HomeNalar PolitikJokowi-Prabowo Anti Kampanye Bermutu?

Jokowi-Prabowo Anti Kampanye Bermutu?

Survei dari Litbang Kompas menunjukkan sekitar 52,7 persen masyarakat mengaku bisa terpengaruh dengan isu-isu negatif tentang kandidat capres-cawapres.


PinterPolitik.com

[dropcap]S[/dropcap]udah tiga bulan memasuki masa kampanye, kedua kubu yang berkontestasi pada Pilpres 2019 belum terlihat mempromosikan visi-misi dan program mereka di hadapan publik. Beberapa pekan terakhir, ruang publik justru dipenuhi dengan pertarungan goreng-menggoreng isu terkait bencana alam, pertemuan IMF-Bank Dunia sampai kasus Ratna Sarumpaet.

Hasil survei Litbang Kompas menyebutkan bahwa mayoritas responden tidak mengetahui visi, misi dan program setiap pasangan. Hanya 15,8 persen responden yang mengetahui visi, misi dan program keseluruhan  Jokowi-Ma’ruf, sementara 84,2 persen menyatakan tidak tahu.

Di kubu Prabowo ditemukan hal serupa. Hanya 11,6 persen responden yang mengetahui visi, misi dan program Prabowo-Sandi, sementara 87,7 persen menyatakan tidak tahu.

Data tersebut memperkuat indikasi bahwa memang kedua kubu masih sibuk bermain negative campaign untuk menyerang lawan, dibandingkan mensosialisasikan visi, misi dan program kepada masyarakat. Sehingga wajar ketika publik menjadi gagap ketika ditanya apakah mengetahui visi-misi paslon capres dan cawapres atau tidak.

Bahkan dalam konteks politik Indonesia saat ini, kampanye negatif secara terang-terangan diperbolehkan oleh salah satu petinggi partai, yakni Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Sohibul Iman.

Yang jadi pertanyaan adalah mengapa akhirnya kampanye negatif masih digunakan oleh para politisi? Apakah cara-cara politik seperti itu dinilai efektif?

Senjata di Tahun Politik

Dalam konteks politik, kampanye negatif bukanlah barang baru. Strategi semacam itu kerap kali digunakan oleh para politisi untuk memenangkan kontestasi pemilihan. Richard Lau dan Gerald Pomper mendefinisikan kampanye negatif sebagai strategi politik yang berbicara tentang lawan, seperti mengkritik program dan prestasi lawan politik selama ini.

Sementara menurut David Mark, seorang analis Politico dan CNN Politics, kampanye negatif adalah tindakan yang digunakan oleh para politisi untuk memenangkan pemilu dengan cara menyerang lawan, dibandingkan dengan menekankan kebijakan-kebijakan positif sang politisi.

Survei Litbang kompas mengindikasikan bahwa sejauh ini kedua paslon sama-sama bermain di ranah tersebut. Mereka saling serang, saling mengoreksi dan menuding, sehingga hal esensial dari kontestasi pemilihan seperti visi, misi dan program kerja tidak tersampaikan ke ranah publik.

Hal itu bisa dilihat pada fenomena bencana alam dan kasus Ratna Sarumpaet, di mana Jokowi dituduh pencitraan ketika menangani bencana alam di Lombok, hingga Palu-Donggala. Sementara kubu Prabowo dikritik habis oleh petahana ketika terindikasi merencanakan hoaks pada kasus Ratna Sarumpaet. Akibatnya, publik jadi tak mengetahui apa visi-misi dan program para kandidat.

Fenomena serupa juga terjadi di Amerika ketika Hillary Clinton berhadapan dengan Donald Trump pada Pilpres tahun 2016. Lebih dari 60 persen iklan Clinton telah menyerang Trump sementara 31 persen positif, dengan fokus pada Clinton. Trump, di sisi lain, telah banyak menggunakan iklan kontras, yang keduanya mempromosikan dirinya sendiri dan menyerang Clinton. Dia tidak menayangkan iklan yang positif.

Baca juga :  Puan-Mega, Ada ‘Perang Sipil’ PDIP? 

Hal itu mengindikasikan bahwa kampanye negatif lebih sering digunakan oleh para politisi untuk memenangkan pemilu, dibandingkan mereka mempromosikan diri dengan kampanye positif. Mengapa hal itu terjadi?

Menurut Dr. Michael Artime, asisten profesor ilmu politik di Pacific Lutheran University, konten negatif adalah salah satu dari banyaknya alat yang digunakan dalam kampanye untuk menciptakan kontra-narasi bagi kisah asli yang diwakili oleh lawan mereka. Tujuannya tak lain adalah untuk menghasilkan respons emosional dan mendalam dari pemilih.

