HomeNalar PolitikSiasat Luhut Gandeng Elon Musk

Siasat Luhut Gandeng Elon Musk

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan mengklaim bahwa Tesla yang dipimpin Elon Musk berminat untuk investasi di Indonesia. Apa kira-kira pertimbangan Tesla untuk masuk ke Indonesia?


PinterPolitik.com

“Crashed the McLaren, bought me a Tesla” – Tyler, the Creator, penyanyi rap asal Amerika Serikat (AS)

Bagi para penggemar film kartun, franchise film produksi Pixar yang bernama Cars pasti bukanlah hal yang asing lagi. Pasalnya, franchise film ini sempat menjadi favorit bagi banyak anak-anak – terutama bagi mereka yang menyukai mobil dan dunia balap.

Film mengisahkan Lightning McQueen yang hidup di dunia dengan kendaraan-kendaraan – seperti mobil, truk, pesawat, dan sebagainya – yang hidup dan dapat berbicara. Bila dunia tersebut diisi oleh mobil-mobil, tentu olahraga yang menjadi kegemaran masyarakat umum adalah balap mobil.

McQueen sendiri adalah pembalap top yang berkompetisi di Piala Piston. Namun, layaknya manusia, pembalap yang identik dengan warna merah dan senyumnya itu juga menghadapi berbagai tantangan dan persoalan.

Dalam perjuangannya, McQueen bertemu dengan berbagai kendaraan lainnya. Uniknya, kendaraan-kendaraan yang ada dalam film ini disebut-sebut mendapatkan inspirasi dari mobil dan kendaraan yang ada di dunia nyata.

Salah satu model atau jenis mobil yang disebut-sebut pernah muncul di Cars 3 (2017) adalah Tesla Model S. Bahkan, kemunculan mobil ini menjadi bahan diskusi di media sosial dan internet.

Meski tidak benar-benar diakui, banyak pengguna internet menganggap bahwa mobil itu terinspirasi dari salah satu jenis mobil sedan listrik Tesla. Gambaran ini terlihat dari bagaimana bentuk body dan lampu mobil dianggap identik.

Mungkin, pembuat dan animator film tersebut terinspirasi dengan Tesla. Bagaimana tidak? Perusahaan mobil asal Amerika Serikat (AS) tersebut memang menjadi salah satu perusahaan terdepan dalam menjual mobil bertenaga listrik di pasaran.

Inspirasi dan ketertarikan terhadap Tesla ini sepertinya tidak hanya ditunjukkan dalam film Cars 3 (2017). Beberapa waktu lalu, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan memberikan kabar bahwa Tesla akan berinvestasi di Indonesia.

Kabarnya, perusahaan asal AS itu akan berinvestasi dalam membuat pabrik yang memproduksi baterai litium yang biasa digunakan dalam mobil listriknya. Minat yang ditunjukkan oleh Tesla ini juga sejalan dengan upaya Luhut akhir-akhir ini yang mendorong penguatan industri mobil listrik di Indonesia.

Bila klaim Luhut tersebut benar, tentu terdapat pertanyaan yang akan muncul kemudian. Apa keuntungan Indonesia bila investasi Tesla tersebut terwujud? Lantas, mengapa Luhut tampak ingin menggandeng perusahaan yang dipimpin Elon Musk tersebut?

Mimpi Luhut?

Boleh jadi, alasan Luhut untuk menggandeng Tesla ini berlandaskan pada motivasinya untuk mewujudkan Indonesia yang lebih maju. Pasalnya, Menko Marves tersebut pernah menyebutkan bahwa beliau ingin meningkatkan sejumlah industri di Indonesia – termasuk industri baterai litium dan mobil listrik.

Keinginan ini pernah diungkapkan oleh John McBeth dalam tulisannya di Asia Times. Dalam tulisan tersebut, disebutkan sejumlah upaya Luhut untuk mewujudkan mimpinya akan Indonesia yang lebih maju.

Baca juga :  Prabowonomics: Jurus ‘Lompatan Katak’?

Beberapa di antaranya adalah untuk menarik investasi guna memproses nikel mentah (smelter). Selain infrastruktur tersebut, Luhut juga berusaha mendapatkan investasi yang memproduksi baterai litium – yakni LG Chemical.

Kehadiran industri smelter dan baterai litium ini juga sejalan dengan mimpi Luhut yang disebut-sebut menginginkan terbangunnya industri kendaraan listrik di Indonesia. Menko Marves itu berusaha diwujudkan melalui investasi senilai USD 1,5 miliar (sekitar Rp 22,26 triliun) dari perusahaan mobil asal Korea Selatan yang bernama Hyundai.

Bukan tidak mungkin, kehadiran Tesla menjadi salah satu kunci Luhut untuk mewujudkan mimpi mobil listrik tersebut. Pasalnya, perusahaan asal AS tersebut juga menggunakan teknologi baterai litium (Li-On) yang menggunakan nikel salah satu komponennya.

