HomeNalar PolitikLouis Owien dan Matinya Kepakaran

Louis Owien dan Matinya Kepakaran

Louis Owien diamankan di Polda Metro Jaya setelah pernyataan kontroversialnya seputar Covid-19 viral. Berbagai pihak menilai langkah tersebut sebagai bentuk pembungkaman berpendapat. Apakah penangkapan Louis Owien sudah tepat?


PinterPolitik.com

“Democracy is only as good as the education that surrounds it.” – Socrates, filsuf Yunani Kuno

Setiap hari, kita berjibaku dalam membahas kebebasan, khususnya kebebasan berpendapat. Namun, pernahkah kita bertanya, “kebebasan seperti apa yang kita maksud?”

Apakah kebebasan itu (1) bebas mengatakan apa pun yang kita inginkan atau rasakan? Ataukah kebebasan yang dimaksud adalah soal (2) mengungkapkan kebenaran? Bagi kebanyakan pihak, dua bentuk pertanyaan tersebut mungkin dipandang tidak begitu berbeda.

Padahal, apabila diuji secara filosofis, keduanya memiliki jurang pemisah yang begitu dalam. Pada pertanyaan kedua, ini jelas soal represi kekuasaan. Pada banyak kasus, kekuasaan sering kali tidak ingin diganggu ketika menggerus kekayaan alam.

Namun bagaimana dengan yang pertama? Yang menjadi masalah adalah, kebebasan mengatakan apa pun tidak memberikan tempat bagi hakim kebenaran. Dalam filsafat, masalah ini dikenal sebagai relativisme – tepatnya relativisme kebenaran. Tesisnya sederhana, setiap pihak memiliki klaim kebenarannya sendiri. Tentu pertanyaannya, jika demikian, bagaimana kita menentukan pernyataan yang benar? Bagaimana rekognisi kebenaran dilakukan?

Baca Juga: Salahkah Jokowi Tidak Demokratis?

Pakar hukum tata negara Refly Harun terlihat menggunakan perspektif relativisme ini ketika mengomentari penangkapan Louis Owien.

“Namanya juga pendapat, karena kebenaran tersebut tidak ada jurinya. Hanya masalahnya memang dr Louis itu memang menyampaikan sesuatu yang anti-mainstream,” begitu ujar Refly.

Seperti yang diketahui, Louis Owien ditangkap karena diduga melakukan penyebaran berita bohong alias hoaks. Ia menyebut Covid-19 tidak ada dan kematian pasien terjadi karena interaksi obat.

Sekarang pertanyaannya, seperti yang tengah menjadi perdebatan saat ini, apakah penangkapan Louis Owien adalah langkah tepat, atau justru telah menggerus kebebasan?

Masalah Kebebasan

Di titik ini, bagi mereka yang mengelukan kebebasan, seperti Refly Harun dan Wakil Ketua Umum Partai Gelora Fahri Hamzah, penangkapan Louis Owien jelas kurang tepat. Namun kembali ke pertanyaan awal, kebebasan seperti apa yang kita maksud?

Untuk menjawabnya secara proporsional, bagaimana apabila kita menguji kedua bentuk pertanyaan tersebut. Pada pertanyaan pertama, seperti yang dijelaskan sebelumnya, ini berimplikasi pada ketiadaan kebenaran.

Suka atau tidak, ini sangat berbahaya. Pasalnya, ketiadaan kebenaran atau relativisme berkonsekuensi pada gugurnya sejumlah produk hukum. Ini membuat hukum terkait kebohongan atau penghasutan menjadi tidak mungkin berdiri. Seperti tesisnya, setiap pihak mempunyai klaim kebenaran. Apa yang menurut A benar, belum tentu menurut B atau C.

Baca juga :  Anies "Alat" PKS Kuasai Jakarta?

Yang lebih berbahaya adalah, mengacu pada Plato, kebebasan mengatakan apa pun dapat memecah ikatan-ikatan sosial. Van Bryan dalam tulisannya Plato and the Disaster of Democracy mengurai persoalan ini.

Berbeda dengan berbagai pihak yang melihat kebebasan adalah kemewahan yang diberikan demokrasi, Plato justru memberikan penilaian negatif. Kebebasan dilihat memabukkan. Ketika merasakan kebebasan, kita menjadi mabuk karenanya.

