HomeNalar PolitikTampang Boyolali, Prabowo Sindir Jokowi?

Tampang Boyolali, Prabowo Sindir Jokowi?

Kecil Besar

Kata-kata “tampang Boyolali” ala Prabowo terindikasi memiliki kaitan dengan latarbelakang Jokowi sebagai presiden keturunan Boyolali.


PinterPolitik.com

[dropcap]A[/dropcap]khir-akhir ini, Prabowo Subianto menjadi sorotan. Yang terbaru, kata-kata Prabowo tentang “tampang Boyolali” dianggap telah merendahkan martabat warga kabupaten yang terletak 25 kilometer sebelah barat Kota Surakarta itu.

Dalam pidato di kantor Badan Pemenangan Nasional (BPN), sang jenderal sempat mengatakan bahwa orang-orang Boyolali mungkin akan diusir kalau masuk hotel mewah karena tampang mereka bukan tampang orang kaya, melainkan tampang Boyolali.

Sontak, ungkapan terkait “tampang Boyolali” tersebut viral di media sosial dan membuat warga Boyolali merasa tersinggung. Warga pun menuangkan ekspresi kekesalan mereka dengan memprotes Prabowo di jalan-jalan Kota Boyolali. Ribuan warga atas nama Forum Boyolali Bermartabat menuntut Prabowo untuk meminta maaf kepada warga wilayah tersebut.

Tak sekedar didemo, Prabowo pun dilaporkan oleh warga Boyolali bernama Dakun. Kuasa hukum Dakun, Muannas Alaidid menyebutkan bahwa pihaknya mempolisikan Prabowo karena tersinggung atas kata-kata Prabowo tersebut.

Sementara di sisi lain, Jubir Prabowo-Sandiaga Uno, Andre Rosiade mengatakan bahwa pidato junjungannya sengaja digoreng oleh kubu lawan. Isu tersebut terus dimainkan untuk menyerang mantan Danjen Kopassus itu di Pilpres kali ini. Apalagi Muannas Alaidid, sang kuasa hukum pelapor, adalah caleg dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI) – salah satu partai di koalisi pendukung Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat ini.

Prabowo sendiri merasa heran kata-kata tersebut dipermasalahkan. Ia mengatakan bahwa kata-katanya itu adalah candaan semata. Benarkah begitu?

Direncanakan atau Spontan?

“Tampang Boyolali” ala Prabowo kini berbuntut panjang. Fenomena ini mengindikasikan betapa seorang pemimpin perlu berhati-hati dalam berkata-kata. Jika salah bicara dan ditafsirkan berbeda, mereka bisa berhadapan dengan masalah. Tak heran kata-kata Prabowo saat ini seperti menjadi boomerang bagi Ketua Umum Partai Gerindra tersebut.

Lantas, yang kini menjadi pertanyaan adalah, apakah Prabowo sengaja mengeluarkan kata-kata tersebut? Atau justru ia mengatakan kata-kata itu secara spontan, alias mengalir dan tidak direncanakan?

Terkait konten pidato tersebut, Prabowo sudah mengklarifikasi bahwa ia tak bermaksud untuk merendahkan warga Boyolali. Dirinya justru sedang memberikan peringatan kepada pemerintah bahwa telah terjadi ketimpangan ekonomi dan pembangunan. Prabowo juga mengatakan bahwa “tampang Boyolali” adalah candaaan saja dan bukan bermaksud menghina.

Pada umumnya, seorang politisi sudah pasti mempersiapkan terlebih dahulu konten pidato yang akan ia sampaikan kepada publik. Hal ini penting dilakukan, mengingat kata-kata seorang politisi sangat diperhatikan oleh berbagai pihak.

Baca juga :  “Original Sin”, Indonesia Harusnya Adidaya Antariksa? 

Praktik dari perencanaan tersebut memang bisa dilihat pada konten pidato Prabowo sendiri. Hampir di setiap pidato, sang jenderal selalu mengkritik arah pembangunan ekonomi rezim Jokowi. Bukan tak mungkin, konten pidato itu memang sudah dipersiapkan di belakang layar untuk diucapkan berulang-ulang oleh Prabowo.

Akan tetapi, candaan dengan mengatakan “tampang Boyolali” adalah sesuatu yang tidak biasanya diucapkan mantan menantu Soeharto itu. Lantas, apakah kata-kata tersebut memang direncanakan atau justru Prabowo sedang mengalami slip of tongue?

Slip of tongue itu sendiri bisa diartikan sebagai terselip lidah atau salah mengucapkan atau salah mengatakan. Pakar psikoanalisis Austria Sigmund Freud mengatakan bahwa slip of tongue adalah kecelakaan komunikasi. Freud percaya setiap perilaku manusia termasuk salah dalam mengucapkan sesuatu ditentukan oleh alam bawah sadar orang tersebut.

