HomeNalar PolitikElon Musk Jadi Endorser IKN?

Elon Musk Jadi Endorser IKN?

Menteri PPN/Kepala Bappenas, Suharso Monoarfa tiba-tiba saja mengklaim bos SpaceX, Elon Musk telah meminta secara khusus pada Indonesia untuk membuka kesempatan membuat bandara pesawat super cepat di Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara. Apa kira-kira motif di baliknya? 


PinterPolitik.com 

Pembahasan mengenai Ibu Kota Negara (IKN) yang baru tengah menjadi pembicaraan hangat di tengah masyarakat. Terlepas dari penetapan namanya yang memancing sejumlah kritik, sempat beredar berita besar lain yang cukup menghebohkan, yaitu tentang klaim bahwa Elon Musk, bos perusahaan antariksa raksasa SpaceX, telah meminta secara khusus pada pemerintah Indonesia untuk menyiapkan lahan di IKN agar dapat membangun sebuah bandara canggih. 

Klaim ini dilontarkan langsung oleh Menteri PPN/Kepala Bappenas, Suharso Monoarfa. Ia menyebutkan bahwa Panitia Khusus (Pansus) IKN sudah berbicara langsung dengan Elon Musk di kantor SpaceX di Los Angeles, dan dikatakan SpaceX akan membuat bandara khusus pesawat “super cepat”. Dengan mendirikan fasilitas ini, disebutkan jarak tempuh antara Indonesia-Amerika Serikat (AS) hanya akan memakan waktu 1,5-2 jam saja. 

Suharso mengatakan, SpaceX sangat tertarik mendirikan bandara seperti ini di Indonesia karena dari segi teknis, Indonesia memang mempunyai daya tarik tersendiri, yaitu posisi kita yang tepat berada di khatulistiwa. Posisi ini dinilai sangat menguntungkan sektor peluncuran roket dan penerbangan, salah satunya karena mampu menghemat pengeluaran bahan bakar. 

Tetapi uniknya adalah, klaim tentang ketertarikan Elon Musk terhadap IKN tampaknya hanya digemborkan oleh Suharso saja, karena jika kita berusaha mencari berita dari media asing ataupun kabar tentang pertemuan teknis antara lembaga terkait keantariksaan, yaitu Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), kabar tersebut tidak bisa kita temukan. 

Oleh karena itu, pantas untuk kemudian kita pertanyakan, mengapa Suharso tiba-tiba menyebut SpaceX dalam proyek IKN? 

Baca juga: Siasat Luhut Gandeng Elon Musk

Revitalisasi Bisnis Potensial? 

Wacana hubungan bisnis antara SpaceX dengan pemerintah Indonesia sebetulnya sudah cukup lama dicanangkan. Pada Desember 2020, Presiden Joko Widodo (Jokowi) pernah diberitakan secara langsung mengontak Musk melalui pembicaraan lewat telepon mengenai tawaran berinvestasi di Indonesia.  

Utamanya, undangan tersebut membicarakan tentang potensi lokasi pendirian peluncuran roket di Biak. Memang, pulau kecil yang terletak di Bumi Cenderawasih tersebut selalu disebut-sebut sebagai salah satu lokasi yang paling cocok untuk aktivitas peluncuran roket, tidak hanya di Indonesia, tapi juga mancanegara. Alasannya, adalah; pertama, karena Biak terletak tepat di garis khatulistiwa, lalu kedua, posisi Biak yang langsung menghadap ke Samudera Pasifik.  

Jika dilihat dari aspek ekonomis dan teknis pun akan sangat jauh lebih efisien jika suatu roket diluncurkan dari khatulistiwa, karena muatan satelit yang ikut diluncurkan roket tersebut tidak perlu bermanuver secara berlebihan untuk menyesuaikan penerbangannya ke orbit penempatan satelit. Faktor ini menjadi daya tarik tersendiri bagi perusahaan antariksa yang diajak bekerja sama oleh Indonesia, seperti SpaceX. 

Kalau bandar antariksa di Biak bisa terwujud, itu tidak hanya akan menguntungkan SpaceX, tetapi juga Indonesia sendiri karena pengembangan program antariksa dalam negeri bisa ikut terdongkrak dan mampu berkembang ke berbagai aspek teknologi lainnya. 

Baca juga :  Budiman Sudjatmiko, Skenario Brilian Prabowo?

Akan tetapi, daya tarik Indonesia yang ditawarkan ke Musk tidak hanya lokasi bandar antariksa saja. Menteri Koordinator Maritim dan Investasi (Menko Marves), Luhut Binsar Pandjaitan pernah menyebut bahwa Musk ditawarkan kerja sama membangun industri mobil listrik dengan menggunakan pasokan nikel Indonesia yang melimpah.  

Bahan mineral ini sangat krusial untuk pembuatan baterai litium, yang menjadi komponen utama dari mobil listrik, jenis produk unggulan perusahaan Tesla yang juga adalah milik Musk.  

