HomeNalar PolitikJangan Pilih Capres Sederhana

Jangan Pilih Capres Sederhana

Sejak Reformasi, mencitrakan diri sebagai sosok sederhana merupakan strategi musiman politisi, hingga capres di tiap gelaran pemilu. Jika direnungkan secara mendalam, capres yang mencitrakan dirinya sederhana justru yang seharusnya tidak dipilih.


PinterPolitik.com

Dalam artikel PinterPolitik yang berjudul Kenapa Jokowi Bisa Jadi Presiden? pada 6 Oktober 2021, telah dijabarkan bahwa kemenangan Joko Widodo (Jokowi) di Pilpres 2014 karena kuatnya citra mantan Wali Kota Solo tersebut sebagai politisi sederhana. “Jokowi adalah Kita”, begitu bunyi slogannya.

Sebagai respons kemenangan Jokowi, majalah terkemuka asal Amerika Serikat (AS), Time, bahkan menempatkan wajah Jokowi pada sampulnya dengan keterangan “A New Hope”. Jelas, kemenangan Jokowi adalah kejutan. 

Jokowi bukan dari kalangan elite, bukan petinggi partai dan militer, serta bukan deretan orang terkaya. Namun, ia justru dapat mengalahkan Prabowo Subianto yang namanya telah dikenal sejak Orde Baru.

Atas keberhasilan tersebut, politik peniruan atau mimikri kemudian jamak dilakukan. Berbagai kandidat yang disebut akan maju di Pilpres 2024 terlihat menampilkan dirinya sebagai politisi sederhana. 

Di berbagai baliho, pamflet, dan iklan politik, kita kerap menemukan jargon “membela rakyat”, “bersama rakyat”, hingga “berkoalisi dengan rakyat”.

Pun demikian di berbagai pemberitaan media dan akun media sosial berbagai kandidat. Bumbu keterangan sebagai sosok sederhana merupakan andalan yang tidak boleh dilewatkan. 

Terdapat berbagai foto dan gestur, seperti menanam padi, menyapu, makan di pinggir jalan, dan bercengkrama dengan rakyat kecil.

Istilah yang Kontradiktif

Yang menarik adalah, jika dianalisis lebih jauh, menampilkan diri atau tepatnya mencitrakan diri sebagai sosok sederhana justru merupakan sebuah paradoks dan kontradiktif. 

Istilah “politisi sederhana” terdiri dari dua kata, yakni “politisi” dan “sederhana”. Politisi adalah mereka yang secara profesional terlibat dalam aktivitas politik, khususnya dalam partai politik dan perebutan jabatan publik. Sementara kata sederhana atau low profile berarti menghindari atau tidak menarik banyak perhatian dan publisitas. 

Dengan demikian, istilah politisi sederhana seharusnya berarti politisi yang menghindari atau tidak menarik banyak perhatian dan publisitas. 

infografis jangan asal pilih capres 1

Namun, seperti yang kita saksikan, politisi yang mengklaim dirinya sederhana justru ingin diperhatikan seluas dan sebanyak mungkin. Itu terlihat jelas dari upaya mereka tampil di media massa dan media sosial.

Baca juga :  Prabowo-Megawati Bersatu, Golkar Tentukan Nasib Jokowi?

Seperti dijelaskan Edward S. Herman dan Noam Chomsky dalam buku Manufacturing Consent: The Political Economy of the Mass Media, politisi selalu menggunakan media untuk melakukan fabrikasi persetujuan (fabrication of consent). 

Melalui pemberitaan media, politisi dapat melakukan doktrinasi, propaganda, dan menyebarkan ide yang bertujuan untuk menciptakan persetujuan di tengah masyarakat.

Politisi yang menyebut dirinya sederhana hendak menciptakan fabrikasi persetujuan. Melalui pemberitaan media massa dan unggahan media sosial, masyarakat hendak digiring untuk mengamini bahwa mereka adalah sosok yang sederhana.