Plato bahkan meramalkan masyarakat akan menuntut kebebasan di setiap kesempatan, melawan segala bentuk otoritas, dan menuntut lebih banyak kebebasan lagi. Kita akan terobsesi dengan kebebasan dan menjadi rela mengorbankan hal-hal penting, seperti tatanan dan struktur sosial, untuk mencapai kebebasan tersebut.

Baca Juga: Covid-19, Politik Ketakutan, Siapa Menang?

Ilmuwan politik Amerika Serikat (AS) Francis Fukuyama dalam bukunya Identity: The Demand for Dignity and the Politics of Resentment menunjukkan media sosial sebagai perwujudan atas ramalan Plato tersebut. Saat ini, masyarakat dimabukkan oleh media sosial karena merasa dapat menulis atau menyatakan apa pun yang diinginkannya.

Menurut Fukuyama, masyarakat seperti tidak lagi peduli dengan keteraturan sosial, melainkan lebih mengejar freedom of expression (kebebasan berekspresi) itu sendiri.

Sekarang pertanyaannya, apakah dengan dalih kebebasan berpendapat, Anda akan menghardik orang tua atau atasan karena sedang tidak suka dengan mereka? Bukankah Anda sering kali memilih diam agar tidak terjadi perselisihan yang tidak diinginkan? Ini yang disebut dengan menjaga keteraturan sosial.

Sekarang coba bayangkan, apa jadinya jika semua orang dengan begitu bebasnya mengatakan apa pun, bukankah akan terjadi perselisihan di mana-mana? Apakah Anda akan mengkritik orang yang tidak Anda kenal hanya karena gaya berpakaiannya kurang modis? Kemungkinan terburuknya, saya rasa Anda akan menerima “bogem mentah” jika melakukannya.

Keluar dari Relativisme

Inilah pentingnya menentukan batasan atau apa yang disebut dengan kebenaran. Jika tidak demikian, kita akan terjebak dalam apa yang disebut dengan post-truth atau pasca-kebenaran. Di tengah hiruk pikuk media sosial, setiap pihak mengklaim kebenarannya masing-masing. “Ini hak saya untuk mengatakan apa pun, siapa pun tidak boleh melarangnya,” begitulah kira-kira.

Pada kasus Louis Owien juga demikian. Mereka yang menolak penangkapan berdalih itu adalah hak Louis untuk mengatakan pendapatnya.

Tentu pertanyaannya, siapa hakim kebenaran? Bagaimana menentukan kebenaran? Ini menjadi jatung kritik atas bentuk pertanyaan kedua (lihat bagian pengantar tulisan). Seperti pernyataan Refly Harun, “tidak ada jurinya”.

Baca juga :  Indonesia Akan Merapat ke AS di Era Prabowo?

Fristian Hadinata dalam disertasinya Melampaui Fondasionalisme dan Relativisme: Teori Kebenaran dari Perspektif Richard Rorty dapat kita gunakan untuk menjawab pertanyaan tersebut.  

Menggunakan konsep solidaritas (solidarity) dari filsuf neo-pragmatisme Richard Rorty, Fristian memberikan jawaban untuk keluar dari relativisme. Mengacu pada Rorty, memang benar kita  tidak dapat mengklaim kebenaran tunggal atau kebenaran universal. Ini disebut dengan liberal ironis atau manusia ironis.

Namun, menurut Rorty, suatu kesepakatan antar masyarakat atau komunitas dapat terjadi dalam payung yang disebut dengan solidaritas. Solidaritas atau kesepahaman sosial dapat terjadi apabila tiap individu melakukan rekonstruksi pada komunitas historisnya melalui partisipasi, khususnya pada kehidupan nyata yang sedang berlangsung.

Atas refleksi historis tersebut, seorang liberal ironis, akan menyadari bahwa kosakata, nilai atau kebenaran yang dipahaminya tidaklah final, sehingga ia akan bersikap terbuka dan bersolidaritas dengan orang lain.

Baca Juga: Faheem Younus “Bayangi” Jokowi?

Maksudnya adalah, memang benar kita memiliki klaim kebenaran sendiri, misalnya soal Covid-19. Kita bebas mengatakan virus ini nyata atau hanya kebohongan semata. Namun, apabila kita melakukan refleksi historis, khususnya melalui partisipasi langsung, seperti melihat langsung kesakitan pasien Covid-19, penelitian medisnya, hingga merasakan kelelahan para tenaga kesehatan, kita dapat menuju solidaritas.