Ini tentu juga sesuai dengan keinginan Jokowi yang ingin mengembangkan industri nikel, khususnya terkait penggunaan mobil listrik yang ditargetkan pada tahun 2035 memproduksi setidaknya 1 juta unit mobil listrik per tahun. 

Oleh karena itu, motivasi bisnis yang dimiliki Indonesia untuk bisa bekerja sama dengan Musk cukup tinggi. Sayangnya, progres hubungan Indonesia-Elon Musk terlihat menghadapi beberapa masalah, seperti kritik besar-besaran terhadap potensi kerusakan sosial yang dapat terjadi jika SpaceX mendirikan tempat peluncuran roket di Biak, lalu beralihnya upaya pencarian pasokan Nikel SpaceX ke BHP Billiton, sebuah perusahaan pertambangan asal Australia.  

Dengan demikian, apa yang dilakukan Suharso tampaknya adalah upaya menghidupkan kembali hubungan bisnis yang sangat potensial tapi sempat mandek di jalan. Untuk menghindari hambatan dari jajak bisnis pertama, namun tetap memegang tujuan awal bisnis, dilakukanlah pendekatan baru yang diharapkan mampu menjadi gerbang pembuka. Di dalam dunia bisnis, taktik ini disebut sebagai foot-in-the-door. 

Jonathan Freedman dan Scott Fraser dalam tulisannya Compliance Without Pressure: The Foot-in-the-Door Technique, menjelaskan bahwa taktik ini digunakan oleh pihak yang menginginkan menjalankan suatu bisnis yang besar dengan lawannya, tetapi melakukannya terlebih dahulu dengan membangun keterikatan melalui proyek lain.  

Dengan keterikatan ini, diharapkan proyek-proyek lanjutannya akan lebih mudah dijalankan karena telah timbul rasa kepercayaan atas kerja sama yang dilakukan, yang kemudian mampu berubah bentuk menjadi komitmen untuk lebih memperdalam kemitraan melalui proyek-proyek yang lebih besar. Jika proyek awal berjalan lancar dan menguntungkan, pihak yang didekati bahkan bisa muncul merasa terobligasi untuk lebih melanjutkan hubungan bisnis. 

Meski motivasinya memang benar adalah demikian, masih ada satu anomali lagi yang perlu kita cari tahu jawabannya. Mengapa baru sekarang pemerintah menyebut kembali hubungan bisnis dengan Elon Musk? Dan mengapa spesifik terkait IKN? 

Baca juga: Indonesia Perlu Bangun Bandar Antariksa?

Upaya Promosi IKN? 

Untuk mengetahui jawaban dari pertanyaan di atas, kita perlu kembali melihat makna proyek IKN bagi pemerintah Indonesia. Dilihat dari jumlah pendanaan yang dibutuhkan, yaitu sekitar Rp 466 triliun, dan hebohnya kampanye tentang potensi IKN sebagai “hub” Asia Tenggara, tampaknya jelas bahwa kota yang akan segera memiliki nama resmi “Nusantara” ini adalah proyek terbesar Indonesia, setidaknya sepanjang abad ke-21 ini. 

Baca juga :  Meraba Politik Luar Negeri Prabowo Subianto 

Karena hal itu, wajar bila pemerintah akan melakukan upaya semampu mungkin dalam mempromosikan IKN, agar bisa berfungsi sesuai perencanaan awal dan tak menjadi proyek yang sia-sia. Salah satu caranya kemudian adalah dengan menarik perhatian dari investor internasional. 

Bagaimana taktiknya? Well, layaknya jual beli online, ini bisa dilakukan dengan skema endorse, dan siapa lagi endorser kekinian yang memiliki nama besar jika bukan orang terkaya di dunia saat ini: Elon Musk. 

Elisa Sutanudjaja, Direktur Eksekutif Rujak Center for Urban Studies melalui akun Twitternya @elisa_jkt menjelaskan bahwa klaim sepihak dari pemerintah yang mengatakan ada seorang pengusaha besar yang memiliki minat dalam pembangunan proyek kota kelas dunia bukanlah sebuah hal yang aneh. Dengan mengatakan Musk “tertarik” membuat bandara di IKN, pemerintah seolah-olah mengatakan: “perusahaan sebesar SpaceX saja tertarik dengan IKN, oleh karena itu orang-orang seharusnya ikut mendukung dan berinvestasi di IKN”. 

Baca juga: IKN Diteruskan, Jokowi “Tertular” Xi Jinping?

Lebih lanjutnya, Elisa memperkenalkan suatu konsep yang bernama speculative urbanism untuk menjelaskan mengapa tindakan endorse semakin dianggap menjadi rute cepat untuk mendapatkan predikat kota kelas dunia.  

Michael Goldman dalam tulisannya Speculative Urbanism and the Making of the Next World City mengatakan bahwa, negara berkembang dalam upayanya untuk membangun kota kelas dunia cenderung akan melakukan kampanye-kampanye megah, dengan sebisa mungkin melibatkan pengusaha terkenal untuk mendapatkan perhatian investor layaknya pembuatan brosur real estate yang produknya sesungguhnya tidak sesuai dengan apa yang ada di gambar. 