Atas fenomena itu, dapat disimpulkan bahwa aktualisasi “politisi sederhana” tergolong ke dalam contradictio in terminis, yakni kombinasi kata yang maknanya bertentangan satu sama lain.

Selain mimikri keberhasilan Jokowi, seperti dijelaskan dalam artikel Kenapa Jokowi Bisa Jadi Presiden?, strategi politik itu bertolak dari temuan psikologi, di mana banyak pihak tidak menyukai orang kaya. 

Roxanne Roberts dalam tulisannya Why does everybody suddenly hate billionaires? Because they’ve made it easy, menyebut istilah “miliarder” telah menjadi terminologi negatif. Ini misalnya terlihat dari pernyataan mantan kepala eksekutif Starbucks, Howard Schultz yang mengaku tidak suka dipanggil miliarder meskipun memiliki kekayaan sekitar US$ 3,5 miliar. 

Senada dengan itu, Rhymer Rigby dalam tulisannya It’s easy to hate the rich but harder to justify it juga menyebut ketidaksukaan terhadap orang kaya bertolak dari persepsi masyarakat yang merasakan ketidaksetaraan sosial-ekonomi.

Orang-orang kaya yang memiliki uang miliaran dolar berada di puncak piramida. Jumlah mereka sedikit tetapi memiliki pengaruh yang begitu besar. Kondisi ini timpang dengan masyarakat yang berada di bagian bawah piramida. Kendati jumlahnya jauh lebih banyak, pengaruh yang mereka miliki tidaklah besar.

Lanjut Rigby, meskipun begitu mudah bagi banyak pihak untuk membenci orang kaya, namun pada dasarnya mereka sulit menjustifikasi alasan kebencian tersebut.

Tendensi psikologis semacam itu yang membuat citra politisi sederhana begitu berhasil. Politisi yang menampilkan kemewahan akan mendapat kritik, tidak disukai, hingga dicaci maki.

Baca juga :  Manuver Mardiono, PPP "Degradasi" Selamanya?

Kita ingin melihat sesuatu yang sama dengan diri kita. Karena kebanyakan dari kita bukanlah orang-orang bergelimang harta, kita ingin melihat politisi juga menampilkan hal demikian. 

Selain faktor psikologis, ada pula nilai-nilai dalam masyarakat, khususnya agama yang selalu menekankan betapa pentingnya kesederhanaan. 

infografis jangan lagi cerai karena pilpres

Istilah yang Delusif

Jika dianalisis lagi, istilah politisi sederhana tidak hanya contradictio in terminis, melainkan juga delusif. Dalam terang psikologi, istilah “delusi” memiliki perbedaan dengan “ilusi”. 

Ilusi adalah keadaan ketika kita menyadari terdapat fenomena tidak nyata yang sedang terjadi. Sementara delusi adalah keadaan ketika kita tidak menyadari bahwa fenomena tidak nyata itu tengah terjadi. 

Sedikit intermeso, perbedaan makna itu yang membuat Richard Dawkins memilih judul The God Delusion daripada The God Illusion dalam bukunya. 

Jika ditelaah secara mendalam, istilah sederhana sebenarnya adalah posisi atau aktivitas yang tidak dapat dilakukan semua pihak. Mereka yang dapat melakukannya adalah kelompok menengah ke atas. 

Mereka yang dapat disebut sederhana adalah mereka yang memang berpotensi menarik perhatian dan publisitas. Kembali pada etimologinya, sederhana atau low profile berarti menghindari atau tidak menarik banyak perhatian dan publisitas.   

Pertanyaannya, bagaimana masyarakat menengah ke bawah mengatakan dirinya sederhana jika mereka memang bukan target perhatian dan publisitas?

Lawan kata sederhana adalah kemewahan. Mereka yang dapat disebut sederhana adalah mereka yang dapat hidup mewah atau mendapat banyak perhatian, namun memilih untuk menghindarinya. Masyarakat menengah ke bawah tidak dapat mengklaim dirinya sederhana karena memang tidak mampu untuk hidup penuh dengan kemewahan.