Freud percaya setiap perilaku manusia termasuk salah dalam mengucapkan sesuatu ditentukan oleh alam bawah sadar orang tersebut Share on X

Freud berpendapat celah-celah lidah akan secara tidak sengaja mengungkapkan pikiran atau sikap bawah sadar seseorang. Bahkan ketika seseorang mengatakan sesuatu yang tidak ingin ia katakan, rahasianya kadang-kadang bisa terungkap. Atas pemikirannya tersebut, istilah ini juga sering dikenal dengan sebutan Freudian slip.

Sebagai contoh, politisi asal Inggris, David Cameron, pernah salah mengucapkan kata-kata menjelang Pemilu 2015. Ia mengatakan bahwa kontestasi Pemilu adalah momen untuk “menentukan karir”. Padahal ia bermaksud mengatakan bahwa Pemilu akan “menentukan negara”.

Alhasil Cameron mendapat kritik dari berbagai pihak karena dianggap berpolitik demi karir pribadi, bukan untuk pengabdian kepada negara. Jika dilihat dari pemikiran Freud, kesalahan Cameron dalam mengucapkan kata-kata tersebut bisa jadi memang merupakan keinginan alam bawah sadarnya dan terungkap ketika ia salah mengucapkan kata-kata.

Prabowo pun sebenarnya pernah mengalami hal serupa. Dua kesalahan ucap tersebut ia lakukan di masa Pilpres 2014. Pertama, ia pernah salah menyebut Djan Faridz sebagai Menteri Pekerjaan Umum yang sebetulnya adalah Menteri Perumahan Rakyat.

Kedua, Prabowo pernah keceplosan menyarankan masyarakat menerima sembako di tahun politik, namun tetap memilih sesuai hati nurani. Kalimat ini ia lontarkan untuk mengkritik politik uang dalam Pemilu. Namun, sebagian pihak justru menilai kalimat itu merupakan pembenaran Prabowo atas politik uang. Jika dikaji dari konsep slip of tongue, bisa saja kata-kata itu memang mencerminkan bahwa Prabowo “menghalalkan” cara tersebut.

Berdasarkan penjelasan tersebut, sengaja atau tidak sengaja kata-kata “tampang Boyolali” itu diucapkan, hal tersebut tetap saja menggambarkan personal Prabowo. Jika sengaja, maka kata-kata itu adalah bagian dari kampanye politik, sementara kalau hanya slip of tongue, hal itu pun tetap menggambarkan personalitas Prabowo. Tentu pertanyaanya adalah apakah ada makna lain di balik kata-kata tersebut?

Baca juga :  The Next Rise of Golkar

Prabowo Sindir Jokowi?

Ketika ungkapan “tampang Boyolali” menjadi sorotan, Presiden Jokowi sempat bereaksi dan mengungkapkan bahwa ia adalah orang Boyolali. Kata-kata itu diucapkan Jokowi ketika blusukan ke pasar dan ketika mengklarifikasi bahwa ia bukan keturunan PKI dan Tionghoa Singapura.

Kata-kata Jokowi itu lantas mengundang perhatian. Pasalnya, selama ini ia selalu dikenal sebagai warga asli Solo, bukan Boyolali. Tak heran jika publik mengait-ngaitkan hal tersebut dengan ucapan Prabowo tentang “tampang Boyolali”.

Jika dirunut berdasarkan silsilah keluarga, ibunda Jokowi memang berasal dari Boyolali. Sang ibu dibesarkan oleh kakek dan nenek Jokowi di Dusun Gumukrejo, Kelurahan Giriroto, Ngemplak, Boyolali. Sedangkan ayah Jokowi, lahir di Karanganyar. Tetapi, menurut pengakuan Jokowi, sang Bapak juga pernah tinggal di Boyolali ketika masih muda.

Sementara itu, Jokowi yang lahir di Solo sempat pula dititipkan di rumah kakek-neneknya di Boyolali saat masih balita karena sang ibu sibuk bekerja. Sehingga, sangatlah wajar Jokowi memiliki ikatan emosional yang kuat dengan kota yang terkenal sebagai penghasil susu sapi segar tersebut.

Lantas apakah “tampang Boyolali” ala Prabowo memiliki kaitan dengan latar belakang Jokowi sebagai presiden keturunan Boyolali? Bisa jadi demikian. Bagaimanapun juga dalam konteks komunikasi politik jelang Pilpres, sangat mungkin ada intensi tertentu dari Prabowo ketika membicarakan hal ini di depan publik.

Munginkah hal tersebut bermakna bahwa Prabowo masih menganggap kalau Jokowi adalah presiden ndesosebutan untuk orang kampung atau desa? Isu presiden ndeso sendiri adalah ejekan yang ditujukan kepada Jokowi pada Pilpres 2014, sekalipun Prabowo tak pernah mengatakan bahwa Jokowi bermuka ndeso.

Bisa saja, kesan Jokowi ndeso pun masih dipelihara oleh orang-orang di balik Prabowo saat ini, sehingga dalam sebuah kesempatan berpidato Prabowo terpeleset dengan melontarkan kata-kata “tampang Boyolali” itu.