Tanpa membuka solidaritas, pikiran kita akan tertutup pada pandangan sendiri. Kita menjadi tidak mendengar pendapat para pakar kesehatan dan epidemiolog. Dengan mudah kita dapat menuduh mereka sebagai bagian dari konspirasi.

Secara khusus, fenomena tidak didengarnya para pakar ini disebut sebagai “matinya kepakaran”. Istilah ini dikutip dari buku The Death of Expertise yang ditulis oleh Tom Nichols.

Matinya kepakaran sebenarnya adalah imbas dari tidak terjadinya solidaritas. Setiap individu atau komunitas mengklaim dirinya yang paling benar. Kita kerap lupa, kosakata atau pengetahuan kita tidak sedalam para pakar di bidangnya.

Kembali pada kasus penangkapan Louis Owien. Setelah diamankan di Polda Metro Jaya, Louis akhirnya mengakui bahwa segala pernyataannya soal Covid-19 adalah opini pribadi, dan tidak berasal dari riset atau kajian ilmiah. Sekali lagi, matinya kepakaran.

Well, pada akhirnya, kembali pada pertanyaan awal, penilaian atas tepat atau tidaknya penangkapan Louis bergantung atas kebebasan seperti apa yang kita maksud. Apakah kebebasan mengatakan apa pun, atau kebebasan mengatakan kebenaran? Silahkan tentukan. (R53)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Anomali PSI: Gagal Karena Kuasa Jeffrie Geovanie?

Kegagalan PSI untuk lolos ke parlemen pusat dalam dua gelaran Pemilu berturut-turut memang menimbulkan pertanyaan besar.

Puan-Mega, Ada ‘Perang Sipil’ PDIP? 

Berbeda dari Megawati Soekarnoputri, Puan Maharani belakangan tunjukkan gestur yang lebih lembut kepada pemerintah dan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Mengapa demikian?

Ketua DPR, Golkar Lebih Pantas? 

Persaingan dua partai politik (parpol) legendaris di antara Partai Golkar dan PDIP dalam memperebutkan kursi Ketua DPR RI mulai “memanas”. Meskipun secara aturan PDIP paling berhak, tapi beberapa pihak menilai Partai Golkar lebih pantas untuk posisi itu. Mengapa demikian?

The Tale of Two Sons

Jokowi dan SBY bisa dibilang jadi presiden-presiden yang berhasil melakukan regenerasi politik dan sukses mendorong anak-anak mereka untuk terlibat di dunia politik.

Lolos “Seleksi Alam”, PKS-PKB Seteru Abadi?

Berkaca pada hasil Pileg 2024, PKB dan PKS agaknya akan menjadi dua entitas politik yang akan terlibat dalam persaingan ceruk suara pemilih Islam ke depan. Terlebih di saat PAN seakan telah melepaskan diri dari karakter Islam dan PPP harus “terdegradasi” dari kancah legislatif nasional.

Jokowi Makin Tak Terbendung?

Presiden Joko Widodo (Jokowi) dirumorkan meminta jatah menteri dari pemerintahan Prabowo Subianto. Apakah Jokowi makin tak terbendung?

Elon Musk dan Dimulainya Era Feudalisme Teknologi 

Perusahaan teknologi raksasa seperti Apple dan Starlink semakin memiliki keterikatan dengan dinamika politik. Jika pola ini terjaga, akan seperti apa pengaruhnya terhadap dunia politik di masa depan? 

Prabowonomics: Jurus ‘Lompatan Katak’?

Program makan siang dan susu gratis ala Prabowo merupakan jenis school feeding program. Mungkinkah ini jadi kunci penting Prabowonomics?

More Stories

Ganjar Kena Karma Kritik Jokowi?

Dalam survei terbaru Indonesia Political Opinion, elektabilitas Ganjar-Mahfud justru menempati posisi ketiga. Apakah itu karma Ganjar karena mengkritik Jokowi? PinterPolitik.com Pada awalnya Ganjar Pranowo digadang-gadang sebagai...

Anies-Muhaimin Terjebak Ilusi Kampanye?

Di hampir semua rilis survei, duet Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar selalu menempati posisi ketiga. Menanggapi survei yang ada, Anies dan Muhaimin merespons optimis...

Kenapa Jokowi Belum Copot Budi Gunawan?

Hubungan dekat Budi Gunawan (BG) dengan Megawati Soekarnoputri disinyalir menjadi alasan kuatnya isu pencopotan BG sebagai Kepala BIN. Lantas, kenapa sampai sekarang Presiden Jokowi...