Dengan kata lain, politisi sederhana adalah istilah yang delusif. Bayangan kita atas politisi yang tidak kaya dan tidak mewah benar-benar merupakan sebuah delusi. 

Politisi mengklaim dirinya sederhana karena mereka mampu hidup mewah dan mengetahui dirinya dapat menarik banyak perhatian dan publisitas. 

Pada akhirnya, sebagai penutup dapat disimpulkan bahwa citra politisi sederhana hanyalah sebuah marketing politik semata. 

Jangan memilih capres yang menampilkan dirinya paling sederhana. Sejatinya, jika direnungkan secara mendalam, mereka adalah sosok yang bergelimang kemewahan. (R53)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Strategi Erick Thohir Menangkan Timnas?

Timnas U-23 lolos ke babak semifinal di Piala Asia U-23 2024. Mungkinkah ini semua berkat Ketum PSSI Erick Thohir? Mengapa ini juga bisa politis?

Iran Punya Koda Troya di Bahrain? 

Iran sering dipandang sebagai negara yang memiliki banyak proksi di kawasan Timur Tengah. Mungkinkah Bahrain jadi salah satunya? 

“Sepelekan” Anies, PKS Pura-Pura Kuat?

Telah dua kali menyatakan enggan mengusung Anies Baswedan di Pilkada Jakarta 2024, PKS kiranya sedang mempraktikkan strategi politik tertentu agar daya tawarnya meningkat. Namun di sisi lain, strategi itu juga bisa saja menjadi bumerang. Mengapa demikian?

Gibran, Wapres Paling Meme?

Usai MK bacakan putusan sengketa Pilpres 2024, Gibran Rakabuming Raka, unggah fotonya sendiri dengan sound berjudul “Ahhhhhh”.

The Battle of Javanesia 2: Proxy War Jokowi vs Prabowo di Pilkada 2024

Pilkada serentak 2024 akan jadi panggung pertaruhan partai politik dan elite nasional untuk menentukan siapa yang jejaring kekuasaannya mampu merambah hingga ke level terbawah.

Triad, Grup Mafia Penguasa Asia?

Kelompok mafia tidak hanya ada di negara-negara Barat, di Asia, sebuah kelompok yang disebut Triad kerap disamakan dengan mafia-mafia ala Italia. Bagaimana sejarahnya?

Manuver Mardiono, PPP “Degradasi” Selamanya?

Kendati belakangan berusaha tetap membawa PPP eksis di kancah perpolitikan nasional dengan gestur merapat ke koalisi Prabowo-Gibran, Muhamad Mardiono agaknya tetap akan cukup sulit membawa PPP bangkit jika tak membawa perubahan signifikan. Mengapa demikian?

Simpati, ‘Kartu’ Rahasia Prabowo?

Prabowo meminta relawan dan pendukungnya untuk tidak berdemo agar jaga perdamaian dan tensi politik. Apakah ini politik simpati ala Prabowo?

More Stories

Ganjar Kena Karma Kritik Jokowi?

Dalam survei terbaru Indonesia Political Opinion, elektabilitas Ganjar-Mahfud justru menempati posisi ketiga. Apakah itu karma Ganjar karena mengkritik Jokowi? PinterPolitik.com Pada awalnya Ganjar Pranowo digadang-gadang sebagai...

Anies-Muhaimin Terjebak Ilusi Kampanye?

Di hampir semua rilis survei, duet Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar selalu menempati posisi ketiga. Menanggapi survei yang ada, Anies dan Muhaimin merespons optimis...

Kenapa Jokowi Belum Copot Budi Gunawan?

Hubungan dekat Budi Gunawan (BG) dengan Megawati Soekarnoputri disinyalir menjadi alasan kuatnya isu pencopotan BG sebagai Kepala BIN. Lantas, kenapa sampai sekarang Presiden Jokowi...