Bahkan, pemimpin eksekutif (CEO) Musk kabarnya ingin meningkatkan produksi mobil listrik dari perusahaan yang dipimpinnya. Maka dari itu, Tesla membutuhkan suplai nikel yang lebih banyak.

Selain Indonesia, Tesla juga dilaporkan tengah bernegosiasi untuk bekerja sama dengan Kanada. Musk juga dikabarkan mengumumkan penawaran kontrak bagi siapa saja yang mampu menyediakan suplai nikel berkelanjutan.

Bisa jadi, kebutuhan Tesla akan nikel ini dapat menjadi kesempatan bagi Luhut dan pemerintah Indonesia. Pasalnya, Indonesia merupakan negara dengan cadangan nikel terbesar di dunia – khususnya di Morowali, Sulawesi Tengah, dan Konawe, Sulawesi Tenggara.

Indonesia sendiri merupakan pengekspor nikel terbesar di dunia – disusul oleh Filipina, Kaledonia Baru, Finlandia, dan Australia. Persentase perdagangan nikel dari Indonesia di dunia pada tahun 2018 juga mencapai hingga 23,7 persen.

Bisa jadi, sumber mineral satu ini dapat menjadi penggerak pertumbuhan ekonomi Indonesia. Korelasi sumber alam dan pertumbuhan ekonomi ini pernah dijelaskan oleh Musa Jega Ibrahim dari Islamic Development Bank dalam tulisannya yang berjudul Emerging Issues in Economics and Development.

Dalam buku tersebut, Ibrahim menyebutkan bahwa sumber alam (natural resources) – seperti nikel – dapat menjadi input bagi proses produksi yang memberikan stimulasi bagi pertumbuhan ekonomi. Dengan mentransformasi sumber alam menjadi barang dan jasa, sumbangsih ekonomi pada masyarakat dapat tercipta.

Boleh jadi, inilah alasan mengapa Luhut ingin menggandeng Tesla untuk memproses nikel menjadi baterai litium yang dibutuhkan mobil listrik. Di sisi lain, mobil listrik dapat mengurangi ketergantungan sebuah negara terhadap energi fosil yang dianggap tidak ramah lingkungan.

Meski masuknya Tesla ini dapat memberikan manfaat ekonomi dan lingkungan bagi Indonesia, pertanyaan lanjutan pun muncul. Mengapa Luhut ingin mendorong industri mobil listrik? Apakah ada alasan ekonomi politik di baliknya?

Upaya Balancing?

Mungkin, keinginan Luhut untuk mendorong industri baterai litium dan mobil listrik di Indonesia dengan menggandeng Tesla ini berhubungan dengan tujuan politik dari pemerintahan Joko Widodo (Jokowi). Pasalnya, pemerintah sendiri tampak ingin melepaskan diri dari belenggu pengaruh politik negara tertentu.

Salah satu negara tersebut bisa saja adalah Jepang. Hal ini terlihat dari bagaimana sejumlah elemen industri otomotif asal negara tersebut menunjukkan ketidaksetujuan mereka pada gagasan yang tengah didorong Luhut.

Baca juga :  AS-Tiongkok Berebut Prabowo? 

Ketidaksepakatan Jepang ini sempat diungkapkan oleh sang Menko Marves beberapa waktu lalu. Bahkan, Luhut menyebutkan bahwa Jepang menuduh dirinya sebagai figur di pemerintahan yang pro terhadap bisnis Tiongkok.

Tudingan Jepang tersebut bisa jadi benar. Pasalnya, sejumlah kompleks smelter yang ada di Morowali dan Konawe merupakan hasil investasi perusahaan-perusahaan Tiongkok yang bernilai USD 11 miliar (atau sekitar Rp 163,32 triliun).

Namun, terlepas dari klaim Jepang tersebut, pemerintah Indonesia dalam sejarahnya sebenarnya memiliki keinginan untuk melepaskan diri dari pengaruh Jepang yang sangat luas di Indonesia.

Pemerintahan Jokowi, misalnya, menurut René L. Pattiradjawane dalam tulisannya yang berjudul The Indonesian Perspective Toward Rising China, berupaya untuk mengimbangi kekuatan Jepang – baik secara politik maupun ekonomi. Secara ekonomi, upaya pengimbangan ini dilakukan dengan mengundang Tiongkok sebagai sumber finansial dan investasi bagi Indonesia.

Di sisi lain, Pattiradjawane juga menyebutkan kekuatan pengimbang lain yang datang dari AS. Maka dari itu, secara tidak langsung, Jokowi berusaha mengimbangkan interdepensi pengaruh di antara tiga negara besar dalam ekonomi, politik, dan perdagangan.

Upaya pengimbangan terhadap Jepang di dunia industri otomotif ini sebenarnya juga tidak hanya dilakukan oleh pemerintahan Jokowi. Di era Orde Baru, pemerintahan Soeharto juga melakukan upaya serupa dengan melangsungkan proyek mobil nasional melalui Timor Putra Nasional (TPN) yang dimiliki oleh Hutomo Mandala Putra – atau Tommy Soeharto.