Survei dari Litbang Kompas menunjukkan sekitar 52,7 persen masyarakat mengaku bisa terpengaruh dengan isu-isu negatif tentang kandidat capres-cawapres. Sementara 36,5 persen mengaku tak akan terpengaruh dengan isu-isu negatif.

Hal itu mungkin saja berkaitan dengan pendapat dari ilmuwan politik Stephen Ansolabehere dan Shanto Iyengar dalam buku Going Negative, dimana pemilih cenderung menghindari risiko dan lebih memilih kandidat yang dianggap memiliki atribut negatif lebih sedikit.

Bisa saja karena alasan itulah kedua kubu lebih senang bermain di ranah negative campaign daripada mempromosikan visi-misi kepada masyarakat, karena semakin jelek image lawan politik, maka peluang untuk memenangkan pemilu akan semakin terbuka.

Pada titik ini, bisa diketahui bahwa ketika politisi menggunakan kampanye negatif dalam pemilu, bukan berarti mereka benar-benar jahat. Tetapi karena mereka percaya cara itu bisa membantu mereka memenangkan pemilu. Tak lain tujuan utama dari penggunaan kampanye negatif adalah untuk merebut suara para pemilih untuk kemenangan elektoral.

Jika dibandingkan dengan kampanye yang berbasis kebijakan atau visi-misi, cara ini boleh jadi dianggap lebih mudah. Menurut Charles Prysby dan Carmine Scavo, agar isu kebijakan dapat mempengaruhi pemilih, harus ada perbedaan yang jelas di antara setiap kandidat. Sayangnya, pemilih sering kali tidak bisa menemukan perbedaan tersebut bahkan untuk isu yang penting sekalipun.

Berdasarkan kecenderungan pemilih tersebut, boleh jadi para kandidat merasa lebih efektif untuk menyerang aspek-aspek lain dalam perilaku memilih. Dalam konteks ini, kampanye negatif dapat menyentuh aspek evaluasi terhadap kualitas personal dari suatu kandidat.

Bisa Jadi Senjata Makan Tuan

Dalam konteks politik, kampanye negatif lebih mudah digunakan oleh kelompok oposisi dibandingkan petahana. Posisi mereka sebagai kelompok di luar struktur pemerintahan membuat mereka leluasa dalam melempar isu-isu negatif mengenai petahana kepada masyarakat luas.

Sementara kubu petahana, akan kesulitan melakukan kampanye negatif karena status kepresidenan Jokowi membuat kubu tersebut sangat berhati-hati ketika ingin sampaikan kelemahan lawan. Bisa saja ketika Jokowi melakukan serangan kepada Prabowo, dia akan terlihat tidak elegan dan akan timbulkan sinisme di masyarakat.

Baca juga :  Mengapa Peradaban Islam Bisa Runtuh? 

Namun, meskipun menurut data masyarakat bisa terpengaruh dengan isu-isu negatif, belum tentu pemenang pemilihan elektoral nanti adalah kandidat yang paling pintar memainkan kampanye negatif. Artinya, belum tentu juga kelompok oposisi diuntungkan oleh posisi mereka.

Kampanye Bermutu

Obama adalah salah satu contoh capres di Amerika yang bisa memenangkan Pilpres Amerika sekalipun diserang dengan kampanye negatif oleh Mitt Romney. Romney terus “memukul” Obama tanpa henti dengan kampanye negatif dengan berkata “Obama mengerikan”, “Obama orang jahat” dan “Obama adalah kegagalan”.

Bahkan The Washington Post mencatat selama pemilihan, 66,9 juta dolar telah dihabiskan oleh oposisi untuk menebar pesan anti-Obama. Alih-alih masyarakat akan terpengaruh dengan isu negatif semacam itu, Obama justru kembali menjadi pemenang pada Piplres Amerika tahun 2012.

Hal serupa juga dialami oleh Walikota London Shadiq Khan ketika politisi asal partai Buruh Inggris itu bersaing dengan Zac Goldsmith dalam pemilihan Walikota London tahun 2016. Sebagai keturunan Pakistan, Khan dituduh sebagai simpatisan ekstremis oleh lawan politiknya. Namun, seperti Obama di Amerika, Shadiq Khan justru terpilih sebagai Walikota London tahun 2016.

Pada titik inilah kampanye negatif justru bisa menjadi senjata bagi tuannya sendiri. Pendiri politicaladvertising.co.uk Bennedict Pringle mengatakan kampanye negatif akan berhasil jika dilakukan dengan benar. Bennedict soroti kegagalan Zac Goldsmith pada pemilihan walikota London.

Secara sederhana, kampanye negatif bekerja paling baik ketika digunakan untuk mengingatkan pemilih tentang apa yang sudah mereka pikirkan. Di sinilah kampanye Goldsmith gagal. Dikarenakan masyarakat tak pernah berpikiran seorang Khan adalah simpatisan ekstremis.