Dengan mengaitkan kota ciptaannya ke sektor-sektor yang tidak berkaitan langsung dengan proses pembangunan kota, seperti pembuatan bandara pesawat antariksa dan metaverse, kota tersebut seakan-akan memiliki citra yang super canggih, padahal implementasi ke arah sana sesungguhnya masih sangat jauh kemungkinannya untuk direalisasikan, karena itulah urbanisme ini diberi nama spekulatif.  

Goldsman menyebut sesungguhnya kampanye seperti ini sangat beresiko karena mengimplikasikan proses transisi cepat yang dapat mencederai identitas komunitas warga negara di wilayah yang terlibat, hilangnya sebagian lapangan pekerjaan, dan hilangnya kepercayaan masyarakat maupun investor jika apa yang dibangun tidak sesuai ekspektasi 

Dalam penelitiannya, Goldman menjelaskan manuver seperti ini juga pernah dilakukan pemerintah India dalam mempromosikan kota Bangalore, yang diiming-iming menjadi Sillicon Valley-nya Asia. Perbedaannya adalah, pada saat skema speculative urbanism dilakukan India, Bangalore sudah mulai terbangun, sementara itu kalau melihat IKN, kita sama sekali belum memiliki “barangnya”. 

Karena itu, sesungguhnya bila memang Elon Musk tertarik untuk berinvestasi di Indonesia, itu sepatutnya didukung karena kerja sama yang dilakukan dapat menjadi batu acuan Indonesia untuk mengembangkan industri keantariksaan dan industri nikelnya.  

Akan tetapi, jangan sampai mimpi besar tersebut tercoreng hanya karena pemerintah ingin cepat-cepat menjadikan IKN Nusantara sebagai kota kelas dunia. (D74) 

Baca juga: Siapa Pemimpin Ibu Kota Pilihan Jokowi?

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Strategi Erick Thohir Menangkan Timnas?

Timnas U-23 lolos ke babak semifinal di Piala Asia U-23 2024. Mungkinkah ini semua berkat Ketum PSSI Erick Thohir? Mengapa ini juga bisa politis?

Iran Punya Koda Troya di Bahrain? 

Iran sering dipandang sebagai negara yang memiliki banyak proksi di kawasan Timur Tengah. Mungkinkah Bahrain jadi salah satunya? 

“Sepelekan” Anies, PKS Pura-Pura Kuat?

Telah dua kali menyatakan enggan mengusung Anies Baswedan di Pilkada Jakarta 2024, PKS kiranya sedang mempraktikkan strategi politik tertentu agar daya tawarnya meningkat. Namun di sisi lain, strategi itu juga bisa saja menjadi bumerang. Mengapa demikian?

Gibran, Wapres Paling Meme?

Usai MK bacakan putusan sengketa Pilpres 2024, Gibran Rakabuming Raka, unggah fotonya sendiri dengan sound berjudul “Ahhhhhh”.

The Battle of Javanesia 2: Proxy War Jokowi vs Prabowo di Pilkada 2024

Pilkada serentak 2024 akan jadi panggung pertaruhan partai politik dan elite nasional untuk menentukan siapa yang jejaring kekuasaannya mampu merambah hingga ke level terbawah.

Triad, Grup Mafia Penguasa Asia?

Kelompok mafia tidak hanya ada di negara-negara Barat, di Asia, sebuah kelompok yang disebut Triad kerap disamakan dengan mafia-mafia ala Italia. Bagaimana sejarahnya?

Manuver Mardiono, PPP “Degradasi” Selamanya?

Kendati belakangan berusaha tetap membawa PPP eksis di kancah perpolitikan nasional dengan gestur merapat ke koalisi Prabowo-Gibran, Muhamad Mardiono agaknya tetap akan cukup sulit membawa PPP bangkit jika tak membawa perubahan signifikan. Mengapa demikian?

Simpati, ‘Kartu’ Rahasia Prabowo?

Prabowo meminta relawan dan pendukungnya untuk tidak berdemo agar jaga perdamaian dan tensi politik. Apakah ini politik simpati ala Prabowo?

More Stories

Iran Punya Koda Troya di Bahrain? 

Iran sering dipandang sebagai negara yang memiliki banyak proksi di kawasan Timur Tengah. Mungkinkah Bahrain jadi salah satunya? 

Triad, Grup Mafia Penguasa Asia?

Kelompok mafia tidak hanya ada di negara-negara Barat, di Asia, sebuah kelompok yang disebut Triad kerap disamakan dengan mafia-mafia ala Italia. Bagaimana sejarahnya?

Sembako Siap Melambung Akibat Iran? 

erang Iran-Israel diprediksi akan berdampak besar pada ekonomi Indonesia. Mengapa demikian?