimpin narsistik adalah dikuasai oleh fantasi keberhasilan dan kekuasaan tanpa batas. 

Berkaca dari penjelasan-penjelasan tersebut, pernyataan Luhut seakan sedang menggambarkan sifat narsistik dari pemerintah. 

Luhut tampaknya sedang membutuhkan pengakuan bahwa Indonesia di bawah Presiden Jokowi telah melakukan kebijakan yang tepat. 

Klasifikasi negara yang dilakukan Bank Dunia dengan indikator PNB per kapita Indonesia yang telah mencapai kategori upper-middle income country dan seolah-olah selangkah lagi mendekati kategori high income country yang akan membawa kesejahteraan bagi masyarakat seolah menjadi sebuah pengakuan untuk Luhut akan keberhasilan itu. 

Padahal, bagi masyarakat sendiri berhasil atau tidaknya pemerintahan sekarang itu dilihat dari dampak yang mereka rasakan, bukan hanya berupa angka saja. 

Hal ini juga kemudian mencerminkan bahwa Luhut seolah sedang bermain dengan fantasinya tentang keberhasilan pemerintahan saat ini. 

Fantasi keberhasilan yang seakan mendasari perspektif Luhut itu kemudian menjadikan pemerintahan saat ini seolah merasa mempunyai andil besar, “kebenaran absolut”, serta kekuasaan yang tanpa batas. 

Selain itu an dengan kata lain, Luhut meminta presiden selanjutnya untuk tidak berbicara banyak tentang perubahan, ini tampak menyiratkan bahwa “cawe-cawe” yang dilakukan Presiden Jokowi dalam Pilpres 2024 juga sudah benar. 

Pernyataan yang dikeluarkan Luhut itu pun seakan memperlihatkan adanya kekuasaan tanpa batas dari pemerintah saat ini, bahkan hingga menentukan prasyarat bagi siapa yang akan melanjutkan kekuasaan dan bagaimana mereka seharusnya berkuasa. 

Baca juga :  Operasi Bawah Tanah Singkirkan PDIP dari Ketua DPR?

Maka, tak berlebihan rasanya jika apa yang dilakukan Luhut itu jamak dinilai sebagai bentuk narsistik yang terlalu melakukan glorifikasi pemerintahan Presiden Jokowi. 

Lalu, melihat yang dilakukan Luhut tersebut, apakah benar itu juga termasuk dari bentuk sebuah loyalitas Luhut ke Presiden Jokowi? 

Jabatan Luhut Semakin Banyak?

Luhut Adalah Patih Suwanda? 

Luhut merupakan salah Menteri yang loyal kepada Presiden Jokowi. Hal itu kemudian diganjar dengan berbagai jabatan yang dipercayakan Presiden Jokowi kepada purnawirawan jenderal bintang empat itu. 

Alasan Presiden Jokowi yang tampaknya selalu mempercayakan Luhut di berbagai tugas dijelaskan David Epstein dan Sharyn O’Halloran dalam tulisan yang berjudul Delegating Powers. Mereka menjelaskan bahwa kesetiaan pada tujuan presiden akan menjadi faktor utama dalam memilih pejabat cabang eksekutif. 

Jika diamati dengan saksama, loyalitas Luhut agaknya serupa dengan karakteristik tokoh pewayangan Patih Suwanda yang merupakan Patih Raja Arjuna Sastrabahu (Maespati). 

Cerita tentang Patih Suwanda sendiri eksis dalam Serat Tripama yang merupakan serat karya KGPAA Mangkunagara IV di mana berisi tentang nilai ajaran karakter luhur serta berisi 7 bait tembang Dhandhanggula. 

Patih Suwanda adalah contoh abdi yang sangat setia dan teguh dalam menjalankan tugas yang diembankan kepadanya. 

Dia sangat bertanggung jawab dalam pengabdian terhadap raja dan negaranya yang tergambar dalam menjaga keselamatan Prabu Harjunasasrabahu dan mempertahankan Maespati dari serangan Rahwana dari Alengka. 

Gambaran tentang tokoh Patih Suwanda ini tampaknya juga terlihat dari sosok Luhut, yang sangat setia dan bertanggung jawab dalam menjalankan setiap tugas yang di berikan oleh RI-1 sebagai bentuk pengabdiannya kepada negara, dan secara khusus kepada Presiden Jokowi. 

Berbagai tugas dan jabatan strategis yang beberapa kali dipercayakan oleh Presiden Jokowi kepada Luhut pun dapat di selesaikannya dengan baik. Salah satu contohnya adalah ketika Luhut ditunjuk sebagai Ketua Komite Penanganan Covid-19. 