Proyek ini menggandeng salah satu perusahaan mobil asal Korea Selatan yang bernama Kia. Meski begitu, proyek ini tidak mampu bertahan karena beberapa faktor. Salah satunya adalah tekanan dari sejumlah negara.

Christopher D. Hale dalam tulisannya yang berjudul Indonesia’s National Car Project Revisited menjelaskan bahwa kerja sama TPN-Kia ini sebenarnya menguntungkan bagi Indonesia. Pasalnya, Kia sepakat untuk menjalankan kerja sama yang disertai dengan upaya transfer teknologi.

Kesediaan Kia untuk melakukan transfer pengetahuan ini sangat berbeda dengan bisnis-bisnis otomotif asal Jepang. Berbeda dengan Korea Selatan, sebagian besar pemain bisnis otomitif Jepang tidak bersedia untuk menyalurkan pengetahuan dan teknologi yang dimilikinya.

Selain itu, penolakan juga datang dari sejumlah negara dan menganggap pemerintahan Soeharto menjalankan proteksionisme. Jepang, AS, dan Uni Eropa mengajukan tuntutan atas keputusan Indonesia kepada World Trade Organization (WTO).

Berkaca dari penjelasan di atas, bukan tidak mungkin Luhut ingin Tesla membantu upaya pemerintah untuk mengimbangi pengaruh Jepang – khususnya di industri otomotif. Mungkin, dengan kehadiran Tesla, industri mobil listrik juga dapat meningkat di Indonesia dan mengalihkan dominasi pasar otomotif dari tangan Jepang.

Meski begitu, gambaran kemungkinan di atas belum tentu benar terjadi. Pasalnya, Tesla sendiri belum memberikan kepastian akan investasi tersebut. Selain itu, Musk juga menekankan akan pentingnya produksi nikel ramah lingkungan – sesuatu yang sulit dicapai oleh Indonesia. (A43)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Anomali PSI: Gagal Karena Kuasa Jeffrie Geovanie?

Kegagalan PSI untuk lolos ke parlemen pusat dalam dua gelaran Pemilu berturut-turut memang menimbulkan pertanyaan besar.

Puan-Mega, Ada ‘Perang Sipil’ PDIP? 

Berbeda dari Megawati Soekarnoputri, Puan Maharani belakangan tunjukkan gestur yang lebih lembut kepada pemerintah dan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Mengapa demikian?

Ketua DPR, Golkar Lebih Pantas? 

Persaingan dua partai politik (parpol) legendaris di antara Partai Golkar dan PDIP dalam memperebutkan kursi Ketua DPR RI mulai “memanas”. Meskipun secara aturan PDIP paling berhak, tapi beberapa pihak menilai Partai Golkar lebih pantas untuk posisi itu. Mengapa demikian?

The Tale of Two Sons

Jokowi dan SBY bisa dibilang jadi presiden-presiden yang berhasil melakukan regenerasi politik dan sukses mendorong anak-anak mereka untuk terlibat di dunia politik.

Lolos “Seleksi Alam”, PKS-PKB Seteru Abadi?

Berkaca pada hasil Pileg 2024, PKB dan PKS agaknya akan menjadi dua entitas politik yang akan terlibat dalam persaingan ceruk suara pemilih Islam ke depan. Terlebih di saat PAN seakan telah melepaskan diri dari karakter Islam dan PPP harus “terdegradasi” dari kancah legislatif nasional.

Jokowi Makin Tak Terbendung?

Presiden Joko Widodo (Jokowi) dirumorkan meminta jatah menteri dari pemerintahan Prabowo Subianto. Apakah Jokowi makin tak terbendung?

Elon Musk dan Dimulainya Era Feudalisme Teknologi 

Perusahaan teknologi raksasa seperti Apple dan Starlink semakin memiliki keterikatan dengan dinamika politik. Jika pola ini terjaga, akan seperti apa pengaruhnya terhadap dunia politik di masa depan? 

Prabowonomics: Jurus ‘Lompatan Katak’?

Program makan siang dan susu gratis ala Prabowo merupakan jenis school feeding program. Mungkinkah ini jadi kunci penting Prabowonomics?

More Stories

Jokowi Makin Tak Terbendung?

Presiden Joko Widodo (Jokowi) dirumorkan meminta jatah menteri dari pemerintahan Prabowo Subianto. Apakah Jokowi makin tak terbendung?

Prabowonomics: Jurus ‘Lompatan Katak’?

Program makan siang dan susu gratis ala Prabowo merupakan jenis school feeding program. Mungkinkah ini jadi kunci penting Prabowonomics?

Jokowi “Akuisisi” Golkar?

Presiden Joko Widodo (Jokowi) disebut ingin menempatkan orangnya menjadi ketum Golkar. Mungkinkah ini cara Jokowi "akuisisi" Golkar?