Walaupun demikian, ungkapan Prabowo tersebut justru memberikan keuntungan bagi Jokowi. Mengingat kesan Presiden ndeso justru menjadi salah satu faktor kemenangan Jokowi di tahun 2014. Survei dari Institute for Transformation Studies menyebutkan bahwa elektabilitas Jokowi terus meningkat menjelang Pilpres 2014 karena ke-ndeso-annya.

Predikat ndeso dalam diri Jokowi adalah lambang kesederhanaan dan kesantunan. Kesan ini justru menjadi pembeda mantan Wali Kota Solo itu dibanding Prabowo. Marcus Mietzner dalam Inside Indonesia mengatakan bahwa Jokowi merupakan antitesis Prabowo. Nama terakhir selalu diidentikkan sebagai sosok yang agresif. Sementara Jokowi dianggap sebagai sosok yang inklusif.

Oleh karena itu, ungkapan Prabowo tentang “tampang Boyolali” justru bisa menjadi semacam karpet merah bagi Jokowi untuk melangkah lagi ke Istana dengan menggunakan kesan ndeso tersebut. Entah kata-kata itu sengaja atau tidak diucapkan sang jenderal, yang jelas menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (D38)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Prabowo-SBY: Tomorrow’s Legacy

Di balik momen saling puji Prabowo dan SBY di Universitas Pertahanan, tersirat warisan besar dua jenderal: menjadikan pendidikan sebagai medan strategis. Kedisiplinan, nasionalisme, dan karakter menjadi jawaban mereka atas disrupsi generasi cemas dan krisis moral di era digital.

Blok ROJALIS: Magnet Pertahanan Baru?

Untuk pertama kalinya sejak Orde Baru, industri pertahanan Indonesia terlihat mulai berporos ke Prancis, Turki, dan Italia. Mungkinkah ini awal terbentuknya poros pertahanan baru yang bisa kita sebut: The Rojalis Block?

Bobby: Mr. Controversy or Strongmen Wannabe?

Bobby Nasution mencuri perhatian sebagai Gubernur termuda dengan langkah berani namun sarat kontroversi. Dari anggaran nyeleneh hingga polemik pulau perbatasan, ia tampil di persimpangan antara warisan Jokowi dan ambisi politik mandiri. Sedang membangun citra atau sekadar bayangan dinasti? Mengapa?

Misi Sakral 24.000 Tamtama?

Rekrutmen 24.000 tamtama TNI AD tampak bukan sekadar ekspansi militer, tapi bagian dari visi strategis untuk menjadikan prajurit sebagai agen pembangunan desa dan ketahanan pangan. Mengacu pada model serupa tapi tak sama yang diterapkan Vietnam dan Tiongkok, inilah kiranya wajah baru pertahanan sosial-produktif Indonesia. Benarkah demikian?

Masih Mungkinkah Mengejar AS & Tiongkok?

ASEAN adalah blok regional yang kuat, tapi bahkan gabungan sepuluh negaranya masih jauh tertinggal dibanding dua adidaya dunia: Amerika Serikat dan Tiongkok. Apakah ini pertanda bahwa dunia kini bergerak menuju tatanan geopolitik yang hanya ditentukan oleh dua poros kekuatan besar?

Menertawakan ‘Kesenjangan’ Bersama TikTok

Pernah sebut transportasi umum sebagai shuttle bus? Mungkin, humor ini benar-benar gambarkan kesenjangan sosial, seperti yang ramai di TikTok.

Rahasia Puan & BG di Balik Layar?

Di balik gestur keharmonisan yang kembali terlihat di antara Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri, peran aktor kunci di balik layar agaknya cukup krusial. Tak hanya bekerja dalam satu konteks, efek domino politik bukan tidak mungkin tercipta dari andil mereka.

Geopolitical AI: Ini Pusat Dunia Masa Depan?

Beijing, Silicon Valley, dan Paris kini jadi pusat investasi AI terbesar di dunia—mewakili tiga kutub kekuatan baru dari Asia, Amerika, dan Eropa. Apakah ini tanda bahwa kota dengan dominasi AI akan menjadi pusat peradaban masa depan?

More Stories

Politik Snouck Hurgronje ala Jokowi

Ada indikasi Jokowi menggunakan taktik Snouck Hurgronje dalam menguasai wilayah Banten. Hal itu dikarenakan, Jokowi kerap mengenakan simbol-simbol Islam dan adat ketika berkunjung ke...

Rangkul Pemuda Pancasila, Jokowi Orbais?

Pemuda Pancasila adalah organisasi warisan Orde Baru (Orbais). Apakah kelompok ini akan dirangkul oleh Jokowi di Pilpres 2019? PinterPolitik.com Istana kedatangan tamu. Kediaman presiden itu kini...

Aktivis 1998, Ironi Pilpres 2019

“Ketika seorang aktivis menjadi politisi, mereka harus berkompromi untuk mendapatkan hasil tertentu.” – Bob Kerey PinterPolitik.com Pada tahun 1998 ribuan mahasiswa berhasil menduduki gedung DPR/MPR dan...