Bisa jadi itu pula yang terjadi pada Obama di Amerika. Program-program Obama seperti Obamacare jauh lebih memikat hati dan pikiran warga Amerika daripada isu negatif tentang “Obama jahat” dan “Obama Gagal”.

Dalam konteks politik Indonesia saat ini, bisa saja kubu yang paling sering menggunakan kampanye negatif justru akan sulit meraih kemenangan, karena fakta di lapangan sering berbanding terbalik dengan isu negatif yang dibangun selama ini.

Jika melihat pertarungan antara Jokowi vs Prabowo, kubu Jokowi terlihat tak kewalahan dalam menyerang balik isu-isu negatif dari kelompok oposisi. Semisal, ketika tokoh-tokoh politik oposisi menyerang Jokowi dengan isu kemiskinan, Jokowi menghadirkan data bahwa di era Jokowi justru tingkat kemiskinan berkurang.

Pada titik inilah kedua kubu harus berbenah, karena kampanye negatif yang dinilai ampuh dalam kontestasi Pilpres bisa saja akan berbuntut pada kekalahan jika isu yang dimunculkan justru berbanding terbalik dengan fakta di lapangan.

Maka menarik untuk diperhatikan, apakah setelah ini publik akan tetap disuguhi oleh berbagai isu negatif atau justru visi-misi kedua kandidat akan terdengar luas oleh publik? Mengingat, tak sedikit publik yang menunggu-nunggu kampanye bermutu dari kedua pasangan capres dan cawapres. (D38)

 

spot_imgspot_img

#Trending Article

Strategi Erick Thohir Menangkan Timnas?

Timnas U-23 lolos ke babak semifinal di Piala Asia U-23 2024. Mungkinkah ini semua berkat Ketum PSSI Erick Thohir? Mengapa ini juga bisa politis?

Iran Punya Koda Troya di Bahrain? 

Iran sering dipandang sebagai negara yang memiliki banyak proksi di kawasan Timur Tengah. Mungkinkah Bahrain jadi salah satunya? 

“Sepelekan” Anies, PKS Pura-Pura Kuat?

Telah dua kali menyatakan enggan mengusung Anies Baswedan di Pilkada Jakarta 2024, PKS kiranya sedang mempraktikkan strategi politik tertentu agar daya tawarnya meningkat. Namun di sisi lain, strategi itu juga bisa saja menjadi bumerang. Mengapa demikian?

Gibran, Wapres Paling Meme?

Usai MK bacakan putusan sengketa Pilpres 2024, Gibran Rakabuming Raka, unggah fotonya sendiri dengan sound berjudul “Ahhhhhh”.

The Battle of Javanesia 2: Proxy War Jokowi vs Prabowo di Pilkada 2024

Pilkada serentak 2024 akan jadi panggung pertaruhan partai politik dan elite nasional untuk menentukan siapa yang jejaring kekuasaannya mampu merambah hingga ke level terbawah.

Triad, Grup Mafia Penguasa Asia?

Kelompok mafia tidak hanya ada di negara-negara Barat, di Asia, sebuah kelompok yang disebut Triad kerap disamakan dengan mafia-mafia ala Italia. Bagaimana sejarahnya?

Manuver Mardiono, PPP “Degradasi” Selamanya?

Kendati belakangan berusaha tetap membawa PPP eksis di kancah perpolitikan nasional dengan gestur merapat ke koalisi Prabowo-Gibran, Muhamad Mardiono agaknya tetap akan cukup sulit membawa PPP bangkit jika tak membawa perubahan signifikan. Mengapa demikian?

Simpati, ‘Kartu’ Rahasia Prabowo?

Prabowo meminta relawan dan pendukungnya untuk tidak berdemo agar jaga perdamaian dan tensi politik. Apakah ini politik simpati ala Prabowo?

More Stories

Politik Snouck Hurgronje ala Jokowi

Ada indikasi Jokowi menggunakan taktik Snouck Hurgronje dalam menguasai wilayah Banten. Hal itu dikarenakan, Jokowi kerap mengenakan simbol-simbol Islam dan adat ketika berkunjung ke...

Rangkul Pemuda Pancasila, Jokowi Orbais?

Pemuda Pancasila adalah organisasi warisan Orde Baru (Orbais). Apakah kelompok ini akan dirangkul oleh Jokowi di Pilpres 2019? PinterPolitik.com Istana kedatangan tamu. Kediaman presiden itu kini...

Tampang Boyolali, Prabowo Sindir Jokowi?

Kata-kata “tampang Boyolali” ala Prabowo terindikasi memiliki kaitan dengan latarbelakang Jokowi sebagai presiden keturunan Boyolali. PinterPolitik.com Akhir-akhir ini, Prabowo Subianto menjadi sorotan. Yang terbaru, kata-kata Prabowo...