Luhut berhasil menurunkan Covid-19 dengan cepat hingga Indonesia menuai berbagai pujian dari negara-negara lain. 

Segala aspek seperti kesetiaan, bertanggung jawab, dan loyalitas ada dalam diri Luhut hingga membuat Presiden Jokowi sering menunjuk Luhut untuk berbagai jabatan strategis. 

Salah satu contohnya, kembali pada apa yang dijelaskan pada bagian sebelumnya, yakni saat Luhut menunjukkan kesetiaan kepada tujuan Presiden Jokowi dengan memberikan pernyataan bahwa Indonesia sudah berada di jalur yang benar untuk menjadi high income country. 

Menarik untuk ditunggu apakah Indonesia bisa menjadi high income country atau justru menurun menjadi lower-middle income country seperti yang dikhawatirkan Luhut. (S83) 

spot_imgspot_img

#Trending Article

Anies Menuju Mendikbud Prabowo atau Gubernur Jakarta?

Pasca kalah di Pilpres 2024, banyak pertanyaan muncul terkait jabatan politik apa yang akan diduduki Anies Baswedan.

Anies Kalah Karena Tak Lawan Politik Identitas?

Pasangan Anies-Cak Imin harus mengakui keunggulan Prabowo-Gibran yang keluar sebagai pemenang Pilpres 2024. Di atas kertas, Anies yang secara track record dan citra publik begitu menjanjikan untuk jadi Presiden RI, nyatanya belum mampu meraih peruntungan di Pilpres kali ini. Pertanyaannya adalah mengapa demikian? Benarkah ini karena posisi Anies yang tak tegas melawan fabrikasi isu politik identitas yang kerap diarahkan padanya?

Benua Asia, Propaganda Terbesar Kolonialisme?

Benua Asia adalah benua terbesar dan terkaya di dunia. Namun, sebagai sebuah wilayah yang kerap dipandang homogen, Asia sebetulnya memiliki keberagaman yang begitu tinggi di antara kawasan-kawasannya sendiri. Mungkinkah lantas Benua Asia yang kita kenal bukanlah Benua Asia yang sesungguhnya?

Selama Masih Megawati, PDIP Pasti Oposisi?

Sinyal kuat bergabungnya Partai NasDem dan PKB, ditambah keinginan PKS untuk pula merapat ke koalisi Prabowo-Gibran, membuat Megawati Soekarnoputri dan PDIP dinilai akan mengambil sikap teguh nan luhur sebagai penyeimbang pemerintah. Namun, pada praktiknya, itu akan berjalan setengah hati. Benarkah demikian?

Strategi Erick Thohir Menangkan Timnas?

Timnas U-23 lolos ke babak semifinal di Piala Asia U-23 2024. Mungkinkah ini semua berkat Ketum PSSI Erick Thohir? Mengapa ini juga bisa politis?

Iran Punya Koda Troya di Bahrain? 

Iran sering dipandang sebagai negara yang memiliki banyak proksi di kawasan Timur Tengah. Mungkinkah Bahrain jadi salah satunya? 

“Sepelekan” Anies, PKS Pura-Pura Kuat?

Telah dua kali menyatakan enggan mengusung Anies Baswedan di Pilkada Jakarta 2024, PKS kiranya sedang mempraktikkan strategi politik tertentu agar daya tawarnya meningkat. Namun di sisi lain, strategi itu juga bisa saja menjadi bumerang. Mengapa demikian?

Gibran, Wapres Paling Meme?

Usai MK bacakan putusan sengketa Pilpres 2024, Gibran Rakabuming Raka, unggah fotonya sendiri dengan sound berjudul “Ahhhhhh”.

More Stories

Ketua DPR, Golkar Lebih Pantas? 

Persaingan dua partai politik (parpol) legendaris di antara Partai Golkar dan PDIP dalam memperebutkan kursi Ketua DPR RI mulai “memanas”. Meskipun secara aturan PDIP paling berhak, tapi beberapa pihak menilai Partai Golkar lebih pantas untuk posisi itu. Mengapa demikian?

Anies “Alat” PKS Kuasai Jakarta?

Diusulkannya nama Anies Baswedan sebagai calon gubernur (cagub) DKI Jakarta oleh PKS memunculkan spekulasi jika calon presiden (capres) nomor urut satu ini hanya menjadi “alat” untuk PKS mendominasi Jakarta. Benarkah demikian?

Pemilu 2024, Netralitas Jokowi “Diusik” PBB? 

Dalam sidang Komite Hak Asasi Manusia (HAM) PBB, anggota komite Bacre Waly Ndiaye mempertanyakan netralitas Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait lolosnya Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden (cawapres) dari Prabowo Subianto. Lalu, apa yang bisa dimaknai dari